Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Sifat Temperamental Mengganggu Kualitas Hidup, Ini Penyebabnya

Telusuri penyebab munculnya sifat temperamental dan segera cari bantuan bila Anda juga mengalaminya.

Sifat Temperamental Mengganggu Kualitas Hidup, Ini Penyebabnya
Courtesy of Freepik

Setiap orang memiliki keunikan dalam cara berpikir, bereaksi terhadap sebuah situasi, dan mengekspresikan emosi. Namun, ada sebagian individu yang tampak lebih mudah marah, cepat tersinggung, atau sulit mengendalikan emosi — yang sering dianggap memiliki pribadi temperamental. Sifat ini sering kali dikaitkan dengan perilaku yang meledak-ledak atau perubahan suasana hati yang drastis.

Namun, penting untuk dipahami bahwa sifat temperamental bukan sekadar karakter "pemarah" yang muncul tanpa alasan. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi munculnya perilaku ini, mulai dari aspek biologis, psikologis, hingga lingkungan.

Ini sederet penyebab munculnya sifat temperamental:

1. Faktor Genetik dan Biologis

Sifat dasar seseorang, termasuk kecenderungan emosionalnya, sebagian besar dibentuk oleh faktor genetik. Penelitian menunjukkan bahwa beberapa orang memang secara biologis memiliki sistem saraf yang lebih sensitif terhadap rangsangan emosional.

Kondisi seperti ketidakseimbangan neurotransmitter di otak, seperti serotonin dan dopamin, juga bisa memengaruhi regulasi emosi. Jika otak seseorang kurang mampu menenangkan dirinya sendiri saat bertemu pemicu stres, maka ia cenderung bereaksi lebih impulsif dan emosional.

Contoh lainnya adalah sistem limbik — bagian otak yang mengatur emosi — yang bisa lebih aktif pada orang dengan sifat temperamental tinggi. Ini menyebabkan reaksi emosi yang lebih intens dibanding orang lain saat menghadapi situasi yang sama.

2. Pengalaman Masa Kecil

Lingkungan tempat seseorang dibesarkan memainkan peran besar dalam membentuk kepribadiannya. Anak yang tumbuh di lingkungan penuh kekerasan, pengabaian, atau tekanan emosional berpotensi besar mengembangkan sifat temperamental di masa remaja dan dewasa.

Contohnya, seorang anak yang sering melihat orang tua bertengkar, atau pernah mengalami kekerasan verbal dan fisik, mungkin akan meniru pola komunikasi tersebut sebagai cara untuk mengekspresikan emosi.

Kurangnya perhatian, kurangnya pengetahuan tentang cara memvalidasi emosi, dan kurangnya komunikasi yang baik juga bisa menyebabkan seseorang tumbuh dengan rasa tidak aman dan cepat tersulut ketika merasa terancam atau tidak dimengerti.

3. Kondisi Psikologis Tertentu

Sifat temperamental juga dapat berkaitan dengan kondisi psikologis atau gangguan mental tertentu seperti Borderline Personality Disorder (BPD) yang memiliki kecenderungan memiliki emosi yang labil serta kemarahan yang intens, gangguan bipolar dengan perubahan suasana hati yang ekstrem, gangguan kecemasan, dan stres pasca trauma (PTSD).

Dalam kasus ini, sifat temperamental bukan hanya bagian dari kepribadian, tapi gejala dari gangguan yang memerlukan perawatan lanjutan dan penanganan profesional.

BACA JUGA: OCD dan Perfeksionis: Serupa tapi Tak Sama

4. Pola Asuh dan Lingkungan Sosial

Orang tua atau pengasuh (caretaker) adalah model pertama dalam mengajarkan bagaimana mengelola emosi. Jika anak tidak pernah diajarkan cara yang sehat untuk mengekspresikan kemarahan, seperti berdiskusi dengan tenang atau mengelola emosinya, ia dapat tumbuh dengan kebiasaan marah yang meledak-ledak dan mudah tersinggung saat menghadapi masalah.

Selain keluarga, lingkungan sosial seperti sekolah, teman sebaya, dan budaya setempat juga turut membentuk cara seseorang merespons konflik. Dalam masyarakat yang memaklumi perilaku agresif sebagai tanda kekuatan, seseorang bisa tumbuh dengan sifat temperamental karena merasa itu adalah bentuk validasi diri dan cara yang familiar untuk dilakukan.

5. Stres yang Tidak Terkelola dengan Baik

Beban pekerjaan, tekanan finansial, hubungan yang bermasalah, atau kedukaan bisa menyebabkan stres berkepanjangan. Dalam kondisi ini, toleransi emosi seseorang menurun drastis, dan ia menjadi lebih mudah tersinggung atau marah karena kelelahan mental.

Stres yang berkepanjangan juga bisa memperburuk kondisi kesehatan mental seseorang, membuat seseorang sulit membedakan mana ancaman nyata dan persepsi, sehingga emosi tidak nyaman lebih mudah muncul dan sulit dikendalikan.

6. Kurangnya Kesadaran Diri dan Kontrol Emosi

Banyak orang temperamental tidak menyadari bahwa cara mereka merespons sebenarnya dapat mengganggu hubungan dan membuat bersosialisasi menjadi tidak lagi menyenangkan bagi lingkungan sekitar. Kurangnya kemampuan untuk mengenali dan mengelola emosi yang sedang dirasakan secara sehat membuat perilaku ini terus berulang dan melekat di diri.

Sifat temperamental tidak muncul begitu saja. Ia merupakan hasil dari kombinasi antara faktor genetik, pengalaman hidup, tekanan psikologis, hingga lingkungan sosial. Penting untuk memahami bahwa menjadi temperamental bukan berarti seseorang "buruk" atau "tidak dewasa", melainkan ada sesuatu yang lebih dalam yang perlu dikenali, ditangani dan dipulihkan untuk meraih kualitas kehidupan yang bermakna.

Dengan pemahaman yang tepat, dukungan lingkungan, dan bila perlu bantuan profesional seperti psikolog, sifat temperamental dapat dikendalikan. Kunci utamanya adalah kesadaran diri, kemauan untuk berubah, dan keberanian menghadapi akar emosional yang mungkin belum diselesaikan.

BACA JUGA:

Lakukan Teknik Relaksasi untuk Hidup Lebih Sehat dan Bebas Stres

Cara Hilangkan Stres pada Wanita untuk Sehat Mental dan Emosional