Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Perspektif Baru dari Perhiasan Warisan di Mata Gen Z

Yudith Kindangen berbincang dengan empat figur Gen Z yang menafsirkan ulang heirloom jewelry sebagai akar, ekspresi diri, dan identitas yang menghubungkan masa lalu dengan kini.

Perspektif Baru dari Perhiasan Warisan di Mata Gen Z
(Layout: Adzkia Asakiinah)

Tidak semua warisan dapat disimpan rapi di dalam lemari. Sebagian hidup pada kulit, rambut, dan menetap di ingatan. Dalam kilau perhiasan keluarga, heirloom jewelry menyimpan jejak generasi sebelumnya, suara yang tidak lantang namun bertahan lebih lama dari tren yang datang dan pergi. Meski hanya berupa kalung, anting, atau cincin, maknanya jauh melampaui bentuk fisiknya. Ia membawa denyut masa lalu, bisikan lembut dari tangan-tangan yang pernah mengenakannya, dari leher, pergelangan, atau jari yang membuatnya bermakna. Ia menjadi cara keluarga bercakap melintasi waktu dalam saksi cinta, kehilangan, perayaan, dan kesinambungan.

BACA JUGA: Menyimak Inovasi dalam Keberlanjutan di Dunia High Jewelry

Di tangan generasi muda, heirloom tidak lagi dianggap sekadar peninggalan kaku dari masa lampau. Di tengah dunia yang seragam dan bergerak cepat, ketika semua tampak mirip di layar ponsel, kilau antiknya justru menjadi penanda diri yang paling otentik.

FOTO: COURTESY OF SAKINA SOEKASAH

Bagi Sakina Soekasah yang tumbuh dalam keluarga penuh tradisi, perhiasan warisan adalah wujud cinta yang dapat disentuh. Ia masih mengingat jelas saat pertama mengenakan perhiasan keluarga pada hari pertunangannya, sebuah kalung yang terasa berat namun menenangkan. “Heirloom jewelry bukan soal tampilan saja. Setiap potongannya menyimpan jejak seseorang sebelum saya,” ujarnya. Sakina bukan tipe yang memakai perhiasan warisan setiap hari; baginya setiap benda memiliki momennya sendiri. Ketika kebaya ibunya menyentuh kulitnya, dan kalung serta cincin turun-temurun menyatu dengan napasnya, warisan itu seperti hidup kembali dalam diam namun berakar.

Cincin turun temurun yang menyatu dengan napas Sakina Soekasah

Makna serupa hadir dalam bentuk yang lebih sunyi melalui Radinindra Nayaka, perancang busana muda dari garis bangsawan Keraton Surakarta Hadiningrat. Tumbuh dalam kedekatan dengan simbol, budaya, dan sejarah panjang keraton, ia merasa generasinya semakin haus akan akar. “Di dunia yang serba global, perhiasan keluarga memberi kami identitas yang jujur,” katanya.

(FOTO: COURTESY OF RANDININDRA NAYAKA)

Radinindra pertama kali memakai perhiasan keluarga di akhir masa SMA, saat identitas diri sedang digali dan diuji. Ketika banyak orang tampil serupa, ia justru meraih masa lalu keluarganya sebagai penegasan jati diri. Gayanya sederhana dan monokrom. Bagi Radinindra, perhiasan bukan pusat perhatian, melainkan lapisan terakhir yang memperhalus tampilan. “Saya ingin ia menyatu dengan tubuh, bukan sekadar tempelan,” ucapnya.

Perhiasan keluarga sebagai pernyataan gaya Radinindra Nayaka

Dalam keluarganya, simbolisme adalah bahasa. Seperti motif batik yang penuh makna, perhiasan pun berbicara dengan cara pribadi. “Saya memakai emas saat merasa yakin, perak saat ingin berani, dan mutiara ketika rapuh,” katanya. Dengan itu, ia dapat jujur pada perasaan tanpa perlu mengatakannya. Ia mengenakan masa lalu bukan sebagai beban, melainkan cara memberi bobot pada hari ini. Pakaian dan perhiasan baginya adalah bahasa hati; dalam mutiara ada kepekaan, dalam perak ada keberanian, dalam emas terdapat keyakinan.

Sementara Patricia Arstuti menghadirkan pandangan yang mengakar pada tradisi. Sebagai duta Solo International Performing Arts 2025, ia sering membagikan cerita budaya melalui media sosial dari kebaya hingga filosofi keluarga.

FOTO: COURTESY OF PATRICIA ARSTUTI

Bagi Patricia, heirloom pertamanya bukanlah perhiasan besar, melainkan tusuk konde milik sang eyang. Ia mengenang momen kecil namun berkesan: upacara adat Tetesan, penanda seorang anak perempuan beranjak dewasa. “Saya memakai sanggul, kebaya, dan aksesori eyang yang dirawat penuh cinta,” kenangnya.

Tusuk konde yang diwariskan keluarga Patricia Arstuti sebagai simbol kebijaksanaan dan tanggung jawab

Tusuk konde itu sederhana, tapi sarat makna. “Eyang dan ibu percaya ia adalah pelindung, penolak bala,” ujarnya. Ujung runcingnya dianggap mampu menangkal energi negatif. Warisan ini diberikan dari ibu ke anak perempuan, lalu ke cucu sebagai simbol kebijaksanaan dan tanggung jawab keluarga.

Hingga kini, tusuk konde itu selalu digunakan dalam acara besar keluarga. “Setiap memakainya, saya merasa diingatkan untuk rendah hati dan mawas diri,” katanya. Ia memadukannya tak hanya dengan kebaya tradisional, tapi juga sanggul modern sederhana yang menjadikannya bagian dari gaya personal. “Bagi saya, memadukan heirloom bukan soal tren, tapi menjaga cerita dan energi di dalamnya. Mungkin itulah yang membentuk signature style saya: elemen kecil masa lalu yang selalu hadir di masa kini.”

Berbeda dengan Aleyda Hakim, Fashion Writer Harper’s Bazaar Indonesia yang bergaya bold dan playful. Ia melihat perhiasan sebagai ruang berekspresi. Ia tidak memisahkan yang sakral dan sehari-hari; baginya heirloom adalah medan bermain. “Heirloom jewelry mengingatkan saya pada perempuan-perempuan keluarga saya,” ujarnya. “Setiap potongan membawa kisah dan terasa hidup saat dipakai.”

Bermain padu padan heirloom jewelry menjadi signature style Aleyda Hakim

Aleyda tumbuh dengan keberanian untuk menggabungkan masa lalu dan masa kini. “Dulu heirloom hanya dipakai untuk acara istimewa, sekarang kami bisa memakainya kapan saja, dengan gaya apa pun,” katanya. Ia memadukan karakter pribadinya dengan warisan keluarga, hingga setiap aksesori terasa begitu “Aleyda”. Baginya, mix and match heirloom bukan tentang gaya semata, tetapi meneruskan cerita dan energi yang menghidupinya.

Empat sudut pandang, empat latar berbeda, empat cara mencintai warisan. Sakina dengan keanggunan intimnya. Radinindra dengan simbolisme dan akar keraton. Aleyda dengan energi eksperimental. Patricia dengan tradisi yang ia rayakan lewat tusuk konde dan kebaya. Tidak ada yang lebih benar, karena semuanya melihat heirloom sebagai sesuatu yang punya nyawa, bahasa tanpa suara.

Sakina berharap koleksi perhiasannya kelak membawa cerita perempuan-perempuan dalam keluarganya. “Saya ingin ia mewakili lebih dari gaya tetapi kekuatan lintas generasi.” Bagi Radinindra, heirloom menjadi pengingat asal-usul. “Taste keluarga membentuk saya, dan perhiasan ini menegaskan dari mana saya berasal.” Sementara Aleyda melihatnya sebagai ruang tafsir kreatif. “Heirloom bukan masa lalu; ia hanya menunggu untuk dimaknai lagi.” Patricia pun berkata, “Saat saya mengenakannya, saya tidak sendiri. Ada orang lain, ada waktu lain, berjalan bersama saya.”

Pada akhirnya, perhiasan warisan bukan sekadar emas atau batu mulia. Ia adalah tangan yang saling menggenggam melintasi generasi. Cerita yang diwariskan, dihidupkan, lalu dijahit ulang dalam kehidupan yang baru. Tidak lagi membeku dalam kotak kaca; ia bergerak bersama pemiliknya, hadir di jalanan, acara, hingga keseharian. Di tangan generasi muda, warisan bukan hanya benda, ia adalah cerita, identitas, dan rumah.

BACA JUGA: 

Perjalanan Merawat Diri yang Tidak Lagi Tentang Menjadi Sempurna Tetapi Seimbang

Apa Itu Adiksi Kortisol dan Dampaknya pada Tubuh?

Baca artikel Bazaar yang berjudul "Heirloom Jewelry, Warisan yang Bernapas" yang terbit di edisi cetak Harper's Bazaar Indonesia - November 2025; Penulis: Yudith Kindangen; Disadur oleh: Kayra Himawan.