Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, menjadi sumber inspirasi terbaru bagi Mel Ahyar Archipelago yang berhasil mencuri perhatian publik pada ajang Plaza Indonesia Fashion Week 2025. Melalui koleksi terbarunya, Mel Ahyar menelusuri identitas Tanah Laut atau yang akrab disebut Tala dengan mengangkat tema keberagaman yang terbentuk dari sejarah transmigrasi dan filosofi “Tuntung Pandang”, semangat untuk menatap masa depan dengan pandangan jauh ke depan. Koleksi ini tidak hanya menyoroti keindahan budaya lokal, tetapi juga menafsirkan ulang makna modernitas yang berpadu dengan kearifan lokal secara elegan dan berkarakter.
BACA JUGA: Gemerlap Kreativitas UMKM Indonesia di Panggung Digital Acara FEKDI x KKI 2024
Karya bertajuk “Tanah Laut” tersebut merupakan reinterpretasi kain Sasirangan khas Kalimantan Selatan ke dalam bentuk busana berstruktur dengan siluet tegas dan sentuhan twisted beauty yang menjadi ciri khas Mel Ahyar. Inspirasi dari sosok pahlawan nasional Pangeran Antasari turut memperkuat nuansa heroik dalam rancangan ini. Motif “Kejujuran” dan “Seribu Sungai” diolah menjadi pola topografis yang merefleksikan kekayaan bentang alam Tala, kemudian dipadukan dengan aksesori tas anyaman purun yang unik. Dengan dukungan stylist Hagai Pakan serta deretan muse seperti Maudy Ayunda, Sheila Dara Aisha, Omar Daniel, Devano Narendra, Sha Ine Febriyanti, Ario Bayu, dan Titi Radjo Padmadja, koleksi ini tampil sebagai karya puitis yang memadukan semangat budaya, inovasi desain, dan estetika kontemporer.
Keberhasilan koleksi tersebut kemudian menjadi pijakan bagi Mel Ahyar bersama Arie Panca untuk meluncurkan program inkubasi UKM bertajuk “Tala Wastra Berdaya”, atas inisiatif Ibu Dian Rahmat Trianto, Ketua Dekranasda Kabupaten Tanah Laut. CEO Maison MAC, Arie Panca, menegaskan bahwa dukungan bagi pelaku UKM tak cukup dengan acara sesaat atau pembelian karya semata. Ia menekankan pentingnya perubahan paradigma bahwa UKM sejatinya mirip dengan startup, seperti memiliki ide dan produk kuat, namun membutuhkan strategi pengembangan agar bisa berkembang secara berkelanjutan. Sementara itu, Mel Ahyar menambahkan bahwa banyak UKM memang mampu tumbuh mandiri, tetapi melalui proses panjang penuh jatuh-bangun. Lewat inkubasi ini, keduanya berharap dapat mempercepat langkah para pelaku UKM menuju kemandirian dan kesejahteraan.
Program “Tala Wastra Berdaya” lahir dari kesadaran bahwa Wastra Tanah Laut memiliki potensi luar biasa, baik secara budaya maupun ekonomi. Filosofi “Tuntung Pandang” menjadi dasar nilai yang menuntun program ini dalam menjaga kesinambungan antara warisan budaya dan kebutuhan masa kini. Namun, di balik kekayaan motif Sasirangan Tanah Laut, masih terdapat tantangan besar seperti identitas visualnya belum sekuat wilayah tetangga seperti Banjarmasin dan Banjarbaru yang lebih dulu mengokohkan ciri khas mereka. Secara desain, produk-produk UKM Tanah Laut dinilai masih generik dan belum sepenuhnya menjawab selera pasar modern. Inilah yang mendorong MMAC menciptakan program pendampingan yang menyentuh akar permasalahan secara menyeluruh.
Meski demikian, potensi kreatif Tanah Laut tak dapat dipandang sebelah mata. Mel Ahyar terinspirasi oleh kekayaan simbol budaya lokal seperti Kijang Mas, biji kopi Liberika, dan Anggrek Bulan Pelaihari yang diakui dunia. Dari sisi teknik, kabupaten ini memiliki metode sasirangan ringkel (saringkel) mulai dari teknik eksklusif yang tak ditemukan di daerah lain. Arie menilai, produk anyaman purun (Lepironia articulata) juga memiliki nilai tambah tinggi. Tanaman purun yang tumbuh di tanah gambut mengandung mineral silika, membuat anyamannya lebih kuat dan tahan lama dibanding daun pandan atau kelapa. Tim MMAC melalui riset lapangan menemukan bahwa hasil kerajinan purun masih didominasi produk tradisional seperti tas dan topi, padahal potensinya besar untuk dikembangkan menjadi sepatu, dompet, ikat pinggang, dan aksesori modern melalui kombinasi material baru yang lebih inovatif.
Untuk menjawab tantangan tersebut, MMAC mengembangkan kurikulum inkubasi komprehensif berdasarkan pengalaman lebih dari satu dekade membina berbagai label seperti Mel Ahyar, Happa, XY, dan ID Wear Project. Sepuluh UKM lokal terpilih melalui proses kurasi ketat oleh Ibu Dian Rahmat Trianto. Mereka akan mendapatkan pendampingan intensif mencakup penguatan SDM, desain, produksi, branding, legalitas, hingga tata kelola bisnis digital. Program ini tidak hanya fokus pada keterampilan teknis, tetapi juga membangun aspek manajerial, pengelolaan keuangan, dan budaya orientasi pelanggan karena keberlanjutan UKM tidak hanya bergantung pada mutu produk, tetapi juga profesionalitas dalam menjalankan bisnis.
Berbeda dari program pemberdayaan yang bersifat masif, “Tala Wastra Berdaya” memilih pendekatan terfokus dan mendalam, agar setiap UKM binaan mampu tumbuh menjadi brand yang mandiri. Harapannya, setelah program berakhir, kesepuluh UKM tersebut memiliki karakter kuat dan daya saing tinggi di pasar nasional. Kolaborasi berkelanjutan antara MMAC dan Dekranasda diharapkan menjadi pondasi ekosistem kreatif yang berdampak nyata bagi pembangunan ekonomi daerah, khususnya dalam memperkuat posisi Wastra Tanah Laut di panggung mode nasional.
Proses inkubasi dibagi ke dalam tiga fase besar. Pra-inkubasi menjadi tahap riset dan eksplorasi identitas visual baru Wastra Tanah Laut, dengan penciptaan motif-motif khas yang mencerminkan keunikan lokal. Dekranasda melakukan kurasi UKM potensial, sementara Mel Ahyar Archipelago menampilkan hasil awal interpretasi mereka dalam Plaza Indonesia Fashion Week 2025. Arie menuturkan, ajang ini tidak hanya memperkenalkan hasil karya, tetapi juga menjadi motivasi bagi para pelaku UKM dan masyarakat Tala. Dengan melihat hasil nyata di panggung bergengsi dan dikenakan figur publik, mereka diharapkan semakin percaya diri dan termotivasi untuk terus berinovasi.
Usai euforia panggung mode tersebut, program memasuki fase inkubasi utama yang berlangsung selama enam hingga dua belas bulan. Dalam periode ini, para UKM menjalani mentoring teknis dan bisnis secara intensif, termasuk pelatihan langsung dari Mel Ahyar dan Arie bersama tim profesional. Setiap gelombang pelatihan berlangsung tiga hingga lima hari dan menghasilkan prototype produk yang akan dikembangkan menjadi koleksi kolaborasi dengan Mel Ahyar Archipelago. Hasil karya peserta akan dipamerkan dalam sebuah showcase besar bersama produk unggulan Tanah Laut lainnya. Mel Ahyar menyampaikan optimismenya bahwa dalam rentang waktu tersebut, para peserta akan mampu menghasilkan karya yang layak diperhitungkan di kancah nasional.
Puncak dari perjalanan ini adalah fase pascainkubasi, di mana karya yang dihasilkan akan melalui proses standarisasi, mulai dari sertifikasi, legalitas, hingga perlindungan HAKI. Tahapan ini bertujuan agar para UKM siap menapaki dunia industri dengan percaya diri. Arie menjelaskan bahwa tujuan akhir dari program ini adalah kemandirian penuh. Jika di tahap awal nama Mel Ahyar Archipelago masih melekat dalam identitas mereka, maka setelah pascainkubasi diharapkan setiap UKM sudah berdiri tegak sebagai brand otentik yang berkelanjutan dalam jangka panjang, baik secara ekonomi maupun kreatif.
Secara keseluruhan, “Tala Wastra Berdaya” menjadi langkah strategis dalam membangun ekosistem kreatif berkelanjutan yang berakar pada budaya lokal. Melalui pembinaan keterampilan, penguatan kapasitas bisnis, serta dukungan akses pasar dan legalitas, program ini menempatkan Wastra Tanah Laut bukan sekadar warisan tradisi, tetapi juga sumber daya ekonomi yang hidup dan relevan. Kolaborasi antara Dekranasda, MMAC, dan para pelaku UKM diharapkan menjadi model pemberdayaan yang tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga memberi nilai tambah nyata bagi masyarakat lokal. Dengan semangat “Tuntung Pandang”, program ini menjadi simbol perjalanan menuju masa depan di mana tradisi, inovasi, dan kesejahteraan tumbuh berdampingan secara harmonis.
BACA JUGA:
Mel Ahyar Merayakan Wastra Nusantara Melalui Koleksi Tahunannya Bertajuk Kultulibrasi
