Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Ketika Standar Kecantikan Tak Lagi Mengenal Batas, Gen Z Punya Sudut Pandang Berbeda

Perubahan standar kecantikan, inklusivitas, dan Gen Z. Apakah hubungan antara ketiganya?

Ketika Standar Kecantikan Tak Lagi Mengenal Batas, Gen Z Punya Sudut Pandang Berbeda
Courtesy of Harper's Bazaar US & Instagram.com/@victoriassecret, @winnieharlow

Media sosial kembali diguncangkan oleh lini pakaian dalam Victoria’s Secret. Jika tahun-tahun sebelumnya Victoria’s Secret menjadi bahan pembicaraan akibat presentasi-presentasinya yang memiliki sosok "Angels" mengenakan sayap dengan parade supermodel ternama yang menampilkan lekukan tubuh mereka yang sempurna. Kali ini, lini tersebut justru menjadi pembicaraan akibat langkahnya untuk membubarkan segala aspek Victoria’s Secret terdahulu lalu mengganti para "Angels" dengan wanita-wanita berprestasi yang tak semata hanya memiliki tubuh sempurna dan paras menawan. 

Langkah Victoria’s Secret untuk menjadi lebih inklusif ditandai oleh kampanye VS Collective yang alih-alih diisi oleh para supermodel, justru Kampanye baru ini diisi oleh Adut Akech yang merupakan model sekaligus aktivis, jurnalis Amanda De Cadenet, aktivis LGBTQ+ Megan Rapinoe, dan banyak lagi. Selain mereka, kampanye dan konten di akun Instagram sang label turut diisi oleh model dengan berbagai macam bentuk tubuh dan ras sebagai wujud komitmen Victoria’s Secret yang ingin berubah menjadi advokat untuk pemberdayaan perempuan di seluruh dunia.


Perubahan tersebut tentu ditanggapi oleh berbagai persetujuan dan ketidaksetujuan dari berbagai pihak. Ada kelompok yang bangga akan keputusan perusahaan tersebut untuk menunjukkan kepada dunia bahwa kecantikan wanita tak perlu lagi dikotak-kotakkan. Ada juga kelompok yang tak ingin fantasi yang diciptakan oleh Victoria’s Secret Angels dimusnahkan, dan merasa bahwa model-model terbaru sang label tak lagi mewakili fantasi mereka. 

(Courtesy of Instagram.com/@Victoriassecret)

Berbicara tentang fantasi dan perpecahan pendapat ini kemudian membuat saya menelusuri jejak standar kecantikan atau bentuk tubuh. Setiap orang memang memiliki fantasi variatif dan relatif. Ada banyak sekali faktor yang menentukan standar kecantikan dari mulai budaya, lingkungan, pendidikan, media, pola asuh, dan saat ini akibat berkembangnya media sosial, ragam media sosial turut menjadi penentu terbesar. Hal itu terlihat dari fenomena berkembangnya cara merias wajah para wanita dari tahun ke tahun semenjak kemunculan media sosial.

Jika beberapa tahun lalu hampir setiap wanita mengenakan bronzer dan shading dengan alis baddie. Kini, riasan tersebut tak lagi relevan dan mulai ditinggalkan lalu diganti oleh riasan wajah dengan dominasi warna peach dan permainan pulasan mata warna-warna berani yang unik. Perubahan riasan tersebut kemudian diikuti oleh bergesernya pandangan terhadap bentuk tubuh. 

(Courtesy of Instagram.com/@Kyliejenner)

Saat ini, tubuh yang dianggap ideal oleh kebanyakan orang terutama untuk media sosial dinamakan postmodern beauty. Seperti yang dilansir oleh Science of People, bentuk tubuh yang diagungkan adalah tubuh yang memiliki perut rata, dada dan bokong besar, thigh gap, dan bersiluet ramping. Bentuk tubuh tersebut kemudian turut mengantar banyak wanita melakukan bermacam prosedur di klinik estetika sekaligus berolahraga demi mencapai bentuk tubuh tersebut. 

Kate Moss & Johnny Depp (Courtesy of Harper's Bazaar US)

Sebelum bentuk tubuh tadi dianggap sempurna, para wanita di tahun 1990-an justru tak akan menginginkan dada dan bokong besar, akibat standar kecantikan saat itu yang lebih menyukai tubuh heroin chic. Tubuh heroin chic dipopulerkan oleh model Kate Moss yang beberapa tahun sebelumnya turut dianggap ‘kurang cantik’, sebab bentuk tubuhnya yang terlalu kurus dan tidak tinggi seperti para model-model pendahulunya. Namun seiring berjalannya waktu, semenjak dirinya membintangi kampanye Calvin Klein, banyak orang menginginkan tubuh sangat kurus, kulit pucat, dan terlihat seperti "tidak terurus". 

Kate Moss & Mark Wahlberg - Calvin Klein 1992 (Courtesy of Calvin Klein)

Sebelum pamor Kate Moss meningkat, bentuk tubuh di era supermodel pada tahun 1980-an juga menjadi acuan banyak wanita yang saat itu tergila-gila melakukan banyak olahraga dan senam demi menggapai tubuh tersebut. Wujud tubuh ideal di era itu dimiliki oleh model Naomi Campbell yang memiliki tubuh atletis, tinggi, memiliki lengan kencang, dan tampak langsing. Saat itu, penyakit anoreksia turut meningkat akibat adiksi banyak wanita terhadap olahraga yang berlebihan. 

 

Era supermodel (Courtesy of Harper's Bazaar US)

Kedua standar tersebut menjadikan tubuh ramping sebagai tubuh ideal. Nyatanya, di era sebelum-sebelumnya, standar kecantikan selalu silih berganti dan tubuh besar justru dianggap sebagai bentuk ideal. Sebut saja era Golden Hollywood dengan tubuh ideal yang memiliki lekukan layaknya jam pasir, dada besar, namun disempurnakan oleh pinggang yang sangat kecil.

Sebelum era tersebut, era Victorian England termasuk sebagai era yang memprioritaskan bentuk tubuh seperti jam pasir namun dengan bantuan korset kencang. Sementara itu, era Italian Renaissance justru menginginkan wanita untuk memiliki bokong besar, perut bulat, pinggang lebar, dan kulit putih. Perubahan persepsi akan mana wanita yang cantik dan mana yang tidak terbukti terus berevolusi tiada henti setiap beberapa puluh tahun. Menunjukkan betapa wanita di setiap generasi tiada henti terpaku kepada standarisasi kecantikan yang ideal tanpa mengenal lelah.

Giovanni Bellini, Young Woman at Her Toilette (1515) Vienna, Kunsthistorisches Museum

Fenomena-fenomena tersebut kemudian berubah sejak semakin banyaknya gerakan wanita dan persepsi masyarakat pelan-pelan berubah. Masyarakat terutama generasi muda tak lagi dibutakan oleh keseragaman penampilan. Pelan-pelan masyarakat mulai menerima individualitas dari mulai menerima model berkulit hitam seperti Alek Wek berada di sampul majalah, model Halima Aden yang berhijab dapat berjalan di runway rumah mode ternama, model dengan kondisi vitiligo seperti Winnie Harlow diterima baik di industri mode, wanita berambut botak, kerutan, model lanjut usia, dan banyak lagi. Pergerakan progresif tersebut menandai evolusi standar kecantikan yang dijunjung oleh banyak generasi muda yang menjunjung tinggi keunikan di dalam diri mereka.

Generasi muda tersebut adalah generasi Z dan milennial, karakteristik keduanya yang tak takut menyatakan pendapat dan membuat gebrakan memainkan peranan penting dalam mengubah industri mode dan cara pandang media terhadap ketidaksempurnaan. Keduanya tak lagi takut melihat wujud selulit, ketiak yang tidak dicukur, hingga buah dada yang tidak sempurna. Menurut Rdsiresearch, generasi Z senang merayakan individualisme mereka. Mereka menyukai karakter dan keunikan di dalam diri mereka sebagai identitas mereka di media sosial. Karena itu, Generasi Z menghargai arti komunitas dan prinsip yang diusung sebuah brand baik itu kepedulian atau dukungan terhadap LGBTQ+, ragam gender, perayaan terhadap semua bentuk tubuh, dan banyak lagi. 

(Courtesy of Harper's Bazaar Singapore)

Wujud kepedulian generasi Z dikutip oleh Rdsiresearch, kemudian tergambar pada kesuksesan brand Fenty Beauty gagasan penyanyi Rihanna yang melansir sebanyak 40 shades produk foundation untuk segala macam warna kulit. Langkah groundbreaking tersebut kemudian menjadikan Fenty sebagai label produk kecantikan yang populer di kalangan generasi Z.

Minat dan realita yang semakin berubah di masa kini mengikuti pandangan hidup generasi Z semakin menguatkan aspek “real people” yang inklusif dan bermacam-macam. Kembali lagi merupakan salah satu acuan Victoria’s Secret sebagai lini pakaian dalam yang mulai tergeser oleh label progresif seperti Parade atau Savage x Fenty yang menanamkan body positivity sekaligus menampilkan produk-produk pakaian dalam mereka dikenakan oleh real people sehingga tak menimbulkan perasaan insecurity di dalam diri para wanita yang melihatnya atau saat mengenakan produk tersebut.

 

(Courtesy of Instagram.com/@victoriassecret)

Dari perspektif saya sendiri sebagai wanita terhadap perubahan pesat ini, hal ini cukup memberikan secercah harapan agar wanita tak lagi dikotak-kotakkan berdasarkan bentuk tubuh atau warna kulit mereka. Dari evolusi standar kecantikan kita dapat belajar bahwa wanita kerap dituntut untuk menuruti apa yang diinginkan masyarakat. Tidak hanya soal penampilan, namun di setiap aktivitas.

Para wanita dituntut untuk tidak mengenakan busana terbuka, namun bukan berarti mengenakan busana tertutup yang membuat mereka terlihat tua. Wanita kemudian dianggap emosional ketika mengutarakan perasaan mereka, lalu dianggap lemah ketika memilih untuk bungkam.

Ketika wanita makan dengan porsi yang banyak maka orang akan menganggap mereka rakus, namun saat mereka makan sedikit, orang akan mengira mereka menderita eating disorder. Banyaknya stigma yang dikaitkan kepada wanita diikuti standar kecantikan yang tak henti memberikan banyak tuntutan kini tak lagi memengaruhi self worth kita para wanita. Sudah sepantasnya, standar kecantikan tak lagi mengenal batasan.