Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Siasat Desainer Lokal untuk Bertahan di Masa Pandemi

Sejumlah nama besar dari ranah mode Tanah Air berupaya mengubah pandemi menjadi ladang pundi.

Siasat Desainer Lokal untuk Bertahan di Masa Pandemi

Bagaikan ada pelangi selepas badai, masa krisis pandemi seakan mampu disulap oleh sejumlah desainer Tanah Air menjadi ladang pundi yang terbentang luas. Salah satu siasat yang mereka andalkan adalah keberanian untuk banting setir membuat produk baru dalam merespons kondisi sosial. 

Sebab tidak sedikit bisnis yang berhenti berproduksi atau bahkan tutup karena ketiadaan pembeli dan berimbas pada perumahan tenaga kerja. Apalagi dunia fashion yang tak imun dari dampak pandemi Covid-19. Banyak desainer maupun pelaku mode yang berjuang untuk menjaga bisnis mereka agar tetap bertahan di tengah kecemasan dan ketidakpastian, serta adanya pembatasan aktivitas yang berpengaruh pada produksi sekaligus penjualan.

Desainer Sapto Djojokartiko, misalnya. Ia harus menutup butik pertamanya yang berlokasi di Plaza Senayan padahal baru buka selama dua minggu sebelum pandemi merebak di Jakarta. “Sekitar dua bulan lah kami tutup, yang otomatis tidak ada aktivitas sama sekali di butik karena mal harus tutup mengikuti kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Di workshop pun juga tidak aktif, termasuk produksi dan penjualan diberhentikan dulu. Berat buat kita, tapi semua industri sedang mengalami ini, jadi kita harus coba bertahan,” celetuk desainer asal Solo tersebut. 

Setelah memutar otak, akhirnya Sapto menemukan strategi untuk mengevaluasi bisnis yang ada dengan pendekatan secara online. Dirinya juga memastikan betul, apa langkah ke depannya. “Kita harus bangkit dan kembali beraktivitas. Anggap saja kemarin ini kita sedang rehat sejenak, karena biasanya kan siklus fashion serba cepat,” lanjutnya. Memasuki masa transisi normal baru, Sapto memberi fokus pada dua kegiatan. Pertama, menyelesaikan tanggung jawab terhadap produksi baju yang belum selesai. Kemudian membuat konsep untuk koleksi selanjutnya. “Ya, tentunya dengan prosedur karyawan yang masuk bergantian.” 

Sapto Djojokartiko

Kedua, memanfaatkan momen ini untuk membuat dua tipe masker kain dengan motif khas milik Sapto Djojokartiko, yakni Penara, Modang, dan Sempur. Sapto melanjutkan, bahwa ia ingin memberi rasa nyaman pada pemakai masker, sekaligus sentuhan estetika desain. “Untuk masker print, saya menggunakan bahan viscose rayon yang lentur dan lembut, sedangkan untuk masker bordir, menggunakan bahan katun yang tahan lama.” Kemudian pria lulusan Esmod ini menegaskan jika ia tidak menerima pembuatan masker secara custom. “Kecuali untuk klien pengantin. Kita buatkan masker senada dengan kebaya atau dress, namun tetap mengutamakan kenyamanan dan aspek kesehatan,” tambahnya.

Selain Sapto, desainer Heaven Tanudiredja juga melakukan berbagai upaya untuk bertahan di tengah pandemi ini. Meski pendapatannya sempat anjlok di bulan Maret, April, hingga Mei, Heaven tetap berusaha produktif. “Selama tiga bulan itu, rasanya sangat berat bagi saya. Apalagi ada yang harus dibayarkan, THR, dan lain sebagainya. Secara fisik kita jaga kesehatan, kebersihan, dan mengikuti semua protokol yang ada. Secara mental, beberapa minggu pertama agak terpuruk, but I refuse to struggles atau depresi. Saya memilih untuk menikmati bekerja lebih keras di kesenyapan. Jadi bikin sample, prototype, coba pattern dan teknik jahit baru, doa lebih banyak. Intinya, saya bersiap-siap jika pandemi berakhir,” ungkap desainer yang pernah tinggal dan bekerja di Antwerp, Belgia dan kini berbasis di Bali.

Bagi Heaven, di setiap kesusahan pasti ada peluang baru apabila kita berpikir positif dan selalu berinovasi. “Di tengah masa-masa itu, pelan-pelan ada saja yang menghubungi dan membeli koleksi atau memesannya meski untuk akhir tahun dan tahun depan. Saya percaya, kalau kita mengeluarkan energi baik, maka tanpa disadari kita sedang mengundang energi yang baik untuk datang.” 

Heaven Tanudiredja

Selain itu, Heaven melihat adanya tren kreasi masker yang kian marak. Ia mencoba keberuntungan dengan merilis koleksi masker. “Mengenakan masker sudah menjadi kebiasaan kita sekarang ini. Bukan hanya untuk melindungi diri dari virus corona, tetapi juga dari debu dan virus lainnya. Jadi, saya pikir kita coba for fun untuk membuat masker versi Heaven Tanudiredja.” Nyatanya, masker kreasi Heaven membuahkan hasil manis di satu bulan pertama. Padahal ia mengaku hanya mengunggah penjualan lewat Instagram saja. “Saya senang bisa menciptakan koleksi yang berguna bagi orang lain. Pesanan masker semakin banyak dan pelanggan juga senang karena ada varian warna atau yang bermotif dengan detail manik-manik.”

Siasat serupa juga dilakukan oleh desainer Sebastian Gunawan. Selama masa pandemi hingga sekarang ini, sang desainer melakukan promosi maupun penjualan lewat akun Instagram. “Kami secara rutin mengunggah konten Instagram, baik untuk memperlihatkan koleksi available hingga mengapresiasi pelanggan yang berbalut rancangan Sebastian Gunawan dengan me-repost ulang di akun kami. Dengan adanya aktivasi seperti itu, kami berharap agar bisa selalu menjaga hubungan baik dengan para followers maupun klien dan mereka juga bisa selalu update dengan koleksi kami.”

Desainer yang telah lama berkontribusi di industri mode Indonesia dengan karya spektakulernya ini pun mengaku, di awal pandemi terjadi, ia harus merumahkan beberapa tim dan menyusun cash flow sebaik-baiknya. “Semua butik tutup, dari lini utama Sebastian Gunawan Couture maupun ready-to-wear. Dan penjualan online jadi alternatif, tetapi saat itu menurut saya kurang optimal. Memang tetap ada yang beli, namun jujur tidak seperti biasanya.” 

Maka desainer yang kerap disapa Seba ini terus menggali potensi yang ada. “Adanya pandemi ini, membuat saya cukup kesulitan untuk mendapat sumber bahan baku karena tidak semudah seperti sebelumnya. Jadi, saya lihat dari stok bahan yang ada, lalu dikombinasikan dengan koleksi baru, alhasil, tercipta kreasi upcycle yang rencananya akan saya tampilkan di akhir tahun ini.” Memproduksi masker yang kini menjadi barang wajib sehari-hari bagi para kliennya, juga menjadi proses kreatif dalam jalur bisnis Sebastian Gunawan Couture dan Sebastian Red. 

“Kami menawarkan beragam material yang digunakan untuk koleksi masker, yaitu dari bahan damas, mikado, crêpe, dan santhung. Untuk inspirasi desainnya datang dari mana saja, seperti salah satu koleksi yang bertemakan Arts karena saya sangat menyukai karya dua pelukis ternama, Gustav Klimt dan Stephen Mackey. Lalu, karena saya pencinta binatang, sehingga lahirlah koleksi masker bertemakan Cats and Dogs, Butterfly, dan koleksi burung,” jelas Seba.

Sebastian Gunawan

Sejumlah desainer juga berupaya merumuskan strategi masing-masing yang diperkirakan sesuai dengan situasi saat ini. Seperti desainer Biyan Wanaatmadja yang merilis koleksi terbaru untuk label eponimnya secara relevan. “Berawal dari kerinduan kami untuk bisa berbuat suatu kebaikan, di mana akhirnya kami memutuskan untuk menciptakan Biyan Mask, yang hasil penjualannya dapat didonasikan untuk melawan Covid-19, terutama bagi garda depan tenaga medis,” ungkap Boy Sembiring selaku Marketing and Communication Manager dari Biyan. Ia pun menambahkan jika koleksi masker kain lansiran Biyan kian terasa eksklusif karena berhiaskan bordir dan payet yang terinspirasi dari tenun sumba. 

Sementara itu, dari sudut pandang seorang desainer custom made, Adrian Gan merasa bahwa ia tidak perlu menyiasati penjualan di tengah pandemi ini. “Dikarenakan saya tidak pernah membuat koleksi ready untuk dijual, jadi sekarang saya hanya memilih untuk mengisi waktu luang saja,” jelasnya. Karena menurut Adrian, fleksibilitas menjadi penting bagi pelaku mode di saat seperti ini. Lagi pula semua acara kliennya diundur, sehingga ia bersama karyawan berinisiatif untuk membuat masker kain dengan detail embroidery yang apik. “Misi awalnya untuk ditawarkan ke sahabat terdekat. Ternyata, muncul permintaan dari para klien dan konsumen lain untuk dibuatkan masker kain khas Adrian Gan.”

Desainer yang identik dengan rancangan Oriental ini menuturkan perbedaan proses kerja yang ia rasakan, “Mungkin yang membedakan proses kerja saya di masa sekarang dan sebelum pandemi itu dari jadwal fitting per hari. Ketika situasi normal seperti dulu, setiap jam selalu ada yang fitting. Namun di masa normal baru ini, jadwal jadi terbatas dan berjarak. Ya, maksimal hanya dua klien per hari. Kami pun menerapkan protokol sesuai anjuran dari pemerintah untuk klien yang berkunjung. Saat meeting dan fitting, wajib menggunakan masker, faceshield, dan membersihkan tangan dengan hand sanitizer. Baju yang akan dipakai dan setelah fitting juga kami lakukan disinfectant.”

(Foto: Courtesy of Sapto Djojokartiko, Heaven Tanudiredja, Sebastian Gunawan, Adrian Gan, Biyan)