
Dalam beberapa tahun terakhir, diet tinggi protein semakin populer, terutama di kalangan pelaku gaya hidup sehat dan kebugaran. Banyak orang percaya bahwa asupan protein yang tinggi dapat membantu menurunkan berat badan, membentuk otot, dan meningkatkan energi. Tak heran jika berbagai produk tinggi protein, mulai dari susu, snack, hingga suplemen, membanjiri pasar dan menjadi bagian dari pola makan sehari-hari.
BACA JUGA: 5 Menu Makan Malam Tinggi Protein yang Siap Menyelamatkan Hari Kerja Anda
Namun, di balik manfaat yang ditawarkan, muncul kekhawatiran dari para ahli kesehatan mengenai dampak jangka panjang dari konsumsi protein berlebih, khususnya terhadap kesehatan usus. Usus adalah organ vital yang berperan penting dalam pencernaan, penyerapan nutrisi, dan menjaga keseimbangan mikrobioma tubuh. Ketika keseimbangan ini terganggu, berbagai masalah kesehatan dapat muncul, mulai dari gangguan pencernaan hingga peradangan.
Pertanyaannya kini, apakah diet tinggi protein benar-benar bisa mengganggu fungsi dan kesehatan usus kita? Ataukah kekhawatiran ini sekadar mitos tanpa dasar ilmiah? Mari kita telusuri lebih dalam fakta-fakta dan temuan ilmiah terbaru seputar dampak konsumsi protein tinggi terhadap sistem pencernaan.

Fakta menariknya, sejumlah studi ilmiah menunjukkan bahwa konsumsi protein dalam jumlah tinggi, terutama yang berasal dari sumber hewani seperti daging merah, unggas, dan produk olahan susu, dapat memengaruhi keseimbangan mikrobiota usus yakni komunitas mikroorganisme yang hidup di saluran pencernaan. Mikrobiota ini memiliki peran penting dalam berbagai fungsi tubuh, mulai dari pencernaan, penyerapan nutrisi, produksi vitamin, hingga regulasi sistem kekebalan tubuh. Ketika asupan protein meningkat secara signifikan tanpa diiringi konsumsi serat yang cukup dari sayur, buah, dan biji-bijian, maka keragaman mikroba sehat dapat menurun. Dalam kondisi tersebut, populasi bakteri “baik” seperti Bifidobacteria dan Lactobacillus menyusut, sementara bakteri yang menghasilkan senyawa beracun seperti amonia, fenol, dan hidrogen sulfida misalnya Clostridium perfringens cenderung berkembang.
Dampaknya tidak hanya bersifat sementara. Beberapa penelitian menemukan bahwa pola makan tinggi protein yang minim serat berkontribusi pada pergeseran ekosistem usus ke arah yang lebih "pro-inflamasi". Kondisi ini bisa memicu peradangan pada lapisan usus besar, memperburuk gejala sindrom iritasi usus besar (IBS), dan dalam jangka panjang meningkatkan risiko penyakit serius seperti kolitis ulserativa hingga kanker kolorektal. Proses ini terjadi karena sisa-sisa protein yang tidak tercerna sepenuhnya di usus halus akan difermentasi oleh mikroba tertentu di usus besar menjadi senyawa metabolit berbahaya. Beberapa di antaranya diketahui dapat merusak sel epitel usus dan melemahkan sistem kekebalan lokal di saluran cerna.

Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa efek negatif ini sangat bergantung pada beberapa faktor penting, termasuk jenis protein yang dikonsumsi, keseimbangan nutrisi dalam diet, serta kebiasaan hidup seperti aktivitas fisik dan stres. Protein dari sumber nabati seperti kacang-kacangan, biji-bijian, dan kedelai, misalnya, cenderung lebih aman bagi mikrobiota karena juga mengandung serat dan senyawa bioaktif yang mendukung kesehatan usus. Oleh karena itu, kunci dari diet tinggi protein yang sehat terletak pada keberagaman sumber makanan serta keseimbangan antara protein dan asupan serat harian.
BACA JUGA:
Apakah Minum Air Lemon di Pagi Hari Sungguh Baik Untuk Kesehatan?