Seperti benang cerita yang terus berlanjut, perjalanan mode Indonesia menuju panggung dunia sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Ada desainer yang memilih jalan tenang namun konsisten, ada pula yang berani melangkah di luar batas dengan eksperimen yang penuh kejutan. Di tengah cepatnya perubahan industri mode internasional, mereka hadir membawa pandangan baru dari negeri kaya budaya, yang sering kali masih dipandang sebelah mata oleh pusat mode dunia.
BACA JUGA: Bagaimana Para Desainer Meredefinisikan Mode dan Seni
Nama Biyan menjadi salah satu titik penting dalam sejarah itu. Selama lebih dari tiga puluh tahun, ia membangun dunia mode yang puitis, romantis, dan kaya akan detail. Setiap koleksinya merupakan perayaan akan tekstur, motif, dan siluet feminin yang membuat labelnya dikenal luas, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di kancah internasional.
“Hambatan terbesar di awal adalah membangun kepercayaan,"-Biyan.
Pada masa ketika dunia digital belum menguasai percakapan tentang mode, perjalanan seorang desainer dari Indonesia menuju panggung global terasa seperti mimpi yang jauh. Namun justru di situlah Biyan memulai langkahnya. Ia tidak hadir lewat sorotan media sosial atau strategi pemasaran digital, melainkan melalui cara-cara alami, seperti mengikuti pameran, tampil di editorial majalah mode, hingga membangun jaringan pribadi dengan kesabaran. Saat itu, dunia belum terbiasa melihat label dari Indonesia, dan tantangan terbesarnya adalah soal kepercayaan.
“Hambatan terbesar di awal adalah membangun kepercayaan,” ujarnya. Retailer internasional ragu apakah label dari Jakarta bisa menjaga kualitas, detail, dan konsistensi seperti rumah mode di Eropa. Untuk membuktikan dirinya, Biyan bekerja dengan sungguh-sungguh, memastikan setiap koleksi tidak hanya indah dipandang, tetapi juga memenuhi standar kualitas global. Tantangan semakin berat ketika pesanan dari luar negeri datang dalam jumlah besar, sementara desainnya penuh detail rumit yang memerlukan ketelitian para pengrajin terampil. Proses ini menuntut ketekunan, kesabaran, dan keyakinan bahwa keindahan serta keahlian tangan dari Indonesia memang pantas dihargai dunia.
Puluhan tahun kemudian, prinsip itu terbukti benar. Dunia mode global kini lebih terbuka dan menghargai keberagaman. Jika dulu karya dari luar Eropa sering disebut “eksotis”, kini justru dianggap sebagai perspektif baru yang berharga.
Keaslian kini menjadi hal yang dicari, dan Biyan hadir sebagai salah satu representasi penting dari semangat tersebut. Koleksinya dapat ditemukan di concept store dan multibrand store pilihan di Singapura, Hong Kong, Bangkok, Dubai, hingga New York. Kehadiran ini bukan sekadar ekspansi pasar, melainkan cerminan dari keselarasan jiwa. Ada hubungan yang selaras antara nilai artistik yang ia tawarkan dengan karakter kota-kota tempat karyanya hadir.
Namun, strategi Biyan tidak pernah semata-mata tentang memperluas pasar. Kekuatan utamanya terletak pada konsistensi, relevansi, serta keberanian untuk tetap setia pada gaya desain pribadi. “Tren akan selalu datang dan pergi, tetapi karya yang lahir dari keyakinan pribadi dan dedikasi terhadap detail akan selalu mendapat tempat di hati orang,” ujarnya. Karena itulah, koleksi Biyan selalu dinanti, tidak pernah dibuat terburu-buru, tidak mengejar sensasi, melainkan hadir sebagai kisah panjang tentang keanggunan yang tak lekang oleh waktu.
“Berjalan seiring dengan dunia bukan hanya soal pencapaian besar, tetapi tentang bagaimana warisan budaya bisa tetap hidup, sekaligus bertemu dengan kisah lain di luar sana,” tambahnya. Biyan percaya bahwa busana adalah bahasa universal yang lahir dari keterampilan, dedikasi, dan keyakinan bahwa keindahan akan selalu menemukan ruang melampaui batas.
“Detail dan keterampilan tangan adalah cara paling halus untuk membawa budaya Indonesia ke tingkat global,”- Sapto Djojokartiko.
Langkah berikutnya datang dari Sapto Djojokartiko yang sejak awal dikenal lewat kisah elegansi yang halus dan berkarakter. Labelnya resmi diluncurkan pada 2007, namun sorotan besar baru datang ketika ia memperkenalkan koleksi ready-to-wear pada 2009. Sambutan hangat terhadap koleksi itu menjadi titik balik penting, hingga dua tahun kemudian ia dianugerahi penghargaan Fashion Designer of The Year oleh salah satu media mode ternama di Indonesia. Padahal jauh sebelum itu, Sapto sudah menimba pengalaman sejak 1997, mulai dari menjadi desainer kostum hingga stylist, semuanya membentuk kedisiplinan, perhatian terhadap detail, dan bahasa visual yang kuat.
Sapto percaya bahwa konsistensi adalah dasar, tetapi konsistensi saja tidak cukup. Inovasi juga harus hadir agar karya tetap segar dan relevan. “Detail dan keterampilan tangan adalah cara paling halus untuk membawa budaya Indonesia ke tingkat global,” jelasnya. Ia banyak bereksperimen dengan sulaman, motif, dan teknik khas Indonesia yang diolah menjadi tampilan modern dan kontemporer. Pendekatan ini membuat karyanya lebih mudah diterima oleh audiens internasional karena kualitas dan ketelitiannya bisa langsung dirasakan, tanpa perlu penjelasan panjang. Bagi Sapto, narasi budaya tidak selalu muncul melalui motif yang harfiah, tetapi juga lewat tekstur, siluet, serta interpretasi terhadap cerita rakyat, legenda, atau arsitektur Nusantara.
Pengalaman internasional semakin memperkuat keyakinannya. Melalui acara tahunan Saptojo Arabia Collection di Abu Dhabi, ia kerap bertemu dengan para klien yang kemudian menjadi kolektor setia. Mereka tidak hanya membeli busana, tetapi juga kisah dan keunikan proses kreatif di baliknya. “Klien internasional menghargai craftsmanship sebagai sesuatu yang bernilai tinggi,” ujarnya. Dari situ, ia semakin yakin bahwa karya desainer Indonesia mampu berbicara dalam bahasa universal ketika kualitas dan identitas tetap dijaga.
Strateginya dalam membangun brand bersifat menyeluruh. Lini couture dan bridal memberinya ruang untuk mengeksplorasi detail dan eksklusivitas, sementara ready-to-wear menjadi sarana untuk memperkenalkan bahasa desainnya ke pasar yang lebih luas. “Semuanya adalah satu perjalanan yang saling melengkapi,” tuturnya. Dengan menjaga standar kualitas yang sama, baik pada gaun couture maupun busana sehari-hari. Merek miliknya kini tampil di mata dunia bukan hanya sebagai label lokal, melainkan sebagai fashion house dengan relevansi internasional.
Pelajaran terbesar yang ia petik dari perjalanan globalnya adalah tentang keseimbangan: menghormati tradisi, namun berani mengolahnya menjadi sesuatu yang baru. “Audiens internasional memberikan respons yang lebih dalam ketika mereka melihat kualitas craftsmanship, konsistensi, dan inovasi,” katanya. Dengan cara itu, karya desainer Indonesia bisa melampaui batas geografis tanpa kehilangan identitas autentik.
“Itulah kontribusi paling penting dari desainer Indonesia: menghadirkan sudut pandang baru.” - Heaven Tanudiredja.
Jika Biyan dan Sapto menjadi fondasi estetika yang puitis dan lembut, generasi berikutnya muncul dengan pendekatan berbeda, lebih eksperimental, lebih kontemporer, namun tetap berambisi menjaga identitas Indonesia di tengah arus global. Salah satunya adalah Heaven Tanudiredja, yang menempuh jalur karier tak biasa. Ia pertama kali dikenal bukan sebagai perancang busana, melainkan sebagai pencipta aksesori avant-garde yang menyerupai instalasi seni. “Perhiasan adalah kecelakaan yang indah,” ujarnya mengenang satu dekade yang ia habiskan di dunia aksesori.
Namun sejak awal, Heaven sebenarnya telah memilih jurusan busana: tiga tahun di ESMOD Jakarta, kemudian empat tahun di Royal Academy of Fine Arts Antwerp. Lingkungan itu mempertemukannya dengan orang-orang yang hidup dalam passion yang sama, berdiskusi tentang visi dan seni hingga larut malam. Dari Antwerp pula jalannya terbuka menuju dunia mode internasional. Paris menjadi pusat segalanya, tempat para buyer dari seluruh dunia mencari tren terbaru.
Karya Heaven berhasil menembus 53 butik internasional seperti Barneys New York, Holt Renfrew Toronto, Dover Street Market di London, Tokyo, dan New York, hingga 10 Corso Como Milan. Ia menikmati pencapaian tersebut, namun pada akhirnya memilih kembali ke dunia busana yang ia anggap sebagai arsitektur bagi tubuh manusia.
Kini, koleksi Heaven diproduksi secara terbatas di atelier kecilnya di Bali. “Lebih baik tidak memproduksi terlalu banyak,” ujarnya. Menurutnya, dunia mode saat ini sudah terlalu ramai dengan produk-produk yang serupa, seperti oversized pants atau tailoring ala Dior dan Balenciaga yang terlihat hampir sama. Bagi Heaven, hal yang paling penting bukanlah jumlah produksi, melainkan menghadirkan perspektif baru yang autentik, lahir dari ide dan visi yang jujur. “Itulah kontribusi paling penting dari desainer Indonesia: menghadirkan sudut pandang baru.” Ia memilih jalan yang mungkin lebih sepi, namun tetap setia pada suara hatinya, menjadikan karya sebagai bentuk perlawanan terhadap keseragaman global.
“Jangan takut bermimpi besar, siap menghadapi penolakan, dan tetap jaga identitas dengan kuat."- Peggy Hartanto.
Berbeda dengan Heaven, Peggy Hartanto menempuh strategi yang lebih terukur. Sejak mendirikan labelnya pada 2012, ia sadar bahwa gaya desainnya yang kontemporer, minimalis, dan tegas terlihat tidak selalu sesuai dengan selera pasar lokal. Namun justru karena itulah ia yakin bahwa koleksinya memiliki potensi kuat untuk diterima di kancah internasional. Sejak awal, tujuan global sudah menjadi arah yang jelas baginya.
Langkah awal Peggy dimulai ketika ia mengikuti berbagai kompetisi internasional, termasuk bersama Harper’s Bazaar Indonesia ke Bangkok untuk ajang Asia New Gen Fashion Award (ANFA) perdana. Runway itu menjadi pintu kecil yang membuka peluang besar, terutama ketika Giuliana Rancic, presenter internasional, mengenakan karyanya di televisi. Respons positif yang meluas memberi keyakinan bahwa desainnya mampu menembus batas negara. Namun, momen paling penting datang saat ia memutuskan untuk tampil secara konsisten di Paris sejak 2015.
“Memulai hanya dengan dua mitra ritel di Singapura dan Beirut bukan hal mudah. Tapi dengan terus hadir dan menunjukkan karya, kepercayaan akhirnya tumbuh,” ujarnya. Peggy memahami bahwa membangun jaringan global membutuhkan waktu. Toko-toko ritel tidak langsung percaya pada label muda dari Indonesia, jadi ia rajin mendatangi showroom, bertemu calon mitra, dan kadang hanya mendapat lima menit untuk memperlihatkan koleksi. Namun dengan konsistensi, hubungan pun mulai terjalin, beberapa di antaranya kini telah bekerja sama lebih dari delapan tahun.
Bagi Peggy, identitas adalah kunci utama. Ia menolak pandangan bahwa label dari Indonesia harus selalu menampilkan simbol budaya secara langsung. “Identitas Indonesia kami hadir melalui rasa desain, garis yang tegas tapi tetap feminin, detail halus, serta keseimbangan antara struktur dan kelembutan.” Pendekatan itu membuktikan bahwa label dari Asia Tenggara bisa berdiri sejajar dengan brand besar dunia.
Titik balik lainnya terjadi ketika toko-toko ritel mulai melakukan pemesanan ulang setiap musim, tanda bahwa koleksinya bukan hanya menarik perhatian, tetapi benar-benar laku dan dicari kembali oleh pelanggan. Untuk generasi muda, Peggy berpesan sederhana namun bermakna: “Jangan takut bermimpi besar, siap menghadapi penolakan, dan tetap jaga identitas dengan kuat. Dunia mode penuh penolakan, tapi yang membuat perjalanan ini mungkin adalah kemampuan untuk bangkit lagi.”
“Intinya, saya terbuka pada tren, tapi selalu menjaga DNA desain saya,”- Hian Tjen.
Sementara itu, Hian Tjen membangun reputasi lewat bahasa yang lebih abadi: kerajinan tangan dan keindahan detail. Gaun-gaunnya dikenal dengan sentuhan rumit yang berpadu dengan siluet bersih, menciptakan kesan elegan dan tak lekang waktu. Baginya, keindahan bukan sekadar tren sesaat, tapi sesuatu yang bisa diwariskan lintas generasi. Partisipasinya di Milan, Paris, dan Timur Tengah membuka akses ke audiens global. Gaya desainnya yang clean dan sederhana justru sejalan dengan filosofi “less is more” yang digemari dunia internasional.
Namun, Hian tetap mengikuti perkembangan zaman. Ia aktif melakukan riset tren, lalu menerjemahkannya dengan caranya sendiri. Saat tren balloon dress kembali, misalnya, ia merancang gaun untuk Luna Maya dengan volume besar namun tetap terlihat bersih. Ia menambahkan cut-out modern di bagian bodice dan ornamen bunga buatan tangan agar tetap tampak klasik meski mengikuti arus mode. “Intinya, saya terbuka pada tren, tapi selalu menjaga DNA desain saya,” katanya.
Bagi Hian, cerita visual sama pentingnya dengan desain. Ia ingin audiens memahami bahwa di balik tampilan sederhana, ada proses panjang dan rumit yang menuntut ketelitian tinggi. Harapannya, sepuluh tahun mendatang, label Hian Tjen tak hanya dikenal karena gaun indahnya, tetapi juga sebagai warisan craftsmanship Indonesia di panggung mode dunia.
Generasi paling muda dalam perjalanan ini adalah Toton Januar. Dididik di Parsons, New York, Toton membawa pulang cara pandang baru tentang bagaimana budaya Indonesia bisa diterjemahkan ke dalam bahasa desain yang modern dan relevan. Sejak awal, ia menolak jebakan eksotisme baginya, tradisi bukan sekadar motif atau kostum etnik, melainkan sumber inspirasi yang dapat diolah menjadi ready-to-wear kontemporer.
Harapannya, generasi berikut bisa mendapatkan dukungan lebih kuat agar suara Indonesia terdengar lebih lantang di percakapan global.
Langkah pertamanya dimulai dari mengikuti trade show di Singapura, lalu Paris. Respons positif pun datang, meski tantangan juga muncul dalam bentuk stereotipe: beberapa orang menganggap karyanya mirip cenderamata khas. “Itu menjadi masukan yang membangun,” ujarnya. Toton kemudian memperkuat identitas desainnya agar lebih jelas dan otentik. Keberhasilan berikutnya datang melalui liputan media internasional serta pembeli dari Asia hingga Amerika.
Namun, tantangan terbesar adalah menjaga keseimbangan antara kerajinan tangan dan ritme industri mode global yang serba cepat. Jadwal fashion week sering memaksa penyederhanaan teknik tradisional. Saat pandemi datang dan memperlambat semuanya, Toton justru memanfaatkannya untuk menata ulang arah: menggunakan material daur ulang, memperlambat siklus produksi, dan membuka studio untuk pesanan khusus.
Kini, Toton kembali mengukir prestasi di panggung internasional, termasuk terpilih sebagai emerging designer yang mengisi Secret Room di ajang pameran White Show dalam Milan Fashion Week Spring/Summer 2024. Meski begitu, ia tetap kritis terhadap kondisi industri. “Desainer Indonesia masih kekurangan dukungan institusional. Banyak di antara kami yang berjuang sendiri,” ujarnya. Harapannya, generasi berikut bisa mendapatkan dukungan lebih kuat agar suara Indonesia terdengar lebih lantang di percakapan global.
Dari perjalanan panjang ini, tampak jelas bahwa setiap desainer membawa strategi, tantangan, dan keunikan masing-masing. Dari Biyan yang konsisten menjaga romantisisme, Sapto dengan elegansi subtilnya, Heaven yang menghadirkan perspektif baru, Peggy dengan konsistensi dan jejaring globalnya, Hian dengan craftsmanship timeless-nya, hingga Toton yang menawarkan reinterpretasi budaya kontemporer.
Mereka semua menghadapi stereotipe, persaingan ketat, dan keterbatasan infrastruktur. Namun, lewat jalan yang berbeda-beda, mereka berhasil membuktikan bahwa mode Indonesia bukan sekadar pelengkap, melainkan suara penting dalam percakapan global. Suara yang beragam, namun berpadu harmonis untuk mewakili identitas Indonesia yang terus berevolusi di mata dunia.
BACA JUGA:
Merasakan Pengalaman Tren Sleep Tourism di 5 Resort Ini
Menyusuri Jejak Karier Warren Hue
