Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Apa Itu Adiksi Kortisol dan Dampaknya pada Tubuh?

Menelusuri jejak stres yang diam-diam memengaruhi tubuh dan pikiran.

Apa Itu Adiksi Kortisol dan Dampaknya pada Tubuh?
Foto: Courtesy of Margarita on Pexels

“Bu, ini obatnya. Diminum tiga kali sehari setelah makan. Saya juga sarankan untuk menghindari stres.”  Kalimat yang sering kita dengar saat periksa ke dokter ini terdengar sederhana, tetapi menyimpan pesan penting. Pertanyaannya, apa sebenarnya hubungan stres dengan kesehatan fisik?

BACA JUGA: Perjalanan Merawat Diri yang Tidak Lagi Tentang Menjadi Sempurna Tetapi Seimbang

Stres adalah respons tubuh dan pikiran terhadap tekanan atau ancaman, baik yang nyata maupun yang dipersepsikan. Salah satu hormon yang berperan utama adalah kortisol, hormon steroid yang diproduksi oleh kelenjar adrenal di atas ginjal. Kortisol sering disebut hormon stres karena dilepaskan saat tubuh menghadapi tekanan. Fungsi hormon ini sangat penting, mulai dari menjaga tekanan darah, mengendalikan metabolisme gula darah, mengurangi peradangan, hingga membantu tubuh merespons stres.

Masalah muncul ketika kadar kortisol tinggi terus-menerus dalam jangka panjang. Kondisi ini dapat menimbulkan masalah kesehatan, salah satunya Gastroesophageal Reflux Disease atau GERD. GERD adalah kondisi kronis di mana asam lambung secara teratur naik ke kerongkongan sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman. Menurut artikel Could Stress Be Making My Acid Reflux Worse? yang diterbitkan Harvard Health Publishing pada 2022, stres emosional dapat memperparah GERD melalui peningkatan produksi asam lambung.

Saat sakit, seseorang juga cenderung merasa stres yang dapat memicu kecemasan hingga depresi pada kasus sakit berat. Siklus ini yang bermulai dari stres, sakit akibat stres, hingga stres yang dipicu oleh sakit, menjadi lingkaran yang menantang daya tahan tubuh dan mental.

Psikolog klinis Intan Agitha Putri menjelaskan bahwa stres muncul ketika terdapat ketidak sesuaian antara tekanan yang dihadapi seseorang dengan kemampuan untuk mengatasinya. Bila tidak dikelola, stres bisa berkembang menjadi stres kronis, di mana seseorang terus-menerus berada dalam keadaan tertekan dan fungsi sehari-hari terganggu.

Robert Sapolsky, neuroscientist asal Amerika, menambahkan bahwa kortisol membantu tubuh menghadapi stres dengan memobilisasi energi dan meningkatkan respons fight or flight saat menghadapi ancaman.

“Stres muncul ketika terdapat ketidaksesuaian antara tuntutan atau tekanan yang dihadapi seseorang dengan sumber daya yang dimilikinya untuk mengatasi tuntutan tersebut,” — Intan Agitha Putri, M.Psi, Psikolog

Respons stres melibatkan sistem saraf otonom, hormon stres, serta bagian otak seperti amygdala dan korteks prefrontal. Dua respons yang paling umum adalah fight dan flight. Pada mode fight, seseorang merespons tekanan dengan agresi atau perilaku defensif. Pada mode flight, individu menghindari situasi stres untuk melindungi diri. Sayangnya, respons ini terkadang membuat seseorang lari dari tanggung jawab dan tidak resilient terhadap tantangan.

Selain itu, ada dua respons lain yang perlu diketahui: freeze dan fawn. Freeze terjadi ketika seseorang membeku, baik secara fisik maupun pikiran, biasanya saat menghadapi ancaman besar atau trauma. Fawn, atau people pleasing, terlihat pada orang yang selalu sulit menolak permintaan orang lain demi menghindari konflik sosial.

Intan menjelaskan bahwa dalam kondisi stres, amygdala dapat mengambil alih kinerja korteks prefrontal, pusat logika dan pengambilan keputusan. Fenomena ini dikenal sebagai amygdala hijack, di mana seseorang dapat bereaksi impulsif karena pusat logika mengalami “shutdown”. Pada stres kronis, tubuh tidak pernah keluar dari mode respons stres, kadar kortisol tetap tinggi, dan bila tidak tertangani dapat memengaruhi sistem kardiovaskular, saraf, hingga imun, sehingga meningkatkan risiko penyakit.

Dampak stres berkepanjangan bisa terlihat langsung pada tubuh, seperti jerawat, gangguan tidur, kelelahan, perubahan berat badan, hingga masalah pencernaan. Ferry Fibriandani ST, M.Psi menambahkan, “Stres tidak harus hadir secara langsung untuk memengaruhi tubuh; hanya dengan mengingatnya saja, tubuh dan pikiran tetap bisa terpengaruh.”

“Hormon stres seperti adrenalin dan kortisol membantu kita berpikir lebih cepat dan bertindak lebih efektif.” —Ferry Fibriandani ST, M.Psi 

Lebih serius lagi, seseorang bisa mengalami cortisol addiction atau adiksi kortisol. Ini adalah kondisi ketergantungan fisiologis dan psikologis terhadap sensasi yang ditimbulkan hormon stres. Canadian Centre for Addictions pada 2025 menyebutkan bahwa kecanduan kortisol membuat tubuh menyesuaikan diri dengan tingkat hormon stres tinggi sebagai kondisi normal. Otak kemudian terlatih mempersepsikan stres sebagai excitement atau kegembiraan, sehingga situasi tenang terasa asing. Secara biologis, reseptor kortisol menjadi kurang sensitif, sehingga diperlukan lebih banyak stres agar tubuh merasa “berfungsi”.

Faktor penyebabnya tidak hanya biologis, tetapi juga psikologis dan lingkungan. Trauma masa lalu yang tidak terselesaikan dapat membuat sistem saraf terbiasa dalam kewaspadaan tinggi, sehingga stres menjadi semacam “ketagihan”.

Meski demikian, stres tidak sepenuhnya negatif. Stres positif, atau eustress, muncul ketika seseorang menghadapi tantangan yang memacu semangat dan kemampuan, misalnya gugup sebelum presentasi penting atau memulai proyek baru yang sesuai passion. Pada eustress, tekanan dilihat sebagai kesempatan untuk menunjukkan kemampuan. Hormon stres seperti kortisol mendukung fokus dan tindakan yang efektif, tetapi setelah tantangan selesai, tubuh kembali tenang.

Cara menciptakan eustress adalah dengan melatih mekanisme coping. Problem-focused coping dilakukan saat sumber stres bisa dikendalikan, misalnya dengan menyusun to-do list, manajemen waktu, komunikasi efektif, atau pengelolaan keuangan. Emotion-focused coping diterapkan ketika stres sulit dikendalikan, misalnya melalui meditasi, jurnal, breathwork, hobi, atau dukungan profesional. Program seperti Employee Assistance Program juga dapat membantu individu menghadapi tekanan secara sehat.

Foto: Courtesy of Freepik

Intan dan Ferry sepakat bahwa konseling dan psikoterapi membantu individu mengenali sumber stres kronis, termasuk cortisol addiction, sehingga seseorang dapat merespons tekanan dengan lebih adaptif. Stres yang dikelola dengan baik dapat menjadi sumber energi untuk bertumbuh, bukan beban yang merusak kesehatan fisik maupun mental.

BACA JUGA:

Menyimak Inovasi dalam Keberlanjutan di Dunia High Jewelry

Perspektif Baru dari Perhiasan Warisan di Mata Gen Z

Baca artikel Bazaar yang berjudul "Adiksi Kortisol?" yang terbit di edisi cetak Harper's Bazaar Indonesia - November 2025; Penulis: Melita Andini; Disadur oleh: Emily Naima