Istilah perfeksionis dan Obsessive-Compulsive Disorder (OCD) sering digunakan secara bergantian dalam percakapan sehari-hari. Tidak jarang seseorang yang suka kebersihan, rapi, atau memiliki standar tinggi sering disebut sebagai OCD, padahal belum tentu demikian. Meski terlihat mirip di permukaan, OCD dan perfeksionisme memiliki perbedaan yang sangat mendasar, terutama dari sisi psikologis dan klinis.
Untuk memahami perbedaan antara keduanya, penting untuk mengupas definisi dari OCD dan perfeksionisme, serta bagaimana keduanya memengaruhi perilaku dan kualitas hidup seseorang.
Perfeksionisme adalah sifat kepribadian yang ditandai dengan keinginan kuat untuk mencapai kesempurnaan, baik dalam pekerjaan, penampilan, maupun hal-hal lain dalam kehidupan. Seorang perfeksionis biasanya memiliki standar pribadi yang sangat tinggi, dorongan untuk selalu melakukan segala sesuatu dengan benar, takut akan kegagalan atau kesalahan, dan cenderung mengevaluasi diri berdasarkan pencapaian.
Perfeksionisme sendiri bukanlah gangguan mental. Dalam beberapa konteks, sifat ini bisa menjadi kekuatan dan motivasi yang positif, terutama jika dikelola dengan baik. Orang yang perfeksionis cenderung bekerja keras, sangat teliti, dan konsisten. Namun, jika perfeksionisme menjadi ekstrem, bisa memicu stres, kecemasan, kekakuan dan bahkan depresi, terutama jika individu tersebut merasa tidak pernah cukup baik.
Apa itu penyakit OCD? Menurut Nathasya Shesilia, Psikolog Klinis yang berpraktik di RSAL dr. Mintohardjo Bendungan Hilir dan Remedi Indonesia, Obsessive-Compulsive Disorder (OCD) adalah gangguan mental yang serius dan telah diklasifikasikan sebagai salah satu gangguan kecemasan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5). OCD terdiri dari dua komponen utama:
- Obsesi: Pikiran, dorongan, atau gambaran yang tidak diinginkan, berulang, dan mengganggu. Contohnya ketakutan berlebihan terhadap kuman hingga tidak mau bersalaman, hadir pikiran berulang tentang menyakiti diri sendiri atau orang lain, dan kekhawatiran ekstrem tentang sesuatu yang salah atau dirasa “tidak pas”.
- Kompulsi: Perilaku atau tindakan mental yang dilakukan secara berulang untuk meredakan kecemasan akibat obsesi. Contohnya mencuci tangan berulang kali hingga kulit iritasi, memeriksa kunci rumah berkali-kali, dan menghitung atau menyusun barang dalam urutan tertentu.
“Yang membedakan OCD dari kebiasaan biasa adalah tingkat gangguan yang ditimbulkan pada kehidupan sehari-hari. OCD bisa menghabiskan waktu berjam-jam dalam sehari, mengganggu pekerjaan, relasi dengan keluarga dan lingkungan sosial, bahkan menyebabkan kelelahan mental yang sangat berat,” ujar Nathasya.
Beberapa kesamaan antara OCD dan perfeksionisme yang membuat keduanya sering disalahpahami terletak pada kecenderungan terhadap keteraturan dan kontrol, standar yang tinggi, serta rasa cemas yang hebat bila hal-hal tidak berjalan sesuai ekspektasi.
perbedaan antara OCD dan perfeksionisme:
1. Motivasi dan Emosi yang Terlibat
Perfeksionis terdorong oleh keinginan untuk sukses. Emosinya cenderung berkisar pada kecemasan performa, malu, atau kecewa. Penderita OCD melakukan kompulsi karena merasa terpaksa, bukan karena ingin. Emosi utamanya adalah kecemasan ekstrem, rasa takut akan bahaya, atau rasa bersalah yang tak wajar.
2. Kesadaran terhadap Ketidakwajaran
Perfeksionis sering kali menganggap standar tinggi mereka masuk akal dan logis, bahkan jika itu membuat stres. Penderita OCD sering menyadari bahwa pikiran dan perilaku mereka tidak masuk akal, tetapi mereka tidak bisa menghentikannya.
3. Fleksibilitas
Perfeksionis masih bisa fleksibel. Jika ada kesalahan kecil atau perubahan mendadak, mereka mungkin kesal, tapi lebih mudah beradaptasi dan menyesuaikan diri. Penderita OCD bisa mengalami serangan panik (panic attack) atau kecemasan parah jika ritualnya terganggu atau jika obsesi tidak ditenangkan.
4. Tingkat Gangguan dalam Kehidupan
Perfeksionisme mungkin membuat seseorang lebih stres atau overthinking, tapi umumnya masih bisa menjalani hidup secara normal. OCD bisa sangat melemahkan. Aktivitas sehari-hari bisa terganggu total karena waktu dan energi habis untuk ritual dan pikiran obsesifnya.
Apakah Seseorang Bisa Memiliki Keduanya?
Ya. Nathasya menjelaskan bahwa seseorang bisa menjadi perfeksionis sekaligus menderita OCD. Bahkan, dalam beberapa kasus, perfeksionisme ekstrem bisa menjadi bagian dari gejala OCD, terutama dalam bentuk obsessive-compulsive personality disorder (OCPD), dimana penderitanya lebih berfokus pada detail, aturan, jadwal, urutan, dan sebagainya. Untuk memastikannya, cari bantuan profesional, konsultasikan secara mendalam, dan lakukan terapi yang disarankan bila diperlukan.
Segera Cari Bantuan
Jika pikiran obsesif atau perilaku kompulsif mulai mengganggu kehidupan Anda secara signifikan—misalnya mengganggu pekerjaan, hubungan, atau kesehatan mental Anda—sebaiknya segera mencari bantuan profesional. Menurut Nathasya, terapi perilaku kognitif (CBT) dan terapi eksposur-respons (ERP) terbukti efektif untuk OCD. Sementara perfeksionisme bisa dibantu dengan konseling atau coaching untuk belajar menetapkan ekspektasi yang realistis.
“Meskipun perfeksionisme dan OCD sering terlihat mirip di permukaan, keduanya datang dari motivasi yang berbeda sehingga memberi dampak yang sangat berbeda pula untuk diri sendiri dan lingkungan sosial. Perfeksionisme bisa bermanfaat bila seimbang, sementara OCD adalah gangguan mental serius yang memerlukan penanganan klinis lebih lanjut,” papar Nathasya.
Penting bagi kita untuk tidak sembarangan menggunakan istilah OCD hanya karena teman Anda suka kebersihan, detail, atau keteraturan. Memupuk rasa empati pada kondisi kesehatan mental orang lain dan juga diri sendiri adalah langkah untuk menjadi diri yang lebih baik lagi.
