Harus mulai dari mana ya untuk menulis tentang info hoax di grup WhatsApp? Ya, memang fenomena ini sudah lama sekali terjadi. Tapi saya akhirnya menyerah. Bukan menyerah lalu lantas mengacuhkan, tapi saya akhirnya menyerah untuk berdiam diri.
Saya memang paling malas mengomentari sejumlah hoax atau berita (penting tidak penting) yang disebarkan oleh keluarga ataupun grup melalui pesan WhatsApp. Apalagi kalau urusannya dengan politik dan pertikaian karena agama, sudahlah itu menjadi opini masing-masing saja.
Tapi akhirnya pertahanan saya runtuh ketika wabah Covid-19 mulai merebak di Indonesia. Pesan di WhatsApp mengenai berita Covid-19 mulai berdatangan, khususnya di grup besar (termasuk grup keluarga). Isinya, jelas banyak bikin panik bagi siapa saja yang membacanya. Apalagi kala itu masih ada simpang siur informasi khususnya dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Saya gemas, kenapa sih orang-orang ini mudah sekali termakan hoax? Akhirnya di sela-sela physical distanding di rumah, saya menghubungi Rosdiana Setyaningrum MPsi, MHPEd, seorang ahli psikologi, dan berdiskusi mengenai masalah tersebut.
“Manusia itu, kalau ada berita positif dan berita negatif cenderung lebih cepat mengambil berita negatif. Karena terdengar lebih menakutkan, dan mereka seakan lebih sadar serta tertarik menyebarkannya,” ujar Rosdiana.
“Khusus di Indonesia, tingkat kemauan membacanya rendah, sehingga automatis malas mencari informasi dan malas juga baca berita keseluruhan, kemudian main diteruskan saja ke orang-orang. Apalagi di sisi lain, berita-berita sekarang kan kadang misleading antara judul dan juga isinya. Entah apa demi click bait, jadi harus membuat judul yang menarik, dan orang yang malas membaca kebiasaan tidak cek isinya, hanya lihat judul saja,” tambahnya lagi.
Ada hal unik yang dijabarkan Rosdiana berdasarkan penelitian generasi yang terbilang mudah terkena hoax. Menurutnya, orang-orang di Amerika yang mudah terkena hoax adalah generasi lanjut usia di atas usia 60 tahun. Mereka yang memang gagap teknologi dan kesulitan mencari kebenaran dari internet serta media sosial, sehingga dengan mudahnya meneruskan info-info salah tersebut.
Akan tetapi lucunya di Indonesia, tidak ada batasan usia! Siapa pun bisa terkena hoax dan bahkan menyebarkannya. Alasannya ya karena itu tadi, malas mencari tahu kebenarannya. “Anak muda zaman sekarang suka sekali baca berita yang hanya sedang trending topic atau cukup dengan membaca caption di media sosial. Setelah itu mereka tidak mencari tahu lagi berita sebenarnya di situs berita resmi, atau bertanya kepada sumber ahli yang terpercaya. Padahal itu adalah salah satu cara untuk menghentikan info-info yang sifatnya tidak benar,” kata Rosdiana.
Setuju, saya yang usianya dikatakan masih terbilang muda di antara mereka di grup WhatsApp, rasanya harus bergerak. Bukan bergerak untuk sekadar hanya bilang “enggak deh, itu hoax!”, tapi saya juga harus menyertakan bukti valid yang menyatakan kalau berita itu tidak benar, dan ada faktanya.
Satu lagi, secara psikologi kebanyakan manusia berpikir menggunakan emosi bukan dengan logika, hanya ingin mendengar hal yang sekiranya enak dan baik saja bagi mereka. “Jadi dengan maraknya info bahwa bawang putih bisa menyerap virus, konsumsi jahe bisa terhindar dari virus, mereka melakukan itu dengan maksud agar mereka seolah terjaga, mereka sehat, bebas Covid-19, dan tidak mengindahkan social maupun physical distancing. Tak heran mereka sekarang tetap kumpul-kumpul,” kata Rosdiana lagi.
Namun untuk menanggapi orang yang memberi info tidak benar, Rosdiana melakukan ini, “Saya biasanya akan bilang secara baik-baik. Misalnya, ‘memang benar informasi itu? sudah dicek kebenarannya?’ Atau perihal bawang, saya akan menjawab: ‘info itu kayaknya enggak deh, tapi kalau hal itu memang membuat kamu tenang dan nyaman ya silakan saja’.”
Tak jarang berita-berita (entah benar atau tidak) di masa sekarang ini membuat siapa saja menjadi mudah cemas. Rosdiana punya solusi jitu untuk mengatasi kecemasan tersebut, “Lebih baik cari berita pandemi Covid-19 jangan di pagi dan malam hari. Kenapa? pagi-pagi Anda baru bangun, menerima info buruk justru akan merusak mood seharian. Nah, kalau malam-malam sebelum tidur, baca berita seram, yang ada jadi tidak tidur bukan?” jelasnya.
Menurut Rosdiana, lebih baik batasi pencarian berita tentang Covid-19 mulai sekarang, semisal: pada jam 10-12 siang. Atau sore hari untuk mengetahui rekap terkini mengenai perkembangan beritanya. “Alangkah baiknya Anda mencari konten atau berita yang justru lebih memberi hiburan bagi Anda. Cari portal berita lifestyle yang tidak melulu menyediakan berita seputar Covid-19. Atau di YouTube cari tutorial masak atau keterampilan lain untuk mengasah bakat Anda atau mencari ilmu baru,” saran Rosdiana.
Kalau saya sendiri punya cerita lucu tentang menanggapi berita hoax terhadap orang tua saya. Jujur, pada masa pandemi Covid-19 ini, yang paling sulit diberi pengertian bahwa virus ini teramat bahaya justru para orang tua. Mereka seolah masih menganggap hal ini sepele, bahkan selama sepekan setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan pasien positif Covid-19 di Indonesia. Mereka punya saja alasan pergi ke luar rumah untuk sekadar ke mini market, pasar, salon, dan sebagainya.
Sampai akhirnya saya jadikan saja beberapa hoax tentang Covid-19 yang tergolong menakutkan sebagai senjata agar membuat ayah dan ibu saya diam di rumah. Dan, saya berhasil. Ayah saya yang super paranoid, akhirnya gentar untuk melangkah ke luar rumah.
Tapi buat kasus saya itu pengecualian ya. Saya sampai sekarang masih tetap membetulkan info-info hoax (seputar Covid-19) yang tersebar melalui pesan di grup WhatsApp keluarga. Karena kalau bukan tugas kita (generasi melek teknologi), siapa lagi yang bisa menghentikan penyebaran berita bohong itu?
Ada baiknya mulai belajar mengecek kembali berita-berita atau pesan terusan dari teman atau kerabat. Caranya sangat mudah, hanya modal internet dan smartphone yang sudah tentu sudah fasih di tangan Anda. Salah satu situs daring yang bisa menjawab pertanyaan kebingungan Anda terhadap sebuah berita adalah cekfakta.tempo.co , atau kalau saya biasanya bertanya lagi sama teman atau keluarga yang dirasa lebih ahli serta punya akses untuk mengungkap kebenaran itu.
Yuk, sama-sama hentikan berita hoax dari tangan Anda.
(Foto: Raja Regar untuk Fashion Spread majalah Harper's Bazaar Indonesia edisi Mei 2019, Fashion Stylist: Michael Pondaag, Handphone: Oppo)