Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

7 Film Terbaik yang Dibintangi oleh Wanita Berusia di Atas 40 Tahun

Hidup tidak berhenti setelah usia 40; film-film ini merayakan kekayaan dan kemungkinan yang datang pada usia paruh baya.

7 Film Terbaik yang Dibintangi oleh Wanita Berusia di Atas 40 Tahun

Hollywood arus utama sering kali mencoba untuk membingkai kehidupan wanita yang lebih tua dengan kata 'selesai' setelah mereka melewati tonggak khas kewanitaan, seperti menemukan seksualitas, pernikahan, dan anak-anak yang telah berkembang. Semua hal tersebut diikuti oleh persamaan yang samar-samar mengenai konsep bahagia selamanya. Ada sebuah adegan dalam drama Boyhood yang memenangkan Oscar 2014, di mana sang ibu, yang diperankan oleh Patricia Arquette, menangis histeris sembari berkata, "Kamu tahu apa selanjutnya? Pemakamanku! Aku pikir akan ada lebih banyak hal lagi untuk aku lakukan." 
 
Kami telah menyusun daftar film yang membuktikan bahwa setelah melalui usia tersebut, masih banyak hal menarik yang dapat terjadi. Film-film berikut akan mengungkap kehidupan yang kaya dan kompleks dari pemeran utama wanita yang lebih tua, sembari merayakan spektrum penuh kehidupan seorang wanita.
 
Mayoritas film telah mengabaikan fakta bahwa usia paruh baya adalah masa yang sangat kompleks dalam kehidupan wanita, terlebih dengan pertanyaan seputar menopause, seks, kematian, kesepian, kematian orang tua, dan semakin terpisahnya kehidupan Anda dengan anak-anak. Berikut ini adalah karya-karya yang memperkenalkan datangnya usia paruh baya, di mana menjadi tua tidak mengarah pada akhir sebuah narasi, melainkan membuka jalan lain yang berkelok-kelok, penuh dengan kemungkinan, dan kesulitan dari perkembangan diri serta self-discovery
 
1. The 40-Year-Old Version (2020)
 

 
Penulis, sutradara, dan bintang Radha Blank menciptakan sebuah narasi semi-autobiografi mengenai seorang penulis drama wanita berkulit hitam yang berada di ambang ulang tahunnya yang ke-40, yang sedang berjuang dengan upaya kreatifnya. Ia bekerja sebagai guru, di mana salah satu siswanya dengan tajam berkomentar, "Bagaimana seseorang yang tidak benar-benar sukses bisa mengajar saya cara menulis drama dengan baik?" Film yang mendapat nominasi dari BAFTA ini memperlihatkan mozaik suara bersemangat dari komunitas yang memiliki hubungan erat. 
 
Kineticism gambarnya menyatu dengan subjek, di mana seorang produser liberal berkulit putih, J Whitman (Reed Briney), memfetiskan 'pornografi kemiskinan' hitam dan meminta Radha untuk menulis ulang dramanya mengenai gentrifikasi, Harlem Ave, agar lebih cocok untuk penonton berkulit putih. Radha mendapati dirinya tertarik pada bentuk seni yang kurang komersial, yang tidak "bergantung pada kritik". Sebaliknya, ia mengutarakan keadilan puitis mengenai "The white gaze’s eroticism of Black pain". Melalui filmnya itu, Radha Blank menunjukkan bahwa kreativitas tidak berakhir setelah usia 30, melainkan berubah dan berkembang seiring bertambahnya usia.
 
2. Gloria Bell (2018)
 

 
Gloria Bell, yang diperankan oleh Julianne Moore, adalah seorang wanita berusia 50-an yang telah bercerai, namun dengan hati-hati tetap mencari cinta. Ia adalah wanita berjiwa bebas dan sensual, merangkul kegembiraannya pada malam-malam lajang di mana dirinya menari dengan gembira, tanpa hambatan apapun. Senyuman hangat yang ditampakkan oleh Julianne adalah tindakan penegasan berani dalam film, seperti yang kita lihat ketika ia jatuh cinta pada Arnold (John Turturro), yang awalnya tampak seperti pria sempurna, sebelum berubah menjadi sosok lain. Mereka pun pulang, berhubungan seks, bertemu, makan di luar, tetapi menyadari bahwa mereka tidak begitu jatuh cinta pada satu sama lain. 
 
Adegan seks yang sangat jujur ​​itu mengungkapkan keinginan Gloria dan kita pun dapat melihat ketika ia telah menerima perubahan tubuhnya yang menua. ''Tubuh kita, bahkan tubuh pada usia paruh baya berusia kurang dari 10 tahun. Kulit kita, lapisan epidermis yang didaur ulang setiap dua minggu," katanya pada sang kekasih. Gloria tidak tangguh; ketangguhannya tidak muncul dari sifat yang tidak dapat ditembus, tetapi muncul ketika ia membiarkan dirinya dihancurkan oleh keputusasaan dan rasa malu, namun masih berhasil mengumpulkan potongan-potongan itu sehingga mampu membentuk dirinya kembali. 
 
3. Elle (2016)
 

 
Film berbahasa Prancis pertama Paul Verhoeven ini dibuka dengan jeritan yang mengerikan dan tak terlihat serta geraman pemerkosaan yang kejam. Namun, Isabelle Huppert, yang berperan sebagai Michèle, secara ahli dan ambigu menumbangkan peran korban pemerkosaan. Setelah beberapa adegan pembuka, Michèle melanjutkan hari-harinya dengan mandi busa dalam waktu yang lama, mengabaikan peristiwa traumatis yang dialami dengan segelas anggur di tangannya. 
 
Setelah itu, ia pun melanjutkan hidupnya sebagai bos dari sebuah perusahaan video game. Film tersebut secara paradoks mempertimbangkan kebrutalan ekstrem dari pemerkosaan, tetapi menolak untuk memberikan kekuatan pada peristiwa tunggal tersebut. Paul Verhoeven mengungkapkan bahwa kekerasan yang diderita Michèle tidak terisolasi, tetapi adalah sebuah manifestasi ekstrem dari para mysoginist yang merasuki kehidupan perempuan. 
 
Kekerasan laki-laki muncul di latar belakang sejumlah adegan, mulai dari kekasih Michèle yang memintanya berpura-pura mati saat berhubungan seks, mantan suaminya yang menamparnya, hingga agresi mikro mysoginist dari rekan kerja. Elle bukanlah tayangan ringan, karena dapat mengganggu biner moral yang mudah dan batasan yang diandaikan antara persetujuan dan paksaan. Disconcerting namun sangat feminis, mahakarya ini mengungkapkan seorang pahlawan wanita yang ambisius yang berjuang untuk hak pilihannya sendiri. Isabelle Huppert terlihat unggul ketika dirinya mengambil karakter yang tajam dan keras dengan rasa kemanusiaan yang simpatik. Unik, rumit, dan sangat menarik, Isabelle Huppert mengungkapkan bahwa judul dari sang film sangatlah sesuai, di mana film tersebut menceritakan tentang dirinya secara menyeluruh.  
 
4. The Old Guard (2020)
 

 
Charlize Theron, bintang film The Old Guard, menunjukkan kekuatan superhero dalam film aksi yang memacu adrenalin ini. Ia berperan sebagai prajurit ‘tak terbunuh’ bernama Andy, pemimpin kelompok tentara bayaran abadi yang menyamar. Dipersenjatai dengan semangat dan kapak, penampilan Charlize Theron dilapisi dengan kerumitan dan pertentangan akan pahlawan super tradisional yang angkuh. Ia pun menghadapi dilema moral mengenai panggilannya, terpecah antara dedikasinya pada misi kemanusiaan non-pemerintah dan kekecewaannya yang semakin besar. 
 
Ia pun kerap mempertanyakan apakah tindakannya sia-sia atau tidak. Dunia, katanya dengan sedih, belum banyak berkembang dan perbedaan antara yang baik dan yang buruk tampaknya semakin dirusak. Charlize Theron bertarung seperti mesin yang tak terhentikan, dengan kekuatan paradoks dan kelembutan yang dimiliki. Mempertimbangkan penggabungan kemungkinan ilmiah dan keserakahan dari kapitalis, film aksi yang menghibur ini menimbulkan kebingungan akan etika postmodern dengan cara yang sangat tidak konvensional.
 
5. Lucky Grandma (2020)
 

 
Mantan Bond girl, Tsai Chin kembali ke layar lebar sebagai wanita tua yang brilian, yang mendapati dirinya terjerat dengan mafia Tiongkok. Setelah mengunjungi peramal yang memberi tahu bahwa ia akan mendapatkan keberuntungan, ia mempersiapkan diri untuk memenangkan sebuah pertandingan. Setelah hadirnya beberapa twist, ia mendapati dirinya dengan sebongkah uang tunai milik sebuah gang, yang tentu membuat mereka marah dan memutuskan untuk membuntutinya. 
 
Drama kriminal ini adalah perpaduan antara komedi melankolis dan live action, melalui latar belakang Chinatown yang hangat dan kabur. Sang sutradara dengan cerdik menyusun kembali stereotip budaya dalam cahaya satir yang baru. Lucky Grandma mencoba menempatkan wanita Asia yang lebih tua di depan, tanpa pernah membuatnya terlihat kekanak-kanakan atau menertawakannya dengan belas kasih. 
 
6. Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (2017)
 

 
Frances McDormand tampak sangat ganas dalam film ini, namun tetap menghadirkan sisi lembutnya. Film ini pun telah berhasil memenangkan penghargaan Oscar. Frances berperan sebagai seorang ibu bernama Mildred yang sedang berduka. Ia mencoba meminta keadilan setelah dirinya diperkosa secara brutal dan putrinya dibunuh di jalan sepi di Ebbing, Missouri. Dengan rahang yang mengepal, tinju yang dikencangkan, dan bandana yang diikat, ia seakan menjadi pejuang, dalam rangka mencari keadilan. Hal tersebut dilakukannya dengan menyewa tiga papan reklame untuk mengingatkan petugas polisi setempat agar bekerja lebih keras untuk menemukan penyerang mendiang anaknya. 
 
Rasa sakit Mildred terlihat nyata, tampak dari cara ia bergerak, memiringkan mulutnya, mengubah wajahnya menjadi batu, dan seolah-olah sedang membangun lebih banyak tembok pertahanan. Semangat murni Frances McDormand pun menyatukan gambaran itu, meninggalkan kobaran api di belakangnya, karena ia menolak untuk menerima ketidakadilan. Sutradara Martin McDonagh adalah ahli dalam melukis rasa sakit dengan nuansa palet yang terdiri dari kekerasan yang absurd, humor yang tidak terpikirkan, dan pukulan yang menyayat hati, yang tentunya tak terduga.
 
7. Juanita (2019)
 

 
Pada banyak bioskop, wanita berkulit hitam yang lebih tua sering digambarkan sebagai sosok yang tangguh dan tanpa henti menyerahkan diri kepada keluarga mereka, yang sering kali direduksi menjadi hampir tak terlihat. Juanita, yang diperankan oleh Alfre Woodard, berpusat pada kehidupan seorang wanita kelas pekerja yang memulai perjalanan untuk menemukan kembali dirinya sendiri. Juanita bekerja dengan upah minimum, merawat anak-anak dan cucunya, dan meregangkan dirinya untuk semua orang di sekitarnya. Putranya, Randy, berada di penjara, sedangkan putrinya, Bertie, memanfaatkannya sebagai seorang pengasuh. Rashawn, putranya yang lain, dengan berani mencoba melakukan kejahatan kecil. 
 
Suatu hari, untuk mencari kebebasan, Juanita melakukan perjalanan ke sebuah kota bernama Butte, di mana ia memperluas wawasannya melampaui perannya yang ditentukan secara sempit sebagai ibu dan pengasuh. Ia pun memulai romansa dengan pria yang lebih muda (Adam Beach), seorang koki dengan senyum menular dan kecerdasan memikat. Juanita tidak hanya paean akan kebutuhan mendesak sebagai sosok pahlawan, tetapi juga pengingat bahwa identitas Juanita lebih dari traumanya. Film ini menyoroti vitalitas Juanita yang tak ada habisnya dan tidak pernah membiarkan para penonton melupakan kemungkinan kegembiraan yang tak terkendali terlepas dari kenyataan akan kepedihan dan keputusasaan tertentu.
 
(Penulis: Cynthia Peng; Artikel ini disadur dari Bazaar UK; Alih Bahasa: Fatimah Mardiyah; Foto: Courtesy of Bazaar UK)