Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Menyusuri Jejak Karier Warren Hue

Ritme yang menemukan rumahnya.

Menyusuri Jejak Karier Warren Hue
Courtesy of Harper's Bazaar Indonesia

Menemukan suara berarti menemukan diri. Warren Hue menyadari itu seketika ia berani melangkah dengan totalitas, lantaran fokus yang terpecah hanya mengaburkan arah. “50% di sini, 50% di sana tidak akan membuat apa pun berhasil. I’d rather focus on one thing and go 100%,” ujarnya. 

BACA JUGA: Merasakan Pengalaman Tren Sleep Tourism di 5 Resort Ini

Di usia belia, menggunakan alias warrenisyellow, ia mengunggah remix di SoundCloud dan YouTube sebagai sinyal awal lahirnya jiwa rapper dengan rasa eksperimental yang kuat. Dari kediaman di Jakarta, kreativitas bertumbuh bersamanya sebagai ruang eksplorasi. “Growing up, saya berada di sekitar teman-teman yang penuh dengan creative energy,” kenangnya kepada Bazaar Indonesia saat singgah sejenak ke kota asal. “We’d invite friends over, syuting video just for fun, karena kami suka para YouTuber dan ingin berkreasi aja. Itu akhirnya mengalir ke musik ketika saya berusia 15 atau 16 tahun. Yeah.”

"I’d rather focus on one thing and go 100%.” 

Dari situ, terbangun album-album eksploratif nan atmospheric, salah satunya Sugartown (2019) hasil kolaborasi bersama Chasu, produser dan multi-instrumentalis asal Hong Kong dengan rekam jejak karier di Korea Selatan, lantas menghadirkan tekstur produksi lebih matang serta nuansa sonik yang menegaskan arah artistiknya.

Warren Hue
Courtesy of Harper's Bazaar Indonesia

Tahun 2020 menjadi titik balik besar. Musisi keturunan Indonesia-Hong Kong tersebut menandatangani kontrak besar dengan label musik internasional dan melesat lewat single Omomo Punk, yang memadukan garage-feel dengan sentuhan pop begitu eksentrik (gayanya) di atas pukulan rap energik. Gaung karya itu memenangkannya Best Song By An Asian Artist di BandLab NME Awards 2022,  sekaligus mencatat nama Warren Hue dalam daftar talenta muda paling berpengaruh di Asia dan pujian sebagai salah satu global emerging artist paling menjanjikan.

“Tantangan terbesar adalah tetap setia pada diri sendiri, menjadi diri saya sendiri setiap waktu.”

Babak jayanya kemudian ditafsirkan dalam album Boy of the Year (2022) bak blueprint dari mimpi yang perlahan terwujud di panggung global. “Maybe my first (this) album with 88rising was the most symbolic thing,” ucapnya. “Sangat youthful, bahkan saya punya tato tentang itu di tangan. A lot of my fans even got that star tatted too. It’s cool, it makes me happy.” Suasana alienasi urban menggeluti visual video musiknya, seolah merefleksikan pergolakan batin seorang anak di negeri asing, “Living in LA is a culture shock for me,” lontarnya. “Dan setelah begitu lama tinggal di Jakarta, saya jadi sangat nyaman. Tetapi justru itu yang memotivasi saya. Saya bahkan tidak pernah membayangkan bisa berhasil (di sini). Like, to have an Indonesian rap, dan waktu itu satu-satunya role model adalah (Rich) Brian.” Meski ia tetap ingat bahwa identitas dan naluri kreatifnya lahir dari Jakarta, kota yang membesarkannya, kota yang membentuknya. “Being from Jakarta is really cool, you know, untuk dikenal di skala internasional. And I’m still gonna keep to my roots and my inner child mengenai apa yang saya tahu dari Jakarta, dan membawanya ke States.”

Puncak simbolisme itu hadir di ujung video seketika piala emas di tangan dan ia lemparkan ke angkasa, bagaikan melepas beban ekspektasi dan penilaian eksternal seraya sorakan penonton yang menggelar. “Tantangan terbesar adalah tetap setia pada diri sendiri, menjadi diri saya sendiri setiap waktu,” tuturnya. Tak bisa dipungkiri, dunia hiburan kini “ahli” dalam membentuk figur publik. Di satu sisi, mereka tampil sempurna, terukur, dan siap menghadapi sorotan media seperti segalanya tanpa cela. Di sisi lain, kilau yang dipaksakan itu sering kali mengikis autentisitas. Warren pun menegaskan, “Saya mencoba menyingkirkan semua ekspektasi. Saya tidak ingin berpura-pura. Saya hanya ingin menjadi diri saya sendiri, kapan pun dan di mana pun, entah di hadapan 200, 30.000, atau 100.000 orang yang menonton. “Waktu masih muda, saya belum tahu cara menghadapi dunia itu. Tapi ternyata, jadi diri sendiri adalah kuncinya, dan itu banyak membantu saya. But it was tough,” ia merenung.

Warren Hue
Courtesy of Harper's Bazaar Indonesia

Itu pula yang membentuk kejujuran karakter musiknya, dan bagi Warren hiphop adalah bahasa aspirasinya. “I’m a big fan of hiphop. Hiphop selalu bicara soal akar, soal bagaimana kamu tumbuh, soal siapa kamu sebenarnya. It’s very identity based. Jadi, semua topik yang saya bawakan selalu tentang pengalaman saya di Indonesia. Bukan berarti saya mencoba mewakili negara setiap waktu, but I’m representing myself in a way, and I grew up in Indonesia, jadi ya, itu adanya.”

Esensi sejatinya mewarnai urat nadi proses kreatifnya. Kini, buah pikirannya lebih bermunculan dari rutinitas harian. “Main inspiration these days, I’d have to say is just what I did last week, or like what I did on the day,” jelasnya. Ia tak lagi banyak menulis lirik panjang seperti dulu. Prosesnya lebih spontan, mengikuti nalar dan alur ketukan. “I just record what I think in my head, line by line. It’s called punch in, dan biasanya hasilnya lebih raw. Kalau ditulis, saya malah terlalu banyak overthinking,” tambahnya.

Proses mandiri itu terasah seiring pengalaman kerja di studio rekaman LA. “Now it’s just like understanding studio ethics. Di studio, semuanya begitu fokus dan energinya pun berbeda. Bekerja dengan orang lain memberi sudut pandang baru dan juga membantu membangun saya sebagai seorang artist,” tuturnya.

Metafora perjalanan video klip Boy of the Year mencapai klimaks ketika ia melaju dengan sepeda motor, menebas kecepatan, lalu mengambil kembali piala yang sempat ia hempaskan. “It’s never ending still for me. Success, for me, it’s still not gonna be measured. Saya merasakan kesuksesan ketika sampai di Los Angeles, and then it became too normal. Saya selalu ingin mencoba hal-hal baru. Saya terus mencari kesuksesan baru dan pencapaian baru,” lafalnya.

Warren Hue
Courtesy of Harper's Bazaar Indonesia

Meskipun ada satu momen yang tetap paling membekas yaitu debutnya di festival Head In The Clouds. “It was surreal. My first ever show, dan saya membawakan semua lagu yang saya buat semasa SMA,” jawabnya. Sejak ajang tak terlupakan itu, Warren sudah tiga kali menguasai panggung festival tersebut.

Kendati namanya telah mendunia Warren menolak dikotakkan oleh sebutan yang membatasi. “I don’t like putting Asian artist label on me. I personally just like being a rapper,” tegasnya “I make sure I don’t want to make my stuff gimmick, even though I know it grabs attention at the end of the day.

Lingkaran itu semakin lengkap ketika ia mengisi empat lagu di soundtrack film Marvel Shang-Chi dan The Legend of the Ten Rings yang membawanya kembali ke sumber obsesinya. “What first introduced me is through movies,” katanya. “Menyimak soundtracks dari berbagai film, seperti Real Steel, waktu itu ada Eminem yang membuat saya mendengar Eminem. Setelah itu ke Lil Wayne, Young Thug, Future, Travis Scott, Drake. I just got addicted.”

Dan mungkin, di balik semua dentuman beat dan sorotan lampu, ada satu pesan yang Warren bawa untuk generasi berikutnya, “To step out of the box. Jangan hanya meniru suara yang sudah ada. Banyak orang ingin membaur lalu menganggap itu baik-baik saja. Mereka pikir itu standarnya, padahal tidak, it doesn’t work like that.” Karena, pada kenyataannya, “Kalau Anda sampai ke Amerika dan terdengar seperti orang Amerika, mereka tidak akan menerima Anda. They’d rather listen to Travis Scott than a random Indonesian sounding like Travis Scott.” 

BACA JUGA:

Menapakkan Identitas Indonesia di Panggung Mode Dunia

Bagaimana Para Desainer Meredefinisikan Mode dan Seni

Baca artikel Bazaar yang berjudul "Roots, Rhythm, & Warren" yang terbit di edisi cetak Harper's Bazaar Indonesia - Oktober 2025; Penulis: Michelle Othman; Disadur oleh: Kayra Himawan.