Soo Hugh tidak ingin membaca Pachinko, novel karya keturunan Korea-Amerika; Min Jin Lee. Novel yang dikeluarkan tahun 2017 ini menceritakan kisah sebuah keluarga Korea lebih dari 80 tahun dan empat generasi. Sunja, protagonis novel dan seorang ibu yang merupakan pemimpin keluarga, lahir pada tahun 1910-an di Busan yang dijajah Jepang, dan bermigrasi ke Osaka, Jepang. Keluarganya adalah Zainichi, orang Korea yang tinggal di Jepang, yang tunduk pada diskriminasi dan intimidasi.
Mendapatkan namanya dari perjudian bergaya permainan arcade (keluarga Sunja akhirnya mengoperasikan pusat pachinko di Osaka), buku Pachinko dinobatkan sebagai salah satu dari 10 buku terbaik 2017 oleh New York Times, serta finalis dari National Book Award. Soo sadar akan ketenaran buku itu, dan meskipun ia sendiri keturunan Korea-Amerika, ada sesuatu yang menahannya untuk tidak membacanya.
Baca juga: Semua yang Anda Perlu Ketahui Tentang Serial Apple TV+ 'Pachinko'
“Saya pikir ada bagian dari diri Anda yang takut untuk membuka buku itu karena mau tidak mau Anda akan merasakan rasa sakit itu, trauma yang turun temurun dari generasi ke generasi, dan pengalaman keluarga tersebut selama seratus tahun terakhir,” katanya. Namun, dalam penerbangan dari London ke New York, dia memutuskan untuk mulai membaca.
Ada adegan di awal buku di mana Yangjin, ibu Sunja, memohon kepada seorang pedagang beras untuk menjual satu karung beras kepadanya. Di hari pernikahan Sunja ini, dia ingin putrinya makan nasi putih. Di negara Korea yang dijajah Jepang, nasi putih hanya disediakan untuk orang Jepang, sehingga pedagang menjadi ragu-ragu untuk menjual nasi putih kepadanya. Pada akhirnya dia merasa kasihan dan menjual tas kecil kepada Yangjin.
“Saya membaca adegan itu ketika saya di pesawat, dan tiba-tiba saya mulai menangis,” ucap Soo. “Adegan yang menyedihkan, tapi lebih dari itu adalah rasa pengakuan yang mengejutkan.. Saya tidak tinggal di tahun 1930 Korea, tapi saat saya membaca adegan tentang Yangjin pergi ke pedagang itu, saya merasa seperti saya mengalaminya.”
Pada saat itu, Soo tahu dia akan mengadaptasi buku itu menjadi naskah layar kaca. Musim semi ini, Apple TV+ akan merilis delapan episode Soo yang merupakan adaptasi dari buku Pachinko, dibintangi oleh Jin Ha, Youn YuhJung, Lee Minhai, dan Minha Kim. Selain menulis naskah bersama, Soo adalah seorang eksekutif produser, bersama dengan sutradara seri Justin Chon dan Kogonada.
Buku itu juga merupakan wahyu bagi saya. Sebelum saya membaca Pachinko, apa yang saya ketahui tentang sejarah Korea dengan Jepang berasal dari Wikipedia. Saya tidak belajar tentang penjajahan di sekolah, tapi ada petunjuk dari masa lalu yang traumatis dalam komentar sinis tentang Jepang yang dibicarakan oleh keluarga saya setelah beberapa minuman dan desakan untuk menggunakan bahasa Korea daripada bahasa Jepang untuk nama-nama makanan: ramyun bukannya ramen, gim bukannya nori—dan Tuhan menyelamatkan Anda jika Anda mencoba mendeskripsikan kimbap sebagai “sushi tanpa ikan mentah.”
Saya tahu kakek dan nenek moyang saya hidup pada saat penjajahan Jepang terhadap Korea di tahun 1910-1945, tetapi mereka bukan bagian dari komunitas Zainichi. Deskripsi buku yang spesifik tentang realita kehidupan di bawah pemerintahan Jepang membantu melukis gambaran tentang kehidupan kakek-nenek dan kakek buyut saya. Setelah saya membacanya, saya membeli salinan terjemahan Korea untuk ibu saya dan mulai bertanya. Pachinko membantu saya memulai untuk memahami bagaimana era itu terus menghantui banyak orang Korea-Amerika hingga hari ini.
Buku itu hanyalah awalan bagi Soo. Walaupun Pachinko adalah cerita fiksi, tetapi tetap diteliti secara mendalam. Lee mewawancarai sekelompok wanita Zainichi saat dia menulis untuk memastikan dia menangkap pengalaman mereka secara akurat: “Orang Jepang-Korea mungkin terlihat sebagai korban sejarah, tetapi ketika saya bertemu mereka secara langsung, tidak satupun dari mereka yang sesederhana itu,” tulisnya dalam bagian ucapan terima kasih buku tersebut.
Komitmen terhadap akurasi sejarah terbukti dalam pemeran serial nya juga. Jin Ha, orang Korea-Amerika yang berperan sebagai Solomon - cucu dari Sunja - berbicara bahasa Korea dan Inggris dengan lancar, tetapi dia harus belajar untuk memerankan pria Korea yang dibesarkan di Jepang.
Pertama kali dia membaca novel itu adalah ketika serial nya telah disetujui. Walaupun ditulis dalam bahasa Inggris, sepanjang cerita karakter-karakternya berbicara dalam bahasa Jepang dan Korea. Dia tahu betul bahwa produksi bisa mengarah ke dua hal: “Jika mereka memutuskan untuk melakukan hal yang biasa kami lakukan sebagai penonton berbahasa Inggris, di mana itu seperti kami melakukannya secara ambigu dengan beraksen bahasa Inggris untuk membedakannya sebagai bahasa asing, maka saya akan memiliki kesempatan yang cukup baik, " ujarnya. Tetapi jika produksinya dilakukan akurat secara linguistik, "Saya tidak punya kesempatan dalam serial tv ini."
Sebelum dia mengikuti audisi untuk perannya, Jin mengirim dialognya ke ayahnya, yang berbicara bahasa Jepang. “Saya seperti, 'Hei, bisakah Ayah merekam diri Ayah membaca ini?'” Ayahnya juga mentransliterasi dialognya menggunakan Hangul, alfabet Korea, dan mengirimkannya ke Jin. “Jadi saya menerima transliterasi Hangul dari bahasa Jepang, dan kemudian saya mengalihkan karakter Korea tersebut ke dalam bahasa Inggris ke bahasa Latin untuk dibaca.”
Jin menggunakan sistem itu untuk membuat rekaman sendiri yang memenangkannya peran itu. Begitu dia menandatangani proyek, pembelajaran bahasa Jepang baru benar-benar dimulai. Tak hanya harus belajar tampil dengan meyakinkan dalam bahasa Jepang, ia juga harus belajar beberapa dialek bahasa Jepang yang akan digunakan oleh karakternya dalam konteks-konteks berbeda.
“Setiap kali Soo mengajukan pertanyaan kepada saya, seperti, 'Apakah Anda masih ingin melanjutkan? Bisakah kita melangkah lebih jauh ke dalam kenyataan itu?’ jawaban saya selalu iya,” tuturnya. “Bagi saya, diundang untuk mewakili komunitas ini yang sangat bertingkat dan tangguh, itu kewajiban saya untuk melakukannya dengan terbaik yang saya bisa secara akurat, autentik dan manusiawi untuk mewakili sepupu leluhur saya.”
Pertunjukan tiga bahasa terasa radikal bagi saya sebagai penonton, terutama berasal dari perusahaan produksi Amerika.
“Tidak pernah menjadi pertanyaan bahwa serial tv ini akan dilakukan dalam bahasa-bahasa lain; saya tidak paham bagaimana Anda bisa melakukannya dengan cara lain dimana Anda menceritakan tentang kolonisasi, karena bahasa adalah bagian dari itu,” ucap Soo. “Menurut saya tidak mungkin untuk melakukan serial tv ini tanpa dilakukan dalam tiga bahasa.
Para pemerannya merupakan campuran dari orang-orang Korea-Amerika dan Korea Selatan, membawa hubungan mereka sendiri dengan sejarah Korea dan dihidupkan dalam peran mereka masing-masing. Lee Minho—yang mungkin paling dikenal sebagai bintang serial televisi Korea Selatan tahun 2009 Boys Over Flowers—memainkan Koh Hansu, broker ikan yang memiliki hubungan dengan yakuza, kejahatan terorganisir di Jepang. Lee Minho tidak mengikuti audisi untuk peran apapun dalam 10 tahun, tetapi saat membaca naskah Pachinko ia langsung merasa terikat—membuatnya merenungkan sejarah negara Korea.
“Saya pikir sebagian besar generasi muda menghabiskan waktu yang banyak mengkhawatirkan masa depan,” katanya. “Tapi ini kesempatan yang luar biasa bagi saya untuk meninjau kembali masa lalu. Bukan hanya masa lalu Korea—tetapi seluruh sejarahnya dan bagaimana kita sebagai generasi muda, bisa berada di wilayah yang kita tinggali saat ini.”
Yu-na Jeon, yang berusia 10 tahun dan berperan sebagai Sunja muda, mengatakan bahwa peran itu membantunya dalam memahami apa yang dialami nenek buyutnya selama masa penjajahan. “Saat saya memainkan peran ini, saya benar-benar bisa merasakan rasa sakit dan kesulitan yang dialami,” kata Yu-na. “Ini membuatku menangis terisak-isak. Saya merasa sangat sedih.” Yu-na tersentuh dengan sejarah yang dipelajari dalam proses pembuatan serial tv ini sehingga saat berbicara tentang kekejaman pasukan pendudukan Jepang di depan ibunya, ia sampai merintih kesedihan.
Demikian pula, Minha Kim, yang memerankan Sunja remaja, memanfaatkan pengalaman kolonisasi yang dihadapi neneknya untuk membantunya dalam menghidupkan perannya: “Dia menjelaskan kepada saya bagaimana rasanya menjadi seorang gadis di zaman itu. Bagaimana orang-orang sebenarnya hidup di saat itu. Saya hampir tidak bisa menemukan karakter saya jika bukan karena nenek saya.”
Youn, yang memenangkan Oscar untuk Aktris Pendukung Terbaik tahun lalu untuk penampilannya di Minari, memainkan versi Sunja yang tertua. Dia mengatakan bahwa orang Korea Selatan pun bisa belajar banyak tentang sejarah mereka dari pertunjukan. “Bahkan saya sendiri belajar banyak hal baru tentang bagaimana [orang Korea] menderita di Jepang, ditinggalkan seperti bukan siapa-siapa di negara asing,” ucapnya. “Saya berharap untuk memberi penghormatan yang layak dengan karya ini tentang kisah mereka.”
Ada adegan di episode pertama yang melekat dalam diri saya. Solomon bekerja di AS sebagai bankir investasi. Untuk membuat kasus demi dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi, dia berjanji bahwa ia akan membujuk orang Korea yang merupakan janda tua untuk menjual sebidang tanah berharga miliknya di Tokyo. Dia yakin dia bisa membuat nenek-nenek itu untuk menjual tanahnya karena dia juga merupakan orang Korea.
Saya mengenal perasaan ini, perasaan pemahaman di antara orang Korea, terutama mereka yang berada di diaspora. Saya melanjutkan pendidikan saya di perguruan tinggi di Georgia, terletak di tengah-tengah lahan pertanian yang berjarak kira-kira 1,6 kilometer dari arah mana saja. Musim gugur tahun pertama saya, saya mengerjakan pekerjaan rumah di kafe perpustakaan dan melihat sekelompok siswa-siswi dari Korea yang mendorong beberapa meja bersama dan mengatur piring-piring berisi makanan Korea di atasnya.
Mereka punya piring plastik kecil banchan—kimchi, kecambah kedelai, acar, dan ubi jalar—serta hidangan yang lebih besar seperti nasi, bulgogi, japchae, dan pajeon. Mulut saya langsung berair dalam seketika saat saya melihat mereka mengeluarkan semua makanannya dan mulai menyantapnya.
Sudah berbulan-bulan sejak saya terakhir makan makanan Korea; tidak ada restoran atau pasar Korea di kota kecil, setidak-tidaknya yang dapat saya temukan adalah tempat takeout "Jepang" yang memiliki racikan mayones dan moster terkenal yang disebut “saus kuning”—makanan mabuk yang ideal tapi tidak seperti apa yang saya terbiasa makan saat di rumah. Di satu sisi, saya sudah kelaparan di kota kecil itu, terputus dari makanan yang membuat saya merasa nyaman saat dirumah.
Beberapa lama kemudian saya menyadari itu Chuseok, liburan panen di Korea—biasa untuk berkumpul dan makan besar dengan orang yang dicintai di musim gugur.
Saya secara perlahan mendekati mereka. "Maaf, dari mana Anda mendapatkan makanannya?" Mereka melihat ke arah saya. “Maaf, saya orang Korea dan terakhir saya makan makanan Korea sudah begitu lama, ” saya katakan, langsung malu. Karena saya setengah Korea dan setengah putih, banyak orang Korea yang tidak langsung mengetahuinya sebelum saya jelaskan ke mereka. Begitu mereka mengerti, mereka semua mulai berbicara tak bergantian dan memberikan piring berisi tumpukan makanan.
Saya berjalan balik ke meja saya, tidak hanya dengan piring yang penuh, tetapi daftar nama dan nomor telepon; dan perasaan kesepian yang berkurang dari sebelumnya.
Ada kata untuk perasaan ini: jeong. Mengacu pada rasa kekeluargaan yang dirasakan antar orang Korea, bahwa kita bersama-sama, menjaga satu sama lain di tempat-tempat yang tidak biasa, jauh dari rumah.
Orang Korea dari diaspora berhasil menemukan satu sama lain, entah itu di kafe perpustakaan universitas di daerah Selatan, di toko kelontong di area metro, atau di Osaka panti pachinko.
Baca juga:
8 Drakor yang Siap Tayang di Bulan Mei 2022
15 Drama Korea Terbaik di Netflix Saat Ini
Penulis: Alex Sujong Laughlin; Artikel ini disadur dari: BAZAAR UK; Alih bahasa: Aleyda Hakim; Foto: Courtesy of BAZAAR UK