Selama empat hari di Iran, dan minggu ini di New York juga Berlin, telah terjadi protes massal terhadap pemerintah Iran, dan kehadiran Presiden Iran Ebrahim Raisi di PBB. Seluruh Tehran dan kota-kota di provinsi Kurdistan, diramaikan oleh orang-orang yang turun ke jalan, dalam bentrokan yang mengakibatkan sekitar 221 orang terluka, 250 penangkapan dan tiga dugaan kematian.
Baca juga: Mengapa Perempuan Selalu "Diminta" untuk Bersyukur
Penyebabnya adalah kasus kematian seorang wanita Kurdi berusia 22 tahun, Mahsa Amini yang terjadi pada jumat lalu.
Siapakah Mahsa Amini?
Pada 13 September, Mahsa Amini yang berasal dari kota Saqqez di Provinsi Kurdistan, Iran barat, tengah berada di Tehran, setelah melakukan perjalanan untuk mengunjungi keluarga. Ia berada di pintu masuk Jalan Raya Haqqani bersama saudara laki-lakinya, Kiaresh Amini ketika ia ditangkap oleh rezim dan dipindahkan ke agen 'Security Moral', diduga karena ia mengenakan jilbab yang tidak pantas. Video CCTV dari acara tersebut menunjukkan Mahsa jatuh ke tanah pada saat penangkapannya.
Saudara laki-laki Amini diberitahu bahwa ia akan dibawa ke pusat penahanan untuk menjalani "kelas pengarahan" dan setelah itu akan dibebaskan. Namun itu tidak pernah berhasil. Mahsa bahkan tiba di Rumah Sakit Kasra, di mana akhirnya ia meninggal pada hari Jumat, setelah koma selama tiga hari. Dalam unggahan Instagram yang sekarang telah dihapus, rumah sakit tersebut mengklaim bahwa Mahsa mengalami cedera otak pada saat kedatangan.
"Proses resusitasi telah dilakukan pada pasien, detak jantungnya kembali dan pasien dirawat di unit perawatan intensif," tulis mereka.
"Sayangnya, setelah 48 jam tepatnya pada hari Jumat, pasien mengalami serangan jantung lagi, yang disebabkan oleh cedera otak. Meskipun upaya telah dilakukan oleh tim medis, nahasnya mereka gagal untuk menghidupkannya kembali dan pasien meninggal."
Saksi mata mengklaim bahwa Mahsa dipukuli oleh patroli di dalam van, yang bermaksud membawanya ke pusat penahanan.
Apa reaksinya?
Begitu berita kematian Mahsa mencuat, protes lima hari pun bermunculan di seluruh negeri, juga secara global, #mashaamini mulai menjadi tren di Twitter, dengan total lebih dari dua juta mentions; kelompok pro-reformasi dan kelompok aktivis feminis – termasuk yang berbasis di AS, berdedikasi di Iran, HRANA (Human Rights Activists News Agency) – juga mulai bergerak. Protes kemarin mengakibatkan satu anggota polisi meninggal dunia dan juga aksi pembakaran jilbab. Pemerintah Iran, serta AS dan Prancis, telah berbicara perihal kematian Mahsa.
Kementerian luar negeri Prancis menyerukan penyelidikan yang adil dan transparan atas kematiannya, menyebut ini sebagai peristiwa yang "sangat mengejutkan". Gedung Putih mengatakan: "Kematian Mahsa Amini setelah cedera yang dideritanya adalah suatu hal yang mengerikan bagi hak asasi manusia."
Komandan Polisi Tehran, Hossein Rahimi mengklaim kematian Mahsa adalah "kecelakaan yang mengenaskan", dan mengatakan bahwa ia mengalami serangan jantung karena kondisi yang ada. Ayah Mahsa dengan sengit menentang tuduhan ini, dengan mengatakan ia yakin rekaman CCTV itu telah diedit secara berlebihan, yang bertentangan dengan laporan memar dan juga keterangan dari saksi mata.
Ayah Masha mengungkapkan kepada salah satu surat kabar di Iran “Mereka mengatakan Mahsa menderita penyakit jantung dan epilepsi tetapi sebagai bapak yang membesarkannya selama 22 tahun, saya katakan dengan lantang bahwa Mahsa tidak memiliki penyakit apapun. Ia dalam kesehatan yang sempurna. Orang yang memukul putri saya harus diadili di pengadilan umum, bukan pengadilan palsu yang berujung pada teguran dan pengusiran.”
Bagaimana situasi untuk perempuan di Iran?
Faktanya, kematian Mahsa hanyalah tandingan dengan yang sudah ada sebelumnya. Padahal secara hukum, sejak tahun 1979, perempuan di Iran harus mengenakan jilbab di depan umum, dalam praktiknya hal ini belum banyak ditegakkan dalam beberapa tahun terakhir. Artinya, sampai presiden baru Ebrahim Raisi mengambil alih kekuasaan pada tahun 2021. Sejak itu pula, telah terjadi tindakan keras besar-besaran terhadap kebebasan perempuan. Pada 15 Agustus, ia menandatangani perintah penegakan aturan berpakaian negara Iran dengan daftar pembatasan yang baru.
Pasal 638 KUHP mengatakan, merupakan sebuah kejahatan bagi perempuan untuk tampil di jalan-jalan dan di depan umum tanpa jilbab, tetapi tidak jelas apakah polisi memiliki hak sewenang-wenang untuk menangkap warga di bawah undang-undang ini tanpa surat perintah pengadilan.
Seusai dengan kritik dari Hak Asasi Manusia PBB, yang mengatakan polisi telah menargetkan wanita, dan mengklaim telah memverifikasi video wanita yang ditampar di wajah, dipukuli dengan tongkat dan dilemparkan ke mobil polisi hanya karena mengenakan jilbab yang terlalu longgar. Mereka bahkan telah dikritik oleh dua Ayatollah (pemipin agama) paling senior di Iran.
Mahsa masih jauh dari kasus paling terkenal dalam beberapa bulan terakhir – meskipun ia adalah kematian paling terkenal. Namun pada bulan Juli, penulis dan seniman berusia 28 tahun bernama Sepideh Rashno ditangkap karena mengenakan 'pakaian yang tidak pantas' dan merupakan salah satu dari banyak wanita (dan pria) yang secara terbuka memprotes 'hari jilbab dan kesucian' Iran pada 12 Juli, dengan melepas hijab di media sosial.
Sapideh kemudian terlihat di TV pemerintah dengan membuat permintaan maaf resmi. Ia mengenakan jilbab dengan benar dan tampak tenang. Organisasi hak asasi manusia, termasuk HRANA, mengatakan bahwa ia menunjukkan tanda-tanda penyiksaan dan kemungkinan besar ia adalah salah satu dari banyak wanita yang dipaksa mengaku. Sapideh tetap menjadi tahanan, dan kasusnya menarik protes luas dan juga kampanye pada bulan Agustus.
Sekarang, kematian Mahsa mungkin terbukti menjadi pukulan terakhir, karena protes besar-besaran dan kekerasan terus berlanjut terhadap rezim. Penjabat Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Nada Al-Nashif mengatakan: “Kematian tragis Mahsa Amini dan tuduhan penyiksaan serta perlakuan buruk harus segera dituntaskan, tidak memihak dan diselidiki secara efektif oleh otoritas independen yang kompeten dalam memastikan bahwa keluarganya memiliki akses ke keadilan dan kebenaran,"
Baca juga:
Beyoncé & Solange Knowles Ajak Penggemar Menegakkan Keadilan
Belle and Kate Merayakan International Women’s Day Dengan Menggandeng 5 Wanita Inspiratif
(Penulis: Marie-Claire Chappet; Artikel ini disadur dari Bazaar UK; Alih bahasa: Diah Pithaloka; Foto: Courtesy of BAZAAR UK)