Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Apakah ada Benang Merah Antara Fashion dan Seni?

Menelusuri hubungan panjang antara dua dunia yang saling berkelindan, di mana busana menjadi medium seni dan seni menjelma dalam bentuk karya.

Apakah ada Benang Merah Antara Fashion dan Seni?
Foto: Courtesy of BAZAAR Indonesia

Di Galeri Uffizi, Firenze, potret Bronzino abad ke-16 menampilkan seorang bangsawati dengan kerah ruffle menjulang, digambarkan seteliti perhiasan yang dikenakannya. Dalam kanvas Bachiacca, sosok Maria Magdalena hadir dalam balutan damask merah dengan hiasan bulu lynx yang agung—sehingga jika Anda melihatnya langsung mengucapkan “that’s art.”

BACA JUGA:  Elsa Schiaparelli Menjadi Lebih Relevan dari Sebelumnya

Beberapa abad kemudian, Charles Frederick Worth muncul sebagai perancang yang kemudian dijuluki “bapak” haute couture. Ia memperkenalkan sistem koleksi musiman label rumah mode, hingga peragaan busana dengan model hidup. Karyanya menjadi simbol kemewahan di lingkaran istana, terutama bagi Permaisuri Eugénie, istri Napoleon III yang potretnya karya Franz Xaver Winterhalter kini terpajang di The Met, New York. Mode, sejak saat itu resmi menjadi bagian dari sejarah seni.

The Empress Eugenie

Foto: Courtesy of BAZAAR Indonesia

Memasuki abad ke-20, hubungan antara mode dan seni menjadi semakin nyata. Paul Poiret bekerja sama dengan pelukis Raoul Dufy menciptakan tekstil dekoratif La Perse (1911), sementara Elsa Schiaparelli dan Salvador Dalí (1937) menandai era baru lewat gaun lobster dan topi berbentuk sepatu, sebuah pernyataan bahwa busana bisa seprovokatif lukisan surealis.

Yves Saint Laurent kemudian melanjutkan dialog ini melalui koleksi Mondrian (1965), mengubah abstraksi geometris menjadi potongan jersey wol yang dapat dikenakan di jalanan. Seni tak lagi terpajang di dinding, ia kini berjalan di atas tubuh manusia.

Issey Miyake menjadi salah satu sosok yang memperlakukan kain layaknya medium eksperimen. Melalui Pleats Please (1993) dan A-POC (1997–98), ia memperkenalkan teknik pleating permanen yang lentur, tahan lama, dan efisien. Visi futuristisnya tentang busana satu benang komputerisasi menciptakan konsep zero waste yang kini dianggap revolusioner. 

Dari Jepang ke Belanda, Iris van Herpen adalah desainer yang menjadikan adibusana sebagai laboratorium seni. Ia memadukan pencetakan 3D, pemotongan laser, hingga material bio-inspired dengan ketelitian tangan manusia. Dalam koleksi Mummification (2010), ia mengolah gagasan tentang ritual pengawetan tubuh menjadi konstruksi avant-garde–membungkus tubuh layaknya mumi, namun diberi sentuhan avant-garde.

Iris van Herpen Refinery Smoke Dress

Foto: Courtesy of BAZAAR Indonesia

Eksperimen serupa muncul dari Hussein Chalayan Spring 2007 yang menampilkan gaun mekanis bergerak bak instalasi kinetik. Sementara itu, Coperni menciptakan momen ikonis di Spring/Summer 2023 saat Bella Hadid “dilukis” langsung di atas panggung menggunakan serat tekstil cair ciptaan Dr. Manel Torres, sebuah karya seni yang hidup di depan mata penonton.

Memasuki 2000-an, seni menjadi bagian dari strategi membangun mitologi merek. Kolaborasi Louis Vuitton × Takashi Murakami (Spring/Summer 2003) melahirkan Monogram Multicolore yang meledak secara global. Dior di bawah Kim Jones menggandeng Kaws (2019), menyatukan estetika street art dan kemewahan Paris. Sementara Raf Simons membawa Calvin Klein ke arah yang lebih konseptual, menghadirkan karya Andy Warhol langsung ke atas kain busana, membalik citra label Amerika yang selama ini identik dengan clean sex appeal.

Abad ke-21 membuka dimensi baru: dunia digital. Gucci meluncurkan Vault Art Space bersama SuperRare (2022), sebuah galeri virtual untuk karya NFT. Tahun berikutnya, kolaborasi dengan Christie’s melalui pameran Future Frequencies menampilkan 21 seniman generatif yang menciptakan gaun digital berbasis AI, sebagian hanya eksis sebagai file 3D yang dapat “dikenakan” di metaverse.

Kolaborasi seniman Claire Silver dan Emi Kusano dengan Gucci menggunakan AI

Foto: Courtesy of BAZAAR Indonesia

Jonathan Anderson melalui Loewe justru memilih arah sebaliknya. Dalam “Show in a Box” (Spring/Summer 2021), ia menghadirkan koleksi dalam bentuk paket kertas berisi potongan kain, poster, dan instruksi DIY. Sebuah pengingat bahwa keajaiban mode sejati masih lahir dari tangan manusia.

Maison Margiela di bawah Glenn Martens mempertegas hal itu lewat koleksi Artisanal Fall/Winter 2025–26 yang hidup layaknya instalasi seni. Bahkan, mereka meluncurkan Line 2, lini kultural yang memperluas busana ke ranah visual dan audio.

Maison Margiela Artisanal Fall/Winter 2025-26

Foto: Courtesy of BAZAAR Indonesia

Dialog antara fashion dan seni mencapai bentuk paling performatif lewat Marina Abramović. Dalam Seven Minutes of Collective Silence di Glastonbury Festival 2024, ia mengenakan Peace Dress rancangan Riccardo Tisci. Saat tangannya terangkat, gaun putihnya mengembang membentuk simbol perdamaian. Di hadapan puluhan ribu penonton, busana berubah menjadi monumen hening.

"Fashion is NOT art."  - Rei Kawakubo dan Yohji Yamamoto

Namun tak semua setuju bahwa fashion adalah seni. Yohji Yamamoto dan Rei Kawakubo dengan tegas menyatakan: “fashion is not art.” Bagi mereka, seni berdiri otonom sementara busana harus melayani tubuh. Falsafah Jepang wabi-sabi dan ma menjadi dasar dari desain asimetris, tekstur kasar, serta detail yang sengaja dibiarkan tak sempurna—sebuah meditasi akan ruang di antara tubuh dan kain.

Meski begitu, busana tetap mampu membawa narasi, memori, dan metafora. Ada yang mewujudkannya lewat teater, kriya tangan, atau interpretasi digital. Justru di sinilah paradoksnya peringatan Yohji dan Rei untuk jangan pernah melupakan tubuh, sebab pakaian hanya lengkap ketika dikenakan manusia.

Ketegangan inilah yang membuat mode terus bernapas. Tanpa seni, mode berisiko membeku menjadi komoditas semata meski tanpa pijakan, ia bisa kosong sebagai tontonan. After all, dalam tarik-menarik itulah, mode justru menemukan vitalitasnya.

BACA JUGA:

Kilas Pameran Rei Kawakubo: Art of The In-Between

Infusi Militer di Jam Tangan Hublot & Yohji Yamamoto

Baca artikel Bazaar yang berjudul "Seni Mode" yang terbit di edisi cetak Harper's Bazaar Indonesia - Oktober 2025; Penulis: Michelle Othman; Disadur oleh: Emily Naima.