Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Apakah Smartwatch Jadi Obsesi Terbesar Anda & Generasi di Dekade Ini?

Baca investigasi dari efektivitas penggunaan smartwatch yang semakin hari hadir dengan inovasi yang mendobrak batasan. Apakah mungkin Anda termasuk dalam golongan orang yang terobsesi dengannya?

Apakah Smartwatch Jadi Obsesi Terbesar Anda & Generasi di Dekade Ini?
fOTO: COURTESY OF KLIM MUSALIMOV ON UNSPLASH

"Astaga! Baru 4.500 langkah hari ini! Itu tandanya gue harus melipir ke gym untuk capai goal 10.000 steps,” seru seorang wanita pada lawan bicaranya yang kebetulan percakapan itu tertangkap telinga saya saat kami sedang sama-sama duduk bersebelahan di sebuah kafe pada hari Minggu sore. Pernyataannya secara instan berhasil menarik perhatian saya. Sebagai salah satu orang yang tak pernah absen membakar kalori setiap pagi sebelum memulai hari maupun saat weekend dan tanggal merah, saya pernah berada di fase terobsesi dengan “rapor” harian yang saya nantikan tiba tiap malam ke dalam kotak email. Tidak mencapai 10.000 langkah per hari bisa membuat saya kesal pada diri sendiri. Sleep report yang menunjukkan level fair atau poor juga bisa mengundang stres. Atau, pembakaran kalori harian yang tidak mencapai target juga dapat mendorong saya untuk melakukan diet instan keesokan harinya.

BACA JUGA: Kuasa dan Kontrol Berkedok Blind Box

Smartwatch hampir tak pernah lepas dari pergelangan tangan saya. Hanya akan berpisah ketika saat mandi atau saat diperlukan pengisian daya. Itu pun lekas-lekas akan saya kenakan kembali. Setiap langkah, gerak-gerik, aktivitas selama berolahraga, bahkan asupan apapun yang masuk ke dalam tubuh saya harus selalu terekam pada aplikasi smartwatch yang ada di telepon genggam.

"Bapak selama lima jam terakhir mengalami cardiac arrest dan it’s only a miracle that you survived up until now, Tuhan masih mau bapak hidup."-Maruli Tampubolon

Tapi ternyata saya tak sendiri. Penyanyi yang juga sekaligus advokat, Maruli Tampubolon, juga punya pengalaman dalam hal mengenakan jam pintar. “Saya menggunakan smartwatch setiap hari. Selain itu, saya juga menggunakan apparatus kesehatan lainnya seperti Oura Ring untuk memberikan data yang lebih mendetail terkait aktivitas dan kualitas tidur. Terlebih, versi smartwatch termutakhir dan smart ring yang saya gunakan juga memberikan banyak benefit dalam merekam blood oxygen level, heart rate, heart rate variability, high and low heart rate notifications, resting heart rate, serta juga merekam berapa steps yang saya butuhkan dalam setiap harinya. Bisa dibilang saya tim yang cukup ekstrim menggunakan smartwatch terus menerus, hanya akan melepasnya ketika perlu men-charge baterainya,” tutur Maruli membuka perbincangan.

Oura Ring / Obsesi Generasi Ini Pada Smartwatch
(Foto: Courtesy of oura ring)

“Mengapa saya lakukan itu, karena semakin sering saya menggunakan smartwatch, data-data kesehatan saya jadi lebih banyak terekam dalam sistem dan akan sangat berguna bilamana perlu dibaca ketika diperlukan dalam hal-hal yang sifatnya emergency. Jadi hal ini adalah bentuk preventive actions untuk merekam sebanyak- banyaknya aktivitas saya yang kemudian terkonversi menjadi data yang dapat dibuka di handphone,” imbuh sosok yang menjalani segudang aktivitas padat tiap harinya termasuk sebagai Kepala Bidang Hukum dan Perundang-Undangan di Komite Kebijakan Industri Pertahanan di Kementerian Pertahanan.

Dan buah dari konsistensinya mengenakan smartwatch, Maruli punya cerita di awal tahun kemarin. “Di bulan Januari 2024, tubuh saya mengalami anomali. Setelah selesai berenang dengan anak-anak dan bersiap untuk early dinner dengan keluarga. Tiba-tiba smartwatch saya memberikan indikasi bahwa detak jantung saya naik secara tiba-tiba di kisaran 150 bpm, padahal posisi saya sedang mode bersantai. Saya masih berpikir positif bahwa mungkin saya lagi kurang tidur dan heart rate saya akan turun dengan sendirinya. Namun ketika saya monitor terus detak jantung yang kerap naik turun secara tidak berirama, bahkan suatu waktu heart rate saya justru semakin naik sampai ke 180 bpm. Badan pun mulai terasa berat dan saya mulai mengalami short breath. Tapi saya tetap tidak panik karena tahu kapasitas tubuh sendiri mengingat punya rekam jejak sudah 10 tahun berolahraga dengan sangat rutin. Sebetulnya badan saya sudah merasa sangat lelah dan untuk bicara saja saya hanya mampu berucap dua sampai tiga kata, lalu saya perlu menarik napas yang panjang. Dalam kondisi itu, saya kemudian teringat bahwa smartwatch yang saya kenakan dilengkapi dengan fitur electrocardiograms (ECG). Saya manfaatkanlah fitur tersebut dan keluar hasil hanya dalam 30 detik, kemudian indikasi bacaan ECG menyatakan saya mengalami atrial fibrillation. Singkat cerita, ketika saya mengikuti instruksi yang ada di smartwatch lalu ada pilihan add symptoms, muncul pertanyaan apakah badan saya mengalami rasa mual, pusing, sakit di dada, dan lain sebagainya. Namun saya tetap tidak memilih itu semua karena mungkin saya memiliki pain tolerance yang tinggi. Tapi ketika di opsi terakhir memunculkan pilihan short breath, saya langsung tak pikir panjang tick bagian tersebut. Seketika itu juga smartwatch saya menyatakan ‘immediately go to the nearest hospital’,” kenang Maruli.

Ketika berbincang dengan Emilia Achmadi yang merupakan seorang clinical dietitian dan sports nutritionist, ia juga turut mengamini bahwa kehadiran dan perkembangan smartwatch dalam kehidupan modern sudah kian pesat. “Menurut saya teknologinya sekarang memang sudah semakin canggih. Jika bicara mengenai tingkat keakurasiannya, jelas secara objektif smartwatch sudah semakin akurat. Walaupun memang kita tidak pernah bisa mengatakan bahwa ini sudah sepenuhnya akurat ya. Tapi saya juga selalu mengatakan the balance between knowing yourself juga jadi faktor yang tak kalah krusial.

"The key is knowing how to use the technology and understanding the technology."- Emilia E. Achmadi MS., RDN

Gunakan smartwatch as a guideline, sebagai alat bantu. But listening to yourself itu jauh lebih penting karena tak jarang orang sedikit-sedikit lihat jam, akhirnya tumbuhlah sensitivitas dan insting pada badan kita sendiri. Padahal yang harus dilakukan adalah mendengarkan tubuh kita, understanding our own body, tidak bisa kita 100 persen limpahkan ke satu alat. Misalnya kita merasa badan kita sedang tidak enak, lalu kita lihat alat bantu yang kita kenakan dan jadikan itu sebagai confirmation dari apa yang dirasakan secara fisik,” jelas Emilia.

“Semakin canggih smartwatch yang kita gunakan, penting juga bagi kita untuk belajar menguasainya. The key is knowing how to use the technology and understanding the technology. Jadi penggunanya harus mengerti kenapa kita menggunakan smartwatch, bagaimana menggunakannya dengan benar, kemudian bagaimana menginterpretasi hasil atau apa yang dikatakan oleh smartwatch compare to what you’re feeling at that moment. Jadi percuma bila menggunakan high tech technology dengan harga selangit, tapi kalau kita tidak menguasai teknologi yang ada, it’s useless. Bahkan justru bisa menjadi bahaya karena informasinya yang kita olah menjadi misleading,” lanjut sang ahli.

Kembali ke cerita pengalaman Maruli, ia pun kemudian menjalani tindakan cardioversion dan seminggu setelahnya dilakukan catheter ablation. “Setibanya di rumah sakit, saya langsung masuk UGD, kemudian ICU. Di situ baru saya sadari ketika dokter spesialis jantung menyatakan bahwa: ‘Bapak selama lima jam terakhir mengalami cardiac arrest dan it’s only a miracle that you survived up until now, Tuhan masih mau bapak hidup’,” tutupnya.

Jadi apakah Anda juga sudah merasakan manfaat yang serupa dari kehadiran smartwatch atau masih menganggap belum butuh dengan fitur-fitur yang ditawarkan oleh health tracker dalam hidup personal? Keputusan ada di tangan Anda.

BACA JUGA:

Menyingkap Kemewahan Sejati di Balik Sebuah Kesederhanaan dalam Hal Berpakaian

Merayakan Kesehatan dan Cinta Diri Lewat #MengurusDiri