Saat kita menyusuri window display brand mewah, berdiri tegak maneken penuh pesona dengan busana rupawan. Di balik setiap helai keindahan tersebut, ada tangan terampil dan visi brilian satu sosok tak tergantikan, sang creative director. Ia bukan sekadar desainer, tetapi penjaga warisan, penyusun narasi visual, dan pengarah rasa yang menyatukan seluruh koleksi menjadi satu gagasan utuh.
BACA JUGA:Bagaimana Kenyaman Menjadi Sorotan Utama pada Fashion Masa Kini
Ia menentukan tidak hanya bagaimana sebuah pakaian dibuat, tapi juga mengapa ia ada. Ia menyampaikan pesan budaya, membangun identitas, dan menjadi jembatan antara rumah mode dengan dunia luar. Maka tak heran, ketika figur ini pergi, entah karena pengunduran diri, transisi manajemen, atau bahkan kepergian mendadak, dampaknya terasa intens dan instan. Bukan hanya di dalam rumah mode yang bersangkutan, tetapi juga di seluruh industri.
Fashion menjadi kehilangan suara. Identitas visual mulai kabur. Dan runway, yang biasanya menjadi panggung pernyataan, berubah menjadi ruang hening yang sekadar memamerkan pakaian, bukan ide.
Saat posisi creative director kosong, banyak rumah mode memilih bermain aman. Koleksi demi koleksi disusun oleh tim desain internal yang sangat terampil, namun berfokus menjaga kesinambungan, bukan menciptakan terobosan. Tidak ada eksplorasi baru, tidak ada pernyataan berani, dan tentu tidak ada risiko artistik.
Akibatnya? Fashion menjadi fungsional, bukan emosional. Indah, tetapi tidak menggugah. Rapi, namun tanpa jejak karakter yang menggema. Tanpa sentuhan sang visioner, koleksi terasa seperti hasil algoritma estetika, bukan buah pemikiran kreatif yang mengena.
Fenomena ini kini tengah kita saksikan dalam skala besar. Tahun 2024 hingga 2025 menjadi periode pergantian direktur kreatif paling dinamis dalam satu dekade terakhir. Chanel, Dior, Celine, Givenchy, Bottega Veneta, Tom Ford, bahkan Dries Van Noten, semuanya mengalami pergeseran besar dalam kepemimpinan kreatif.
Chanel, misalnya, setelah kepergian Virginie Viard, kini berganti jabatan oleh Matthieu Blazy, sosok genius di balik kebangkitan Bottega Veneta. Namun, sampai Matthieu memperkenalkan koleksi perdananya, Chanel memasuki fase transisi yang tenang, bahkan nyaris hening. Keanggunan tetap ada, tapi ketegangan kreatif yang biasanya menjadi ciri khas rumah mode ini seolah rehat sejenak. Tapi keadaan ini tak perlu berlangsung seperti sebelumnya, sebab di Paris Fashion Week bulan Oktober nanti, kita akan menyaksikan koleksi perdana Matthieu untuk rumah mode legendaris ini.
Dior pun tengah dalam masa penantian. Maria Grazia Chiuri, yang selama ini menyuarakan feminisme melalui busana digantikan oleh Jonathan W. Anderson, desainer dengan pendekatan eksperimental dan fluid.
Sebuah pergeseran besar tengah disiapkan, namun disisi lain, koleksi Dior terasa seperti rangkaian aman yang menjaga estetika, tanpa menyentuh dimensi emosional atau ideologis. Hal ini lantas berubah ketika “kedatangan” pertama Jonathan bagi Dior di koleksi menswear kemarin. Ia membawa visi baru berkat interpretasinya terhadap arsip lampau Christian Dior.
Sementara itu, Givenchy menyambut Sarah Burton di musim lalu untuk koleksi perdananya untuk Givenchy musim Fall/Winter 2025. Sosok yang membangun warisan Alexander McQueen dengan narasi personal yang kuat dan romansa gelap yang megah. Tapi seperti Dior, koleksi transisi Givenchy usai ditinggal Matthew M. William masih berada dalam fase konservatif, menjauhi eksperimentasi visual. Berkat campur tangan Sarah, koleksi Givenchy kembali terasa “menantang” dan kembali memuaskan visual.
Celine, setelah ditinggal Hedi Slimane, menempatkan Michael Rider sebagai penerus potensial. Michael mampu membawa keseimbangan antara ketajaman Hedi dan kedalaman intelektual era Phoebe Philo. Setelah kemunculan perdananya untuk Celine koleksi Spring/Summer 2026, ia membawa Celine kembali ke kejayaan.
Louise Trotter, mantan Direktur Kreatif Lacoste dan Joseph, kini memimpin Bottega Veneta menggantikan Matthieu Blazy. Setelah masa keemasan Bottega di bawah Daniel Lee dan kemudian Matthieu, ekspektasi terhadap arah baru sangat tinggi. Louise, yang dikenal dengan pendekatan tenang dan fungsional, bisa jadi membawa Bottega pada fase reflektif, atau justru meredam api eksperimentasi yang selama ini menjadi daya tariknya. Namun, sementara menunggu kehadiran Louise untuk koleksi Spring/Summer 2026, label Bottega Veneta meniadakan pergelaran koleksi Fall/Winter 2025 di panggung pekan mode lalu.
Selain nama-nama di atas, industri fashion juga mengalami banyak perombakan, seperti Julian Klausner yang menampilkan koleksi perdananya untuk Dries Van Noten di musim ini. Pierpaolo Piccioli akan bergabung dengan Balenciaga dan mempersembahkan koleksi pertamanya pada Paris Fashion Week mendatang, sedangkan Demna Gvasalia akan mulai “bekerja” untuk Gucci dan menyajikan karyanya di Maret tahun depan. Lalu Loewe menyambut Jack McCollough dan Lazaro Hernandez, duet di balik label Proenza Schouler. Glenn Martens juga kini mengepalai Maison Margiela yang meluncurkan karya perdananya di awal Juli lalu. Ada pun Meryll Rogge yang kini menduduki jabatan Direktur Kreatif Marni.
Semua pergeseran ini menunjukkan satu hal, yaitu fashion sangat bergantung pada sosok, pengembus nyawa. Pada satu nama yang memberi makna, opini, dan keberanian pada koleksi. Tanpa tokoh-tokoh ini, runway terasa berharga, tapi hampa.
Sebuah koleksi dikenang bukan karena potongannya, tetapi karena ia memiliki sesuatu untuk dikatakan. Saat rumah mode kehilangan creative director, mereka tidak hanya kehilangan desainer, tetapi juga kehilangan suara dan ekspresi.
Namun, mungkin keheningan ini memang perlu. Karena dalam dunia yang bergerak cepat, kita butuh ruang untuk napas, untuk mencerna, dan untuk benar-benar mendengar ketika suara baru mulai bicara. Lantas ketika mereka akhirnya bicara melalui koleksi perdana mereka, barulah kita memahami, sejatinya mode tidak pernah benar-benar diam. Ia hanya sedang bersiap menciptakan sejarah baru.
BACA JUGA:
10 Profil Muda yang Tak Pernah Lelah Berkarya
Perkembangan Dunia Virtual yang Semakin Sempurnakan Sesi Berbelanja Online