Satu per satu dunia mode mulai terasa seperti papan catur antara masa depan dan masa lalu. Satu sisi melangkah cepat ke masa depan dengan teknologi yang menarik perhatian. Sisi lain tetap bertahan pada kehangatan proses manual yang penuh makna. Perubahan ini tidak muncul tiba-tiba melainkan perlahan, sedikit demi sedikit membentuk cara kita melihat dan merasakan karya kreatif.
BACA JUGA: Era Baru Dunia Fashion yang Bersatu Padu dengan Ranah Digital
Awalnya, artificial intelligence atau AI hanya hadir di belakang layar, membantu mengelola stok atau menyusun katalog. Namun dalam beberapa tahun terakhir, perannya berubah jadi pusat perhatian. Kampanye mulai dibuat sepenuhnya oleh mesin, memunculkan perbincangan yang tidak lagi hanya membahas hasil gambarnya tetapi juga arti di baliknya.
Merek Guess menjadi salah satu yang memicu diskusi itu. Mereka menampilkan model yang dibuat sepenuhnya oleh AI. Kulit, rambut, dan postur semuanya dihasilkan komputer. Bagi sebagian orang, ini adalah langkah berani yang membuka peluang baru. Tapi bagi yang lain, hasilnya terasa terlalu kaku, seolah kehilangan kehidupan yang biasanya terlihat dari gerakan kecil manusia.
Hermès, Loewe, dan Ralph Lauren memilih jalur yang berbeda dari AI meski tetap bereksperimen dengan format visual. Ketiga brand ini menampilkan koleksinya lewat animasi yang sepenuhnya dibuat oleh ilustrator manusia sehingga tercipta suasana seperti dongeng bergerak.
Sementara itu, Prada, Adidas, dan Nike kembali ke gaya analog. Kampanye mereka mengingatkan pada video VHS dengan warna pudar, gerakan sedikit goyah, dan cahaya hangat seolah ingin menegaskan bahwa di tengah kesempurnaan digital, ketidaksempurnaan justru bisa menjadi daya tarik.
Bagi desainer seperti Norma Kamali, AI adalah alat untuk memperluas kreativitas. Ia bahkan mengikuti kursus generative AI di Massachusetts Institute of Technology (MIT) untuk memahami teknologi ini lebih dalam. Proyeknya adalah membangun sistem yang dilatih khusus dengan arsip karyanya agar bisa menghidupkan kembali ide-ide lama dalam wujud baru. Ia menyebut AI sebagai rekan kreatif yang memahami DNA estetikanya dan selalu siap memberi inspirasi.
Tantangannya adalah memastikan teknologi tidak menghilangkan sentuhan yang membuat mode terasa nyata dan hidup.
Bagi banyak brand, daya tarik AI terlihat jelas. Teknologi ini bisa mempercepat eksperimen visual, menyesuaikan kampanye dengan respons audiens, dan menghadirkan pengalaman belanja yang lebih personal di berbagai belahan dunia. Asisten digital berbasis AI bahkan mampu mengingat ukuran, preferensi, hingga riwayat belanja pelanggan untuk memberikan rekomendasi yang lebih tepat.
Namun, ada konsekuensi yang sulit diabaikan. Banyak fotografer, penata gaya, animator, hingga casting director mulai merasakan peluang yang semakin sempit. Kekhawatiran mereka bukan hanya soal hilangnya pekerjaan, tapi juga hilangnya momen-momen tak terduga yang memberi nyawa pada sebuah karya. Lipatan kain yang jatuh dengan cara unik, cahaya yang masuk dari sudut tak terencana, atau ekspresi spontan di depan kamera sering kali menjadi detail yang tidak bisa digantikan.
Selain itu, riset terbaru menunjukkan audiens memiliki reaksi psikologis yang kompleks terhadap kampanye berbasis AI. Studi di sektor fashion menemukan bahwa ketika konsumen diberi tahu sebuah visual dibuat oleh AI, penilaian mereka bisa berubah. Ketertarikan pada visual bisa berkurang, sementara rasa skeptis terhadap keaslian brand justru meningkat. Penelitian lain juga mengungkap iklan berbasis AI kerap dianggap membingungkan atau membosankan, dan bisa menurunkan tingkat engagement jika tidak diolah dengan tepat.
Meski begitu, AI punya potensi besar untuk membangun kedekatan emosional lewat personalisasi. Iklan yang disesuaikan, misalnya dengan menyebut nama audiens atau menampilkan visual yang sesuai preferensi mereka yang bisa meningkatkan rasa relevansi sekaligus keterhubungan. Penelitian di Indonesia juga menemukan bahwa personalisasi berbasis AI dapat memengaruhi keputusan beli, terutama jika pesan yang disampaikan terasa relevan dan konsumen memiliki tingkat kepercayaan tinggi terhadap teknologi tersebut.
Semua ini memperlihatkan bahwa kehadiran AI di dunia mode bukan hanya soal estetika atau efisiensi produksi. Ada dampak psikologis yang membentuk cara orang melihat, merespons, dan akhirnya memutuskan untuk membeli.
Di tengah semua perkembangan itu, tantangannya adalah memastikan teknologi tidak menghapus esensi yang membuat mode terasa hidup. Pilihan kita sebagai penikmat akan sangat menentukan: apakah kita lebih memilih presisi hasil algoritma atau justru merayakan ketidakteraturan yang lahir dari tangan manusia. Keputusan itu pada akhirnya akan membentuk wajah mode di masa depan, sekaligus memengaruhi cara kita memaknai kreativitas itu sendiri.
BACA JUGA:
Perkembangan Dunia Virtual yang Semakin Sempurnakan Sesi Berbelanja Online
Halo, Generasi Beta! Siapkah Tujuh Generasi Sebelumnya Berdampingan dengan Mereka?
