Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Belajar Melestarikan Karya Seni Dari Lia Sumichan

Ternyata ketertarikannya terhadap sains membawa Lia pada kariernya sebagai konservator seni.

Belajar Melestarikan Karya Seni Dari Lia Sumichan
Belajar melestarikan karya seni lewat Lia Sumichan

Konservasi seni adalah bidang yang memadukan ketelitian ilmiah dengan kepekaan estetika, sebuah ranah yang semakin relevan di tengah maraknya koleksi seni dan dinamika iklim tropis Indonesia. Anda memiliki lukisan dari 12 nama seniman ini? Maka artikel ini pas untuk Anda.

Dari Lia Sumichan, Bazaar mendapat banyak insight mengenai cara pelestarian karya-karya seni. Lia adalah seorang konservator lukisan independen berbasis di Jakarta, yang memilih jalur ini berkat kecintaannya pada seni dan sains sejak kecil, serta dorongan untuk menjaga kekayaan budaya Indonesia yang rentan terhadap kerusakan akibat lingkungan dan waktu. Baca terus untuk menyimak perjalanan, tantangan, serta inovasi yang ia terapkan dalam merawat karya seni. Mulai dari lukisan klasik, kontemporer, sampai pentingnya edukasi serta keterlibatan publik dalam menjaga warisan budaya.

Harper’s Bazaar Indonesia (HB): Apa yang menarik dari konservasi karya seni?

Lia Sumichan (LS): Awalnya memang sudah ada ketertarikan dan kesukaan pada seni sejak dari kecil. Dan juga semasa SMA, saya mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Alam. Ayah juga berperan besar dalam karier saya, ia memperkenalkan saya ke konservasi lukisan karena beliau banyak menggunakan jasa konservasi dan melihat pentingnya konservasi yang baik di Indonesia. Ternyata konservasi karya seni adalah gabungan dari seni dan sains, dua hal yang saya sukai. Ditambah lagi faktanya bahwa sedikitnya konservator yang ada di Indonesia.


HB: Hidup di negara beriklim tropis, adakah teknik khusus yang Anda terapkan untuk mengatasi isu seperti kelembapan dan fluktuasi pada suhu?

LS: Penelitian memang sudah membuktikan adanya korelasi percepatan deteriorisasi sebuah objek, terutama yang berbahan dasar organik dengan adanya peningkatan suhu dan kelembapan tempat objek itu disimpan atau diletakkan. Tetapi pada kenyataannya sangat sulit untuk setiap institusi atau kolektor memajang atau menyimpan karya-karya mereka di tempat yang climate controlled (suhu dan kelembapan dijaga agar tetap stabil dan tidak tinggi). Penanganan-penanganan preventif yang saya suka adalah yang dapat dan akan diterapkan dan juga harus sustainable. Karena percuma canggih kalau tidak dilakukan. Sejauh ini tindakan-tindakan seperti memonitor suhu dan kelembapan, jika terlalu panas dan lembap maka bisa diatur bagaimana ruangan tersebut dapat ditambahkan dehumidifier. Juga penyimpanan karya dengan menggunakan bahan-bahan yang archival dan memastikan ruangan terus dalam keadaan bersih sangat berperan besar dalam mengurangi dampak dari tingginya suhu dan kelembapan seperti tumbuhnya jamur dan serangan-serangan hama lain seperti rayap.


HB: Ilmu apa yang Anda bawa pulang dari program Master of Cultural Materials Conservation dari University of Melbourne, dan dapat diaplikasikan di lanskap seni Indonesia?

LS: Dalam mengkonservasi sebuah karya seni, fokus utamanya adalah pada material dari objek tersebut, seperti terbuat dari bahan apa. Seni tradisional seperti batik, yang berbahan kain atau tekstil, dan wayang kulit akan memiliki penanganan konservasi yang berbeda dengan konservasi karya-karya Barat seperti misalnya lukisan cat minyak. Conservation treatment-nya jadi akan berbeda sesuai dengan bahan objek tersebut. Misalnya membersihkan lukisan cat minyak akan berbeda dengan lukisan cat air di kertas. Begitu juga dengan kain batik dan wayang kulit.


HB: Secara singkat, bolehkah Anda menjelaskan pada pembaca Bazaar proses melakukan penilaian kondisi secara menyeluruh terhadap sebuah karya seni?

LS: Pertama adalah memahami komponen apa saja yang terdapat pada karya tersebut. Misalnya kalau lukisan:

  • Apakah lukisan cat minyak, cat akrilik atau yang lain.
  • Kanvasnya terbuat dari apa, apakah kanvas komersil atau bukan.
  • Bagaimana lukisan itu dipasangkan ke spanram-nya, bagaimana jenis kayu, dan konstruksi spanram.
  • Apakah ada lapisan vernis, dan kalau ada bingkainya. 

Kemudian, setiap komponen yang menghasilkan sebuah lukisan ini dianalisa lebih lanjut untuk mengidentifikasi apakah ada kerusakan atau kondisi yang dapat mengindikasikan ketidakstabilan sebuah karya. Setelah memahami kondisi objek, sumber (kemungkinan) kerusakan karena inherent vice atau dari material yang terdapat pada karya tersebut, akan sangat baik dan membantu juga untuk melakukan pengecekan terhadap ruangan atau lingkungan karya seni itu diletakkan atau disimpan. Saya melakukan pengukuran suhu dan kelembapan kalau bisa di rentan waktu minimal beberapa minggu untuk mendapatkan data yang lebih akurat, mengukur intensitas cahaya dan UV yang terpapar pada karya dan juga mengamati ruangan untuk agen-agen deteriorisasi yang ada. Ini membantu dalam memahami apa yang menyebabkan kondisi dan kerusakan yang ada pada karya dari segi eksternal.


HB: Adakah alat dan teknologi yang Anda gunakan?

LS: Untuk analisa kondisi dan identifikasi permasalahan dan kerusakan dimulai dengan mengamati karya tersebut dengan detail dan dibantu dengan berbagai teknik pencahayaan misalkan raking light (pencahayaan dari samping), transmitted light (pencahayaan dari belakang), radiasi ultraviolet dan pengamatan dengan magnifikasi tinggi. Namun, apabila dibutuhkan penelitan lebih mendalam seperti mengetahui dengan spesifik bahan cat atau vernis, atau jenis pigmen tertentu, pengamatan analitikal dengan menggunakan teknologi seperti FTIR, XRF, dan SEM dapat membantu memberikan informasi lebih lanjut. Lalu, untuk pengukuran variabel-variabel lingkungan alat-alat seperti temperature, humidity datalogger, light/lux meter juga saya gunakan secara rutin dalam melakukan cek kondisi.


HB: Adakah karya seni yang keadaannya cukup pelik?

LS: Karya-karya kontemporer sekarang semakin beragam dan juga eksperimental dari segi material dan juga proses pembuatannya. Contoh yang sangat menarik adalah karya dari seniman asal Bandung, Arin Sunaryo, yang banyak menggunakan resin dalam berkarya dan ada karya-karyanya yang menggabungkan bahan makanan seperti telur dadar dalam karya resinnya. Namun eksplorasi membekukan telur ini memiliki tantangan tersendiri karena meskipun telur sudah berada di dalam resin, ternyata telur itu terus mengalami proses degradasi dan pembusukkan yang akhirnya mempengaruhi kondisi karya.


HB: Lantas bagaimana dengan digital dan new media, bagaimana cara melestarikannya?

LS: Digital dan media art ini adalah bidang khusus dimana pelestariannya dikenal dengan time-based media conservation. Konservasi time-based media ini tergolong relatif baru dibanding konservasi objek lainnya dan masih sangat dalam proses penelitan dan pengembangan. Di luar negeri seperti di Amerika, Inggris, dan Eropa, terlebih lagi institusi-institusi besar, baik museum atau galeri pada umumnya akan sudah memiliki konservator khusus untuk menangani time-based media artworks. Karena spesialisasi saya di lukisan, yang saya tahu adalah time-based media conservation itu memiliki tantangan tersendiri karena melihat karya dari segi fisik dan juga bentuk digitalnya. Konservasi karya-karya ini akan mempertimbangkan aspek-aspek fisik, digital, dan juga teknologi yang terlibat. Tentunya di Indonesia ini adalah jenis karya dan konservasi yang belum menjadi fokus utama namun museum-museum dan galeri seperti di Galeri Nasional pernah menceritakan bagaimana time-based media conservation ini banyak menimbulkan diskusi dan pertanyaan tentang tindakan konservasi yang sebaiknya.


HB: Menurut Anda, peran apa yang seharusnya dimainkan publik dalam konservasi seni?

LS: Konservasi seni dan benda budaya adalah bidang yang masih sangat niche. Menurut saya, keterlibatan publik akan membantu membuat topik ini lebih “dekat” dalam keseharian manusia, dan juga membantu mempromosikan profesi ini. Dan juga, agar banyak anak muda yang tertarik dengan seni budaya Indonesia, serta cara melestarikannya dengan mempelajari studi ini di bangku sekolah.

Lia Sumichan
Lia Sumichan

Melalui pengalaman dan inovasi yang dibagikan Lia, Anda dapat melihat bahwa konservasi bukan sekadar upaya teknis, melainkan juga proses pengambilan keputusan yang etis, dan ilmiah demi menjaga orisinalitas serta nilai sejarah karya seni. Dengan semakin beragamnya bentuk seni, termasuk media baru dan digital, peran konservator pun terus berkembang dan beradaptasi.

BACA JUGA:
10 Rumah Seniman Paling Indah untuk Dikunjungi
4 Sosok Pelukis Wanita Indonesia dan Karyanya

(Foto: Courtesy of Lia Sumichan, Cottonbro Studio)