
Kadang, pakaian mampu menyampaikan pesan lebih dulu sebelum kita sempat berbicara. Di tengah tekanan ritme hidup yang cepat dan tuntutan akan penampilan yang profesional, cara kita berpakaian jadi bentuk komunikasi paling cepat dan jelas. Tapi hari ini, power dressing tak lagi identik dengan gaya kaku atau terlalu formal. Ia telah berevolusi menjadi medium elegan untuk menunjukkan rasa percaya diri tanpa harus menanggalkan keunikan pribadi.
Salah satu ciri power dressing, siluet bahu tegas, sudah menjadi simbol keberanian politik perempuan jauh sebelum diasosiasikan dengan tokoh-tokoh ikonis seperti Tess McGill, Hillary Clinton saat muda, atau bahkan Margaret Thatcher. Jika ditarik ke awal abad ke-20, kita akan menemukan perempuan-perempuan publik yang secara sadar menantang stigma perempuan manis nan patuh yang diharapkan masyarakat. Mereka hadir dengan bahu yang diperbesar, baik secara literal maupun simbolis.
Perempuan masa kini tak lagi sekadar berpakaian untuk terlihat profesional atau menentang stigma. Kini, perempuan berpakaian untuk menunjukkan karakter, membangun suasana, dan menghadirkan versi terbaik dirinya melalui power dressing. Entah lewat blazer tajam dalam warna karamel, rok satin panjang berpadu sepatu loafers hitam yang memukau, atau bahkan gaun simpel dengan potongan presisi tinggi.
Sejarah Power Dressing
Usai berakhirnya Perang Dunia Pertama (WWI), masyarakat mengalami perubahan yang signifikan. Tahun 1920-an membuka babak baru dengan semangat kebebasan yang sangat euphoric, dan dunia mode pun tak luput dari gelombang transformasi itu. Gaya busana yang sebelumnya penuh dengan siluet panjang dan nuansa romantis perlahan tergeser oleh penampilan yang lebih sederhana dan fungsional.
Dalam arus perubahan tersebut, muncul sosok Nancy Cunard, seorang penulis sekaligus aktivis dan ahli waris dari keluarga pelayaran ternama di Inggris. Penampilannya mencuri perhatian dengan biker jacket, dan bangles yang menumpuk di lengannya. Ia tampil tanpa kompromi, menentang gambaran tradisional tentang kelembutan perempuan melalui pilihan gaya maupun cara hidup. Kebebasannya dalam mengekspresikan seksualitas, ketegasannya dalam isu-isu sosial, dan keberaniannya dalam menolak rasisme menjadikan Nancy Cunard simbol perlawanan yang berani dan fearless pada masanya.

Tak lama berselang, Elsa Schiaparelli ikut meninggalkan jejak penting. Desainer surealis yang dikenal sebagai saingan Coco Chanel ini pindah ke Paris sebagai ibu tunggal pada tahun 1922 demi membangun bisnis. Ia menjadi sahabat dan kolaborator seniman seperti Dalí, Greta Garbo, hingga Katharine Hepburn. Dalam buku sejarah mode, Schiaparelli dikenang sebagai pemberontak inovatif yang memperkenalkan shocking pink, ritsleting, hingga jumpsuit ke dalam lemari pakaian perempuan. Ia pun kerap tampil dengan bahu tegas jauh sebelum tren itu mendunia.
Memasuki era 1970-an, saat perempuan mulai mendapatkan ruang di lingkar kekuasaan, pakaian pun menjadi alat diplomasi sosial. Demi dianggap kredibel, banyak dari mereka merasa perlu meniru estetika pria, yakni jas berpotongan kaku, warna-warna netral, dan minim ekspresi pribadi. Alih-alih menonjolkan diri, busana saat itu lebih berfungsi sebagai kamuflase.

Namun kemudian muncul sosok-sosok revolusioner di panggung mode. Yves Saint Laurent memperkenalkan Le Smoking yang ikonis, dan Donna Karan dengan konsep Seven Easy Pieces yang cerdas. Mereka membuka ruang baru bagi perempuan untuk tampil berpengaruh tanpa kehilangan jati diri. Gaya busana Power dressing mulai bergerak dari sekadar meniru, menuju seni merancang citra diri yang otentik, tegas, dan tetap menunjukkan sisi lembut yang menawarkan kesan profesional.
Ledakan power dressing kembali menggema di dekade 1980-an, saat kepercayaan diri perempuan di dunia bisnis mulai mendapat panggung di runway. Terutama di tangan desainer seperti Armani dan Thierry Mugler. Popularitasnya mencapai puncak antara tahun 1984 hingga 1989, kala nama-nama besar seperti Oprah Winfrey, Putri Diana, dan Michael Jackson menjadikan siluet ini ikon budaya pop. Bahu tajam tak lagi hanya milik dunia korporat, tapi menjadi simbol pengaruh lintas industri, identitas, dan zaman.

Power Dressing di Era Modern
Hari ini, kita memasuki era baru di mana power dressing lebih bersifat internal. Bukan lagi soal tampil menyerupai siapapun, tetapi tentang berpakaian sebagai refleksi dari diri sendiri. Entah itu dengan midi dress berstruktur, blazer oversized dengan warna cerah, atau bahkan jumpsuit minimalis, dengan esensi yang sama, yaitu bagaimana pakaian membuat Anda feel empowered, feel bold, and own every room you step into.
Berikut tips styling ala Harper's Bazaar Indonesia untuk bergaya busana power dressing:

Untuk memiliki tampilan yang lebih sleek dan profesional, one-set suit berwarna senada cocok untuk menawarkan tampilan yang minimalis namun tetap tegas. Tambahkan aksesori dainty, sepatu hak stilleto, dan kacamata statement, tampilannya menjadikan Anda terlihat professionally elegant.

Untuk hari yang lebih santai, Anda bisa memadukan jaket statement seperti jaket berbahan croco berpotongan tegas dengan capri pants untuk menyeimbangi tampilan kasual yang chic. Tambahkan aksesori minimalis dan kitten heels, tampilannya menawarkan kesan yang effortless namun tetap gaya.