
Ternyata selama ini saya salah, saya mengira meminta maaf saat kita menyadari telah berbuat salah adalah hal yang paling berat. Menekan ego, mencari kebenaran untuk membela diri dan mengakui bahwa “Apakah iya, ini salah saya?” Tentu terdengar sangat berat. Sebab dalam masalah konflik bukan sekadar siapa yang salah karena apa yang dirasakan oleh dua pihak adalah benar. Namun, pada akhirnya saya belajar ketika terjebak dalam sebuah konflik, lebih baik kalau kita tidak mencari alasan. Kata “maaf” seharusnya menjadi kata pertama untuk meredakan luka dan menurunkan tensi, tetapi kenyataannya adalah memberikan maaf tidak segampang minta maaf. Beban mengampuni kebohongan pasangan karena lupa transfer uang sekolah anak pasti tidak bisa dibandingkan dengan mengampuni perselingkuhan teman hidup. Memaafkan rekan kerja yang berbicara di belakang kita juga tidak sama beratnya dengan memaafkan anggota keluarga yang di masa lalu mungkin pernah menyakiti kita secara emosional, atau bahkan secara lebih dalam.
Luka yang diberikan oleh orang tua sendiri yang mungkin sudah tiada, tetap tertancap di hati dan luka itu belum juga sembuh, meski telah berlalu puluhan tahun. Karena belum sanggup memaafkan, sering kali membayangi langkah kita yang akhirnya menjadi bagian dari diri ini.
Dikutip dari situs American Psychological Association, Everett Worthington, PhD menyebut bahwa mengampuni adalah gabungan dari psikologis , sosial, dan biologi. Atau bisa dibilang mind body connection yang sejati. Meskipun tidak semua orang memiliki luka hidup yang beratnya sama, kemampuan untuk memaafkan dan hidup tanpa menyimpan kemarahan tetap membawa manfaat bagi siapa pun - sekecil apa pun salahanya.
Mengampuni mempunyai arti yang jauh lebih dalam, bukan hanya sekadar letting go dan moving on. Ketika seseorang merasa ia salah dan meminta maaf, dan kita mengucapkan bahwa kita ikhlas - apakah kita merasakan yang sama di hati seperti yang kita mengatakan? Yang terpancar dari cara kita memperlakukan orang yang berbuat salah sering kali masih terasa menghakimi, bukan menyembuhkan. Ucapan bisa saja menipu, sayangnya tindakan jauh lebih transparan. Psikolog Bob Enright, PhD dari University of Wisconsin, melakukan penelitian tentang melepaskan maaf, menegaskan pentingnya kehadiran empati, kasih sayang, dan pemahaman untuk tumbuhkan penerimaan maaf yang tulus. Nyatanya, setelah maaf diberikan, tidak selalu berarti hubungan harus kembali seperti semula. Rekonsiliasi bisa terjadi, tetapi tidak selalu dibutuhkan.
Apakah benar maaf akan selalu mempermudah proses memaafkan? Jawabannya adalah tidak selalu begitu. Bahkan setelah kata “maaf” telah terucap, kita akan tetap merasa sulit untuk melupakan apa yang terjadi.
Lalu mengapa permohonan maaf terasa begitu penting? Apakah saat mendengarnya kita seperti merasa mendapatkan kekuasaan yang dirasa terampas saat kita tersakiti? Dalam sebuah episode podcast Speaking of Psychology, Robert Enright, Ph.D., psikolog dari The International Forgiveness Institute, ia menjelaskan bahwa mendapatkan ucapaan permintaan maaf bukan karena faktor penentu untuk menjamin mulusnya proses memaafkan. Sering kali kesempatan untuk mendengar permintaan maaf tak akan pernah kita dengar. Contohnya, saat situasi kasus pelecehan oleh orang tua yang kini sudah tiada. Memang benar bahwa keinginan untuk mendengar ucapan permintaan maaf seringkali berkaitan dengan kekuasaan. Perasaan kita lebih berkuasa dari situasi yang terjadi, dan kita yang pegang kendali. Coba melihat situasinya, apakah kita sungguh berkuasa ketika kita justru memilih untuk terus menyimpan rasa sakit itu dan enggan melepaskannya? Membiarkan diri terpenjara oleh kemarahan, bukanlah pertumbuhan emosional yang sehat.
Robert Enright menyarankan agar kita mengambil alih situasi dan mengarahkan kesehatan kehidupan emosional kita dengan cara melepaskan pengampunan bahkan tanpa terdengar permintaan maaf. Ia menggambarkan pengampunan sebagai moral virtue. Bahkan para filsuf menggunakannya sebagai supererogatory moral virtue. Tidak harus terjadi pada setiap situasi, karena kita sebenarnya yang pegang kendali dan secara sadar kita yang memutuskan untuk melepaskan amarah dan sakit hatinya. Membiarkan hari-hari mendatang berjalan tanpa dibayangi residu emosi yang menyesakkan
Penelitian telah membuktikan bahwa mengampuni memberikan pengaruh baik pada kesehatan mental. Ketika kita memilih untuk melepaskan amarah sebenarnya kita bisa merasakan stress relief dari racun amarah yang dapat memicu rupa-rupa penyakit. Apakah yakin menanggung beban sakitnya jika yang salah adalah mereka? Penelitian yang telah diterbitkan di Journal of Health Psychology 2016 menemukan hubungan antara stres, psychological well-being, dan pengampunan. Katanya, mereka yang menyimpan luka batin dan amarah terhadap masa lalu, terbukti memiliki kondisi mental yang lebih rentan. Sebaliknya, individu yang mudah memaafkan dan tidak menyimpan luma amarah, walaupun mereka mengalami tingkat stress yang sama terbukti kesehatan mental mereka tak terpengaruh. Kesimpulannya, sifat mudah memaafkan dapat menghapus beban luka batin dan lifetime stress.
Dalam penelitian terpisah oleh Loren Toussant, profesor psikologi di Luther College Iowa. Ia menemukan bahwa semakin tinggi kemampuan untuk memaafkan, semakin rendah pula tingkat stress yang mereka alami. Dan itulah sebabnya mengapa seberapa berat rasanya, memaafkan perlu dilatih demi kualitas hidup kita sendiri. Sulit membayangkan ada manusia yang hidup tanpa menjadi korban kesalahan orang lain. Orang tua, saudara, teman, rekan kerja, teman hidup, semua sudah pasti punya kesempatan untuk berbuat salah. Bukan kekuasaan kita untuk dapat mengatur apa yang terjadi tapi kita selalu punya kuasa untuk menentukan apakah pengalaman menyakitkan itu akan menjadi racun yang terus menggerogoti jiwa, atau justru menjadi pengalaman yang menambah kekuatan kemampuan kita dalam memberikan pengampunan. Karena pada akhirnya, hanya mereka yang bener-bener kuat yang mampu memaafkan dan hidup tanpa beban penyesalan.
Baca artikel Diary Dave yang berjudul "Kuat Memaafkan" yang terbit di edisi cetak Harper's Bazaar Indonesia - Maret 2025; Disadur oleh: Chelsea.