Bahasan tentang skizofrenia katatonik mungkin jarang muncul ke permukaan karena banyak masyarakat belum familier dengan gangguan mental serius ini. Skizofrenia katatonik adalah salah satu bentuk gangguan skizofrenia yang ditandai oleh gejala motorik yang ekstrem, baik hiperaktivitas atau justru ketidakmampuan bergerak, berbicara, atau merespons rangsangan eksternal. Penderitanya bisa berdiam diri dalam posisi yang tidak biasa selama berjam-jam walaupun posisi tersebut tidak nyaman, meniru gerakan atau ucapan orang lain, atau mengalami mutisme (diam total).
Lalu, apakah skizofrenia katatonik bisa sembuh? Pertanyaan “sembuh” bisa mengandung beberapa makna: apakah bisa sembuh secara penuh (remisi total), atau minimal meredakan gejala sehingga seseorang kembali ke fungsi normal, atau remisi sebagian. Berdasarkan literatur dan pendapat ahli, jawabannya: ya, ada kemungkinan remisi dan perbaikan signifikan, tapi “sembuh sepenuhnya” dalam banyak kasus sulit dijamin, tergantung berbagai faktor dan penanganannya.
Dulu, skizofrenia katatonik dianggap sebagai subtipe dari skizofrenia dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV). Namun, sejak DSM-5 diterbitkan oleh American Psychiatric Association (APA), katatonia dianggap sebagai sindrom tersendiri yang bisa muncul pada berbagai gangguan mental, termasuk skizofrenia, bipolar, dan depresi berat.
Salah satu terapi yang efektif untuk menangani kondisi ini adalah Electroconvulsive therapy (ECT) atau Terapi elektrokonvulsif. Prosedur medis ini diperuntukkan bagi gangguan mental berat yang dilakukan oleh psikiater dan anestesiolog. Pasien diberi anestesi dan relaksan otot untuk memicu kejang terkontrol yang membantu mereset aktivitas otak. Pasien perlu dipantau untuk memastikan keamanan dan efektivitas serta mendukung pemulihan. Terapi ini diberikan terutama untuk kasus yang parah seperti depresi berat, mania dan skizofrenia yang sudah resisten terhadap obat-obatan.
Artikel yang diterbitkan APA mengatakan bahwa risiko mungkin terjadi pada ECT akibat penggunaan anestesi, serupa dengan risiko yang dilakukan pada prosedur lain seperti operasi. Risiko meliputi mual, sakit kepala, kelelahan, kebingungan, dan sedikit kehilangan ingatan yang dapat berlangsung beberapa menit hingga beberapa jam.
Risiko-risiko ini harus diimbangi dengan konsekuensi gangguan kejiwaan berat yang tidak ditangani secara efektif. Bagi sebagian pasien, risiko ECT mungkin lebih rendah dibandingkan dengan perawatan berkelanjutan dengan obat-obatan. ECT dapat bermanfaat bagi pasien yang memiliki kecenderungan suicidal, tidak merespons pengobatan, atau tidak dapat mentoleransi efek samping obat.
Kekambuhan mungkin terjadi. Dalam studi “One‑year Outcome After Response to ECT in Middle‑aged and Elderly Patients with Intractable Catatonic Schizophrenia” oleh Suzuki K, Awata S, Matsuoka H, sekitar 63,6% pasien mengalami kekambuhan dalam jangka satu tahun setelah ECT meskipun memakai terapi berlanjut. Studi dari Kar & Kumari, India, tentang “attenuated forms of catatonic symptoms” menyoroti pentingnya intervensi awal dengan ECT. Semakin cepat terapi dimulai, terutama untuk kasus berat, semakin besar peluang untuk perbaikan signifikan.
Beberapa faktor yang sangat mempengaruhi apakah skizofrenia bisa sembuh
1. Waktu intervensi
Semakin awal perawatan dan pengobatan dimulai setelah gejala muncul, makin baik peluang remisi.
2. Jenis dan dosis pengobatan
Konsultasikan dengan psikiater dan dokter lain yang terkait untuk jenis dan dosis pengobatan yang perlu diberikan.
3. Keparahan & lamanya gejala
Jika katatonia sudah lama berlangsung, atau jika ada komplikasi medis, prognosisnya lebih sulit.
4. Kepatuhan terapi dan dukungan lingkungan
Dukungan keluarga, akses ke layanan psikiatri, pengobatan yang teratur, dan terapi psikososial dapat memperbaiki hasil.
5. Komorbiditas
Adanya gangguan fisik/neurologis, jenis skizofrenia lainnya, atau gangguan mental tambahan (misalnya gangguan mood) dapat memengaruhi hasil.
Banyak pasien dengan skizofrenia katatonik bisa mengalami remisi gejala (baik katatonia itu sendiri maupun gejala psikotik) dengan pengobatan dan terapi yang tepat. Beberapa bisa kembali ke fungsi yang mendekati normal jika dukungan sosial dan medis memadai. “Kesembuhan penuh” jarang terjadi, pada masa remisi juga tetap membutuhkan terapi lanjutan, dukungan, dan pengawasan. Keterlambatan diagnosis atau pengobatan bisa memperburuk kondisi dan meningkatkan risiko komplikasi, seperti malnutrisi, dehidrasi, bahkan cedera diri.
Perbincangan tentang kesehatan mental perlu dinormalisasi. Tidak perlu menunggu kasus-kasus berat berdatangan untuk memberikan atensi terhadap kesehatan mental. Jadikan regulasi emosi dan berkonsultasi dengan tenaga profesional sebagai kebutuhan dan kebiasaan baik sehari-hari. Bila melihat kerabat atau keluarga yang mengalami stres (walaupun tampak ringan), berikan dukungan dan rekomendasikan untuk meminta bantuan profesional.
BACA JUGA:
OCD Bisa Sembuh Total, Benarkah?
Tetap Tenang di Tengah Tekanan, Ini Cara Menghindari Sifat Temperamental