Adiktif. Bagi sebagian besar orang, aktivitas bersosial media bukan lagi merupakan sebuah aktivitas selingan maupun hiburan. Melainkan kegiatan wajib. Apakah Anda salah satunya?
Tanpa disadari sosial media menimbulkan efek ketergantungan yang membahayakan. Mungkin hingga detik ini, Anda masih belum menyadari bahwa Anda termasuk salah satu dari sekian banyak yang tidak bisa hidup tanpa sosial media.
Bazaar menantang Anda untuk melakukan tes sekarang juga. Coba untuk tidak memeriksa update terbaru dari Instagram dalam kurun waktu tertentu. Tidak perlu terlalu lama. Tiga puluh menit sudah lebih dari cukup untuk membuktikannya.
Bazaar yakin lebih dari sembilan puluh persen yang mencoba mengambil tes ini tidak berhasil. Entah dari kapan kebiasaan ini mulai muncul. Dan, tentu saja tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah kebiasaan yang baik.
Mengingat segala sesuatu yang berlebihan biasanya selalu berdampak negatif. Tidak terkecuali untuk sosial media. Seolah dapat memantau perkembangan dunia dari sebuah platform teknologi yang dipenuhi sajian informasi serta visualisasi terkini.
Sosial media memang inovatif. Tetapi apa jadinya jika justru membawa efek adiktif?
Jawabannya sudah pasti. Negatif.
Untuk itu, mengambil rehat sejenak dari kegiatan bersosial media dapat menjadi salah satu solusi untuk mengembalikan keseimbangan hidup.
Karena hidup sesungguhnya adalah apa yang sedang terjadi di sekitar Anda, bukan hanya sebatas aktivitas memantau layar smartphone.
Menyadari hal ini, beberapa nama besar selebriti juga sempat melakukannya. Misalnya saja, vokalis berpostur petite Selena Gomez. Bahkan, beberapa nama besar selebriti memutuskan untuk tidak memiliki akun sosial media satu pun.
Berikut ini Bazaar merangkum sejumlah alasan mengapa sesekali rehat dari sosial media diperlukan demi kesehatan jiwa dan mental.
Selamat menyimak.
1. Media sosial yang berlebihan dapat mengganggu kejiwaan
Seperti ungkapan lama berkata. Sesuatu yang berlebihan, selalu berefek tidak baik. Demikian halnya dengan bersosial media. Sebuah lembaga penelitian di Amerika Serikat menyatakan bahwa setidaknya angka minimum seseorang mengecek sosial media dalam sehari adalah sebanyak 28 kali.
Dan lebih buruknya, kebiasaan adiktif ini dapat menyebabkan tingkat kebahagiaan seseorang menjadi menurun drastis. Dengan kata lain, mereka yang ketergantungan sosial media tidak dapat lagi membedakan antara kehidupan nyata dan maya.
Patokan kebahagiaan mereka diukur dari tren serta kabar terkini yang tengah ramai beredar di sosial media. Mereka pun memiliki kecenderungan untuk membandingkan hidupnya dengan para pengguna sosial media lainnya.
2. Memiliki lebih banyak waktu luang untuk hal positif lainnya
Ingatkah Anda saat beberapa tahun silam? Sebelum sosial media mulai mendominasi sebagian besar dari kita. Segalanya lebih sederhana, sekaligus bermakna. Bahkan, hal kecil seperti mengajak hewan peliharaan menikmati udara pagi hari di taman komplek perumahan menjadi kegiatan positif yang membawa rasa bahagia.
Sangat disayangkan, saat ini untuk segelintir orang, momen tersebut sudah hampir tidak pernah terjadi lagi dalam hidup. Penyebabnya tidak lain karena mereka lebih memilih menghabiskan waktu dengan bersosial media.
Sibuk menciptakan konten serta membentuk citra diri untuk dilihat para pengikut mereka menjadi penyebabnya. Untuk itu, rehat sejenak dari bersosial media dijamin menjadi waktu tenang untuk kembali mendapatkan keseimbangan. Serta, Anda jadi mendapatkan lebih banyak waktu luang melakukan aktivas lain yang membawa dampak positif bagi tubuh dan jiwa.
3. Kehidupan privasi lebih terjaga
Tidak semua harus diketahui oleh dunia. Diam itu emas. Rasa bahagia akan terasa berkali lipat jika dinikmati seutuhnya dengan privasi bersama orang-orang terdekat. Untuk hal ini sebenarnya Bazaar tidak menentang. Sama sekali tidak ada salahnya untuk mengunggah berbagai momen bahagia serta perayaan dalam hidup. Tetapi jangan terlalu berlebihan.
Kita tidak bisa menutup mata. Ada sebagian besar kalangan pengguna sosial media yang tidak dapat mengontrol keinginannya untuk menjadi pusat perhatian. Momen apapun yang terjadi dalam kehidupan mereka, selalu disebarkan untuk konsumsi publik.
Ujungnya, si pengguna sosial media yang teradiksi ini tidak dapat menghidupi momen dalam kehidupan nyata. Kebahagiaannya tergantung dari jumlah likes dan komentar yang didapatkan dari unggahannya.
4. Sederhana selalu lebih baik
Sederhana. Esensi kata yang satu ini berkaitan erat dengan kabahagiaan. Kembali ke arti kehidupan yang sesungguhnya. Karena apa yang tampak di sosial media, belum tentu itu yang benar tercermin di kehidupan nyata.
Untuk menjadi seseorang yang bahagia dalam artian sebenarnya, tidak perlu banyak usaha. Cukup sederhankan segala hal dalam hidup. Termasuk ekspektasi dan pola berpikir. Selain itu, batasi penggunaan sosial berlebihan.
Dan, segera kembali ke esensi kata kesederhanaan untuk mengalami yang terbaik dalam hidup. Tentunya, Bazaar bicara mengenai kehidupan nyata. Bukan hidup yang berbasis teknologi, yang bahkan tidak dapat disentuh secara fisik.
5. Membatasi informasi demi kesehatan mental
Perputaran dunia yang begitu cepat menjadi hal yang selalu menarik untuk disimak. Mulai dari kabar terkini berbobot berat seputar politik, atau hanya sekadar gosip miring di kalangan selebriti. Dan, berterimakasihlah terhadap kemajuan teknologi. Dimana saat ini kita memiliki varian wujud sosial media yang dapat menjadi wadah informasi tak terbatas.
Namun, apa jadinya jika kita tidak dapat mengontrol diri? Ada sebagian besar orang yang ketergantungan akan hal ini. Akibat kejiwaan yang rapuh, segala informasi yang dibagikan di sosial media ditelan bulat-bulat. Alias tidak disaring. Tidak ada lagi rasa tenang serta aman. Sangat berbahaya!
Jika Anda termasuk salah satu yang mengalami sejumlah indikasi akan ketergantungan sosial media yang dibahas barusan, Bazaar sarankan untuk segera mengambil waktu rehat bersosial media.
Karena hidup lebih berarti dari sekadar apa yang dapat dirangkum oleh teknologi. Bedakan mana yang nyata dan tidak.
(Foto: Courtesy of @amiablecreater, @bunkhaus, @instagramforbusiness, @jengrabkowski, @vanillaontop, @reframe.social, @techbreakup)