
Satu foto = seribu kata. Kalau satu foto + sosok mendunia = seribu juta likes dan share. Pada akhirnya, laba.
BACA JUGA: Apakah Smartwatch Jadi Obsesi Terbesar Anda & Generasi di Dekade Ini?
Seperti foto yang diunggah oleh salah satu anggota girlband Blackpink, Lisa dengan koleksinya, Labubu. Teknik, sekaligus marketing gimmick, blind box ini menjadi bagian dari kesuksesan besar collectibles seperti Labubu, Sonny Angel, dan, Smiski, sejenisnya. Unggahan itu tak berhenti di sana. Karena mampu menggemakan efek yang tak terpikirkan, pihak perusahaan yang menciptakan Labubu kerap mengirimkan sang penyanyi asal Thailand ini akan ratusan item lainnya.
Termasuk seri yang dipecah ke dalam 12 kotak kecil dan disebut blind box.

Itu yang menangkap perhatian saya di media sosial. Kala itu, tidak sedikitpun tulang dalam badan saya tergelitik untuk mengikuti perkembangan, bahkan menjadi bagiannya. Namun apa daya, lama-kelamaan prinsip pudar seperti daily timer yang set di Instagram.
BACA JUGA: Memahami Perubahan Cuaca Ekstrem, Iklim, dan Fenomena Pemanasan Global
Hampir enam bulan berlalu, saya justru “goyang” karena unggahan seorang content creator asal Hawaii, Bretman Rock. Ia melakukan hal yang sama dengan Lisa. Perjalanannya mengoleksi karakter mungil itu ternyata berhasil menargetkan saya. Well done, algorithm!
@bretmanrock Smiski Hippers ? I think YAAAAAAAAASSSSSS
♬ original sound - bretmanrock
Daripada penasaran, saya membeli satu blind box Smiski yang terpampang di Urban Outfitters. Tidak ada antrian, tidak dikelilingi lautan manusia. Easy access for me.

Berbeda dengan Labubu yang lembut dan menggemaskan, Smiski adalah figur bertekstur keras, tidak memiliki sehelai bulu, dan glow-in-the-dark. Saya membeli Smiski dari koleksi Office Series. Sekarang, figure ini berdiri manis di atas meja kerja saya. Judulnya Smiski Approving. Secarik kertas datang dalam kotaknya dengan penjelasan “Smiski praises your work from the corner. He is good at complimenting everything”. Spontan saya bergumam, “Now I get it.”

Beberapa hari berlalu, Janice Mae, kolega yang duduk tepat di belakang kursi saya ternyata juga mengoleksi Smiski. Dari koleksi yang sama pula!

Bedanya, Janice sudah mempunyai Smiski dari seri Work, Exercising, dan Smiski pulling keychain. Ia memberi batasan pada dirinya untuk tidak membeli blind box tanpa ada tolok ukur tentu. “Jadi hanya beli Smiski kalau sedang ke Kinokuniya saja,” tuturnya. Ia tidak mau memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk membelinya di e-commerce.

Lain lagi dengan salah seorang kolega dari ruangan sebelah. Ia rutin mengikuti munculnya koleksi baru dari setiap koleksinya. Apabila dijumlahkan, ia mengaku sudah mengeluarkan uang sekitar belasan juta untuk “membangun” istana koleksinya ini. Ia juga bercerita kalau fenomena blind box ini sebenarnya berawal dari Jepang, tepatnya gashapon. Mesin yang mengeluarkan mainan dalam bungkusan kapsul plastik. Jangan salah, kota-kota besar di Indonesia juga ada mesin ini. Tapi jumlahnya tak sebanyak di Jepang. Begitu juga dengan pilihannya. Jadi, enggak heran kalau banyak yang lupa waktu saat bermain ke arcade yang isinya ratusan gasaphon.
Karena obrolan itu, saya jadi ingat kalau sewaktu kecil saya sudah sempat menjadi bagian dari blind box ini. Tepatnya saat mengumpulkan tazo, mainan plastik berukuran kecil hanya bisa Anda dapatkan ketika membuka kantong snack. Perbedaannya ada pada teknologi. Dulu, saya melihat iklan-iklan itu di televisi dan majalah. Kini, media sosial yang hadir dengan segala keterhubungannya menyampaikan pesan yang sama, dengan cepat. Media sosial juga memiliki peran besar dalam fenomena ini.
Blind box berawal dari mesin gasaphon yang sudah ada di Jepang dari tahun 1960-an. Blind box sudah bertransformasi dari mainan plastik menjadi sebuah fenomena global yang berhasil mendatangkan pembeli dari generasi muda. Dari sebuah reportase yang dilansir dari The New Paper, Asia Tenggara diperkiraan akan mengalami kenaikan sebanyak 35 hingga 40 persen dalam penjualan blind box. Sedangkan di Amerika Serikat, popularitas blind box meroket di saat yang bersamaan dengan data yang menunjukan meningkatnya daya beli, tepatnya sebanyak empat persen dari periode sebelumnya.
Memang sempat ada hasrat ingin membeli satu blind box lagi saat melakukan riset ini. Dengan harapan mendapatkan yang saya mau. Tapi kemauan itu tidak saya turuti. Dari sana saya tertegun, apa itu yang dicari? The excitement. Menginginkan suatu hal spesifik dari hasil pabrik yang memproduksi barang secara massal. Jackpot kalau mendapat sesuai yang diinginkan, rasanya seperti sedang melambung tinggi. That’s the dopamine release! Tentu saja Anda ingin mengulang perasaan euforia ini berkali-kali.
Berbeda dengan tahun ‘90-an, meningkatnya penjualan blind boxes akhir-akhir ini disimpulkan sebagai sebuah ketidakpastian ekonomi. Apa yang dilakukan masyarakat saat dilanda economic uncertainty? Mencari secercah harapan lewat small indulgences. Emotional comfort juga sering didapatkan dari blind box ini.
Singkatnya, blind box dapat memberikan kenyamanan pada diri sendiri saat dunia sedang tidak baik-baik saja. Ini bisa saja isu yang disebabkan oleh faktor ekonomi, peperangan, hingga perbedaan ras. Menurut data yang dikumpulkan oleh Statista, pasar global blind box ini diperkiraan akan tumbuh sebanyak 10,5 persen setiap tahunnya. Jadi, siapa target perusahaan raksasa di masa ini? Youngsters.
Sebuah report mengatakan kalau konsumer mereka adalah yang lahir tahun 1995 dan seterusnya. Dari jurnal daring mengatakan kalau konsumer blind box ini terdiri dari 40 persen generasi muda yang mengutamakan small luxuries. Sedangkan Deloitte Global Economics Research Center juga menambahkan fenomena ini sudah sering dikaitkan ke ketidakpastian.
Banyak dari generasi muda yang mencari pelarian sesaat dari stres yang memenuhi pikirannya. Serupa seperti The Lipstick Effect yang muncul saat The Great Depression di tahun 1930-an. Saat itu krisis yang mulai di Amerika Serikat menyebar ke berbagai penjuru sampai tahun 1939. Penjualan lipstik mengalami kenaikan pesat meski sedang dunia dilanda krisis ekonomi.
Konsep dan emosi yang sebenarnya “dibeli” adalah rasa percaya diri yang bisa didapatkan setelah memulas bibir dengan lipstik baru. Sebagaimana blind box “menjual” rasa nyaman dan dalam kendali.
Fenomena itu dijadikan kesempatan oleh para brand untuk berinovasi. Seperti blind box yang memang menargetkan pelanggan lebih muda. Beberapa alasannya adalah mereka begitu tech-savvy.
Foto yang di-upload Lisa tadi? Berhasil menaikan harga stok Pop Mart sebanyak 260 persen. Labubu langsung habis dalam beberapa saat setelah fotonya diunggah ke media sosial. Sebanyak 60 persen dari Gen Z menikmati mencoba produk baru yang mengatasnamakan exclusivity, dan pastinya menawarkan hal mereka tahu akan viral di media sosial.
Lalu, 40 persen dari generasi yang sama lebih memilih produk dengan storytelling skill. Seperti yang dilakukan Lanvin untuk Valentine’s Day di tahun 2021. Menurut sebuah artikel di Jing Daily, label ini merilis blind box lottery di aplikasi WeChat Mini Program, lalu mereka yang membeli atau mendapatkannya diminta untuk mengambil hadiahnya di vending machine. Beragam hadiahnya, ada silk scarves, sneakers, bahkan tas sekalipun. Apakah Lanvin sukses? Ya. Penjualan menjulang tinggi, dan mereka mendapatkan klien baru.

Hadirnya sosok seperti Lisa bersama boneka-boneka Labubu, dan bukan sebagai Brand Ambassador ditafsirkan menjadi sesuatu yang natural. Unggahannya yang organik menangkap perhatian para fansnya, dan juga penggemar Blinks, untuk memiliki boneka yang sama.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan di tengah-tengah maraknya video seputar blind box. Selain mengikuti tren yang sedang viral, terkadang brand berhenti berinovasi dan menjadi monoton. Tingginya demand dari suatu produk, mengakibatkan produksi yang semakin besar. Sehingga sering kali membuat pihak manufaktur tidak lagi memerhatikan kualitas packaging, detail desain, hingga pada akhirnya produk yang Anda beli.
Selain mainan plastik, advent calendar dari label makeup dan skincare juga selalu berhasil menjadikan kehadiran kalender ini sebagai penanda festive season. Sekaligus juga menawarkan excitement lewat kotak-kotak mini yang dibuka satu per hari sampai hari Natal.
Pada akhirnya, tren blind box ini tidak hanya mewakili sebuah budaya dari satu negara, tapi juga budaya produksi dalam skala raksasa. Tren ini juga sudah meluas. China mempunyai program berjudul destination unknown. Anda hanya diminta untuk mendaftar, mengisi formulir, dan membayar sejumlah nominal yang diminta. Bila Anda beruntung, Anda dapat berpelesir ke kota yang sudah ditetapkan. Ekstrem?
Tak dapat dipungkiri, fenomena blind box ini sudah mempunyai panggungnya sendiri di dunia retail yang berdampak pada consumer engagement. Bermula dari mesin gashapon yang sederhana, kolaborasi dengan rumah mode, experience di industri travel, dan banyak lagi. Pada dasarnya blind box menjadi jawaban manusia menghadapi ketidakpastian, yakni dengan menciptakan kuasa dan kontrol.
BACA JUGA:
Merayakan Kesehatan dan Cinta Diri Lewat #MengurusDiri
Menyingkap Kemewahan Sejati di Balik Sebuah Kesederhanaan dalam Hal Berpakaian
(Foto: Courtesy of Pop Mart, Smiski, Working Cat, Sanrio Characters, Sonny Angel; Layout by: Margareth Widyadari)