Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Perjalanan Merawat Diri yang Tidak Lagi Tentang Menjadi Sempurna Tetapi Seimbang

Makna ideal keseimbangan jiwa dan raga bagi tiap insan nyatanya tak selalu seragam.

Perjalanan Merawat Diri yang Tidak Lagi Tentang Menjadi Sempurna Tetapi Seimbang
COURTESY OF ALEXTORB © 123RF.CO

Menjelang 2025, tiga hal yang ingin saya prioritaskan terasa sangat merepresentasikan fase hidup saya: kembali rutin berolahraga, menjaga pola makan, dan tidur lebih teratur. Resolusi seperti ini bukan lagi demi tubuh langsing atau kurus semampai, namun sekarang fokusnya lebih kepada memperkuat tubuh agar tetap bisa bekerja dengan baik sampai usia lanjut. Pola makan pun tidak lagi soal mengikuti tren atau menunjukkan status, tetapi lebih tentang menjaga kolesterol, gula darah, dan kesehatan jangka panjang. Begitu juga dengan tidur yang kualitasnya kini terasa jauh lebih menentukan suasana hati dibandingkan tren-tren viral atau dapat tiket konser setelah war.

BACA JUGA: Apa Itu Adiksi Kortisol dan Dampaknya pada Tubuh?

Setiap Desember, saya selalu memperiksa kembali daftar rencana yang saya buat tahun sebelumnya. Bagian ini, jujur saja, sering jadi momen paling menantang karena mengharuskan saya menilai dengan jujur mana yang tercapai dan mana yang kandas di tengah jalan. Dari situ saya bisa melihat apakah rencana-rencana itu masih relevan atau perlu disesuaikan dengan kebutuhan yang berubah seiring waktu.

Dan dari proses menilai ulang itulah saya mulai menyadari satu hal yang paling sering mengganggu ritme hidup saya: kurang tidur. Kurang tidur sering memicu keinginan untuk makan makanan manis atau asin sebagai pelarian energi. Kita semua pernah merasakan siklus itu: mencari camilan, merasa kenyang berlebihan, lalu menyesal. Seiring bertambah usia, saya sadar bahwa dorongan untuk hidup lebih sehat bukan lagi dipicu keinginan eksternal, melainkan benar-benar datang dari kebutuhan tubuh sendiri.

“Your body HEARS EVERYTHING your mind says.”

Dulu saya rajin ke gym karena ingin tubuh atletis seperti figur-figur publik yang sering saya lihat. Namun seiring waktu, saya menyadari tubuh saya tidak bergerak ke arah yang sama. Semangat itu sempat pudar, apalagi ketika media sosial terus menampilkan standar fisik “sempurna” setiap menitnya. Pada akhirnya, saya sampai pada kesimpulan bahwa motivasi semacam itu tidak lagi cukup. Tubuh saya membutuhkan olahraga bukan untuk validasi, tetapi untuk tetap berfungsi dengan baik di masa depan.

Seiring saya mencoba berdamai dengan tubuh sendiri, saya mulai melihat bagaimana tren body issue 2025 juga terbentuk oleh budaya digital dan para kreatornya. Katanya, tren body issue banyak dipengaruhi narasi online, tetapi menariknya, standar ideal kini tidak lagi sesempit dulu. Gerakan body neutrality tumbuh karena banyak orang mulai sadar bahwa tubuh tidak harus selalu tampil sempurna, yang penting ia bekerja, menopang, dan mengizinkan kita hidup dengan baik. Ini perspektif yang terasa jauh lebih membumi.

Dari perubahan cara pandang itulah, saya juga belajar memaknai olahraga dengan lebih tenang. Olahraga kini lebih dipandang sebagai usaha merawat tubuh, pikiran, dan bahkan hubungan sosial. Popularitas yoga, pilates, dan aktivitas berbasis mindful movement menjadi semacam pengingat bahwa kesehatan bukan hanya ukuran fisik, tetapi juga kedamaian mental. Masing-masing orang punya kapasitas dan ritme yang berbeda, jadi mengejar konsistensi kecil jauh lebih masuk akal dibanding memaksakan jam olahraga setiap hari.

Di 2025, generasi muda mendorong cara pandang baru terhadap kesehatan: lebih seimbang, lebih personal, dan tidak lagi terpaku pada standar tubuh ideal. Mereka mengedepankan ritme hidup yang menyelaraskan fisik, mental, dan sosial. Saya merasa itu adalah pendekatan yang jauh lebih sehat dibanding mengejar bentuk tubuh sempurna.

"Wellness sejati BUKAN melulu tentang MENGEJAR versi terbaik diri, melainkan BERDAMAI dengan diri yang ada."

Kini saya sadar bahwa saya tidak lagi bisa berolahraga setiap hari seperti dulu. Energi yang terkuras dari pekerjaan membuat saya harus menyesuaikan ekspektasi. Jalan santai sepulang kerja pun bisa menjadi bentuk olahraga yang layak dihargai. Yang penting adalah menjaga keseimbangan: fisik, mental, emosional, dan spiritual. Dan kalau tiga rencana saya tahun ini terasa terpenuhi, itu karena saya mengukurnya berdasarkan kemampuan diri sendiri.

BACA JUGA:

Perspektif Baru dari Perhiasan Warisan di Mata Gen Z

Menyimak Inovasi dalam Keberlanjutan di Dunia High Jewelry

Baca artikel Diary Dave yang berjudul "Harmoni Kesejahteraan" yang terbit di edisi cetak Harper's Bazaar Indonesia - November 2025; Disadur oleh: Akma Siregar.