Perkenalan saya dengan kebaya terjadi saat saya masih sangat kecil. Yang saya ingat, saya selalu senang melihat ibu saya berkebaya, bahkan hingga kini kebaya tetap menjadi busana pilihannya untuk momen-momen resmi.
Karena ibu, saya mengenal aneka ragam kebaya, mulai dari kutubaru, kebaya Kartini, kebaya kurung, dan cara padu padannya dengan kain yang serasi, bahkan bagaimana memilih selendang yang tepat sebagai pelengkap tampilan. Itulah pelajaran styling pertama yang saya dapat, padu padan kebaya à la ibu.
Dulu saya hanya melihat kebaya di pesta pernikahan, acara dengan nuansa adat dan tradisi, atau di perayaan hari Kartini. Namun keyakinan saya begitu kuat bahwa kebaya lebih dari busana tradisional, tapi saya tumbuh di era melesatnya busana modern dan tren berpakaian yang berkiblat pada mode dunia, sehingga kebaya menjadi tidak keren (up to date) dan terlihat seperti benda kuno atau peninggalan sejarah. Pada masa tertentu, tanpa disadari kita mengganggap perempuan berkebaya terlihat ketinggalan zaman atau terjebak di masa lalu.
Menurut saya, perempuan Indonesia berkali lipat lebih anggun dalam balutan kebaya dan kain. Entah apa yang membuat sebuah kebaya memiliki daya tarik yang begitu magis, saya rasa sejak awal kebaya memang diciptakan untuk tubuh perempuan Indonesia. Berbagai dokumentasi lawas memperlihatkan keanggunan perempuan-perempuan dalam balutan kebaya, jelas benar bahwa pada masa itu kebaya adalah busana utama perempuan Indonesia di segala kalangan.
Lihat saja lukisan-lukisan Basuki Abdullah yang ikonis, begitu pula dengan potret-potret tempo dulu, hingga film-film klasik Indonesia yang didominasi para pelakon perempuan berbalut kebaya. Pada masa itu, film menjadi salah satu media yang sangat efektif dalam memopulerkan fashion, masa ketika belum banyak publikasi mode dan gaya hidup, sementara industri mode lokal pun masih menjadi embrio.
Peran film saat itu menjadi sangat penting dalam memengaruhi tren berbusana. Film sebagai rekonstruksi kehidupan selalu menampilkan kisah yang sesuai zamannya, tak hanya peristiwa penting ataupun fenomena sosial, bahkan mencakup busana yang dikenakan setiap peran yang ada di dalamnya. Bagi saya film seperti arsip sejarah yang menyimpan perjalanan mode sebagai penanda masa, maka kebaya memiliki peran penting sebagai fashion item yang menggambarkan sosok perempuan pada masa tertentu, terutama pada film-film di era pasca kemerdekaan yang kemudian melahirkan mega bintang seperti Roekiah dan Chitra Dewi.
Saya melihat Chitra Dewi sebagai ikon fashion dan kecantikan, sosoknya seperti simbol perempuan pada zaman itu, berkebaya dan berkain lengkap dengan selendang dan rambut digelung sederhana. Berbicara tentang kebaya dalam sinema, tentu tidak akan lepas dari karakter Nunung dalam film ikonis Tiga Dara yang tayang tahun 1956. Sosok anak sulung dari tiga bersaudara yang ia lakonkan menjadi pusat perhatian saya karena ia satu-satunya karakter yang berkebaya, sementara dua adiknya mengenakan dress khas tahun ’50-an yang (saat itu) terlihat modern.
Kostum memiliki peranan penting untuk membentuk karakter yang utuh dalam sebuah film, karakter Nunung yang konsisten berbalut kebaya, kain jarik batik, dan berselendang adalah sebuah konsep yang ingin diceritakan tentang bagaimana perempuan berevolusi baik secara tampilan maupun pikiran. Nunung dan kebayanya menggambarkan sosok perempuan yang nyaman dengan dirinya dan memegang teguh nilai-nilai yang ia yakini, sementara kedua adiknya adalah penggambaran perempuan di masa depan (mungkin saat ini), yang penuh semangat dan membuka diri pada perkembangan zaman dan paham-paham baru.
Di masa setelah Tiga Dara, kita masih menjumpai beberapa karakter perempuan berkebaya dalam film hingga akhir tahun ’60-an. Perkembangan zaman pun membuat film-film yang diproduksi mengikuti zamannya, seperti yang saya bahas sebelumnya bahwa busana adalah penanda masa, dan ada masanya kebaya tidak menjadi bagian dari kisah-kisah yang diceritakan dalam film.
Film Indonesia tahun 1970-an hingga 1980-an memiliki tampilan yang semakin modern, didominasi oleh busana yang serba kekinian mengikuti eranya. Hingga pada tahun 1986, film Ibunda yang dicatat sebagai salah satu film Indonesia terbaik sepanjang masa, menghadirkan karakter seorang ibu, berkebaya. Aktris Tuti Indra Malaon, sang ibunda, membawakan karakter seorang ibu priayi yang digambarkan tegas namun terasa anggun dengan balutan kebaya. Mungkin banyak karakter film lain yang berbalut kebaya, tapi bagi saya karakter sang ibunda sama ikonisnya seperti Nunung. Sang ibunda ditampilkan begitu kontras, pakaiannya boleh klasik (kebaya) khas ibu-ibu di masa itu, namun di sini potret sang ibu yang berkebaya tidak dibentuk untuk menjadi kuno atau ketinggalan zaman, justru sebaliknya sosoknya anggun, kuat, dan sangat terbuka, bahkan digambarkan sebagai janda tangguh yang menjadi pemersatu keluarganya.
Jika menilik perkembangan mode nasional pada masa itu, kebaya mulai dimodifikasi oleh para perancang mode dan kembali trendy karena ditampilkan di berbagai peragaan busana dan dipakai oleh para bintang saat itu. Salah satu yang saya ingat adalah sebuah kampanye produk kecantikan lokal yang menampilkan Titiek Puspa dengan kebaya organza hijau dengan aksen kembung pada lengan bagian atas karya Edward Hutabarat.
Di periode yang sama, sekitar tahun 1986-1989 sebagian besar masyarakat Indonesia pasti menggemari serial televisi Losmen yang tayang di TVRI. Serial ini melambungkan nama Mieke Wijaya, pemeran Bu Broto sang pemilik losmen di cerita tersebut. Bu Broto adalah karakter lain dalam film (dalam hal ini serial TV) yang sangat ikonis dengan kebaya.
Berselang 35 tahun setelah serial tersebut melegenda, saya berkesempatan menghidupkan kembali karakter Bu Broto yang kali ini diperankan oleh Maudy Koesnaedi dalam film adaptasinya, Losmen Bu Broto. Tentu saja saya kegirangan pada saat mendapatkan kesempatan mengerjakan kostum untuk film ini, karena salah satu impian saya sebagai penata busana adalah dapat menghadirkan kebaya (dan kain Indonesia) menjadi “menu” utama sebuah film dengan cerita dan tampilan yang modern.
Seingat saya, di era kebangkitan film Indonesia (tahun 2000 ke atas) kebaya hanya hadir di film-film dengan latar belakang periodik, seperti yang puluhan kali dikerjakan oleh Retno Ratih Damayanti (Mbak Nok), sosok yang saya anggap sebagai guru saya sebagai penata busana. Karyanya menghiasi sinema nasional sejak pertengahan tahun 2000-an hingga kini. Mbak Nok sangat piawai merekonstruksi sejarah melalui kostum film, termasuk memadupadankan kebaya sesuai karakter yang dibutuhkan cerita.
Mulai dari karakter Inggit Ganarsih perempuan Sunda dalam film Soekarno, menyulap Dian Sastrowardoyo menjadi R.A. Kartini yang sangat khas dengan kebaya putihnya, visualisasi karakter fiktif Nyai Ontosoroh di film Bumi Manusia dengan latar akhir 1800-an, hingga karya teranyarnya Before, Now & Then (Nana) yang mengemas perempuan Sunda tahun 1960-an dengan konsep busana yang klasik namun terasa stylish.
Tak hanya karya-karya Mbak Nok, karakter perempuan berkebaya yang juga sangat berkesan bagi saya adalah Athirah. Film biopik yang tayang tahun 2016 ini menampilkan sisi lain perempuan Indonesia yang bukan berasal dari tanah Jawa, latarnya adalah Sulawesi Selatan tahun 1960-an. Chitra Subyakto sebagai penata busana memadupadankan kebaya kutubaru klasik berpalet warna pastel dengan sarung Makassar untuk sosok Athirah yang diperankan oleh Cut Mini. Tak hanya untuk proyek film, Chitra Subyakto konsisten mengenakan kebaya menjadi gaya personalnya sehari-hari dan menurut saya ia adalah salah satu orang yang sukses mengampanyekan gerakan berkebaya masa kini dengan menghadirkan koleksi kebaya ready-to-wear dengan bahan nyaman melalui label Sejauh Mata Memandang miliknya.
Saat film Losmen Bu Broto tayang di bioskop akhir tahun 2021, tiba-tiba beberapa bioskop dipenuhi segerombolan orang berkebaya, tidak hanya ibu-ibu tapi juga kelompok remaja perempuan yang ber-dress code kebaya saat nobar film tersebut. DM Instagram saya juga dipenuhi pertanyaan tentang di mana membeli kebaya-kebaya yang saya pakaikan untuk karakter Bu Broto, Mbak Pur, dan Jeng Sri.
Saya senang bukan main melihat respons penonton yang begitu positif dan kembali jatuh cinta pada kebaya. Hadirnya film Losmen Bu Broto tanpa disadari bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran generasi muda untuk berkebaya. Media sosial kini memiliki peranan yang penting untuk menyebarkan semangat tersebut. Berbagai tagar seperti #kebayagoestounesco dan #iwearkebayaondailybasis di Instagram menyemarakkan semangat para perempuan Gen Z untuk kembali menjadikan kebaya sebagai fashion item wajib yang mereka pakai sehari-hari. Perayaan berkebaya juga terlihat dari perhelatan Festival Film Indonesia selama 2 tahun terakhir. Puluhan aktris tampil prima di karpet merah FFI dengan rancangan kebaya para desainer Tanah Air yang disesuaikan dengan gaya personal mereka.
Hingga saat ini, terutama beberapa tahun terakhir, kebaya menjadi fashion item yang paling sering saya pakai dalam berbagai proyek, termasuk film, pemotretan, hingga personal styling. Saya teringat pada ucapan Pak Ong (Ong Hari Wahyu, Production Designer film Losmen Bu Broto) yang mengingatkan saya untuk memakaikan kostum sesuai tubuh pemakainya.
Dan saya melihat saat ini, kebaya sudah kembali ke tubuhnya, perempuan Indonesia.
Foto: Courtesy of Paragon Pictures, Miles Films 2016, Fourcolours Films, Arman Febryan, FFI, Sinematek Indonesia