Cara Meraih Kesuksesan di Era Kerja Hibrida

Pandemi telah mengubah cara kita berbisnis, lalu bagaimana kita tetap menjaga keseimbangan antara keinginan terhadap fleksibilitas dan kebutuhan kita untuk tetap produktif?



"Banyak orang tidak suka bepergian, lalu signifikannya apa?" Itulah tanggapan agresif yang dibuat secara publik oleh Jamie Dimon, CEO dari JP Morgan Chase dan seorang miliarder Wall Street, tentang saran yang mengatakan budaya kerja hibrida mungkin akan terus berlanjut.

Semua itu terjadi pada bulan Mei 2021, namun, setahun kemudian, Jamie mengubah pikirannya, dan mengakui dalam surat pemegang saham tahunannya bahwa setidaknya kurang lebih 40 person karyawan bank terbesar Amerika akan bekerja dari berbagai lokasi, dan 10 persen akan bekerja sepenuhnya dari rumah. Jamie adalah salah satu dari sekelompok pemimpin yang baru-baru ini dipaksa untuk mengingkari sikap kakunya tentang bekerja dari jarak jauh.

Selain itu, Tim Cook dari Apple, baru-baru ini mengakui bahwa desakannya untuk kembali ke kantor pasca-pandemi telah merupakan keputusan yang kurang tepat, apalagi setelah ia menghadapi penolakan karyawan dan banyak pekerja dengan jabatan tinggi yang mengundurkan diri. Meski demikian, banyak yang masih teguh dengan keputusan mereka untuk kembali ke rutinitas sebelumnya, di antaranya adalah David Solomon dari Goldman Sachs, dan Elon Musk, yang pada bulan Juni kemarin masuk berita karena ia menuntut para staf Tesla untuk menghabiskan minimal 40 jam di kantor di sebuah email yang tersebar luas, "Jika Anda tidak memenuhi, kami akan menganggap Anda telah mengundurkan diri."

Tetapi, ada juga sebagian besar CEO yang lebih progresif seperti Jane Fraser dari Citigroup yang membuat keputusan untuk mempertahankan model hibrida pada awal musim gugur 2021.

Sebuah keputusan yang mencerminkan tekadnya untuk mengingkar 'budaya anakronisme' di bidang finansial. Perlu diketahui juga bahwa Warren Buffet baru-baru ini membeli saham sebesar $3 miliar di Citigroup, sepertinya untuk menunjukkan kepercayaannya terhadap bank satu-satunya di Wall Street yang dipimpin oleh seorang wanita.

Bekerja dengan jadwal hibrida tampaknya akan terus menjadi sebuah keputusan yang relevan, tetapi bagaimana hal tersebut akan berkembang dengan cara inovatif namun tetap inklusif?

Bagi Dr. Grace Lordan, seorang profesor asosiasi di London School of Economics (LSE) yang risetnya fokus pada masa depannya pekerjaan, kuncinya adalah untuk "memberi orang sebanyak mungkin otonomi atas tugas mereka sendiri, dan kemudian buatlah mereka berkumpul sebagai satu tim saat waktu-waktu penting untuk membangun koneksi sosial, dan juga membimbing tugas-tugas yang membutuhkan lebih banyak pemikiran".

Menurut Grace tentang rencana kerja empat hari seminggu yang belakangan ini sedang diuji-coba di Inggris, adalah proposal tersebut sudah ketinggalan zaman karena mereka mengandalkan asumsi dimana ada korelasi langsung antara produktivitas dan waktu yang dihabiskan untuk bekerja. "Kecuali pekerjaan Anda berada di jalur perakitan, jumlah waktu yang dihabiskan untuk bekerja belum terbukti mempunyai korelasi langsung dengan apa yang dihasilkan," Grace menjelaskan.

"Para pemimpin harus melepaskan keinginan mereka untuk mengetahui apa yang dilakukan tim mereka pada setiap waktu, dan sebagai gantinya, fokus saja pada apa yang mereka capai. Jika tidak, sebagai manajer, Anda mengecewakan orang-orang yang bekerja untuk Anda."

Profesor dari Harvard Business School, Prithwiraj Choudhury, seseorang yang telah mempelajari berbagai bisnis yang sedang bereksperimen dengan cara kerja yang lebih fleksibel, menyimpulkan bahwa rasio dengan kesuksesan paling tinggi adalah 25 persen bekerja tatap muka, dan 75 persen bekerja dari jarak jauh. "Untuk 25 persen itu, setiap pertemuan harus bersifat sosial," katanya. "Ini bukan tentang menghukum diri di bilik kantor. Ini tentang makan siang dan makan malam bersama tim, tentang sesi kolaborasi, dan peluang bimbingan, semua ritual yang membantu kita untuk membuat kenangan bersama."

Dalam sejumlah kasus, beberapa perusahaan dapat mengabaikan memiliki kantor, dan mendingan menyewakan area kerja bersama atau member's club pribadi di mana tim dapat berkumpul bersama saat waktu-waktu yang penting. Memang, konsep 'bekerja dari mana saja' mengasumsi bahwa lokasi fisik karyawan tidak berpengaruh pada produktivitas mereka, konsep yang telah dianut oleh beberapa bisnis seperti Airbnb, yang memungkinkan staf untuk tinggal dan bekerja di salah satu dari 170 negara untuk maksimal 90 hari per tahun di setiap lokasi, tanpa mempengaruhi gaji mereka.

Tentu saja ada pertanyaan seputar bagaimana berkolaborasi secara efektif dengan rekan kerja yang bekerja di zona waktu berbeda, tetapi Prithwiraj percaya banyak masalah ini dapat diselesaikan melalui penggunaan teknologi yang efektif. "Misalnya, mengapa tidak membuat saluran Slack untuk memecahkan masalah?" dia menyarankan. "Siapa pun dapat menggunakannya untuk mengajukan pertanyaan, dan kemudian orang yang berikutnya membuka Slack dapat merespon dengan opini mereka, sama seperti obrolan virtual, tetapi kali ini bersama dengan orang-orang yang berada di luar kantor."

Tentu saja, teknologi telah membuka peluang untuk merevolusi kerja jarak jauh, dengan kantor virtual menjadi pilihan yang utama. Menurut laporan Accenture 2022, 98 persen eksekutif percaya kemajuan teknologi sekarang lebih berpengaruh dalam menginformasikan strategi jangka panjang mereka, daripada tren ekonomi, politik, atau sosial. Sementara 42 persen mengantisipasi bahwa metaverse akan memiliki dampak transformasional pada bisnis mereka.

Platform baru seperti Virbela, lingkungan imersif yang dirancang untuk menghubungkan pekerjaan jarak jauh, dan aplikasi VR Meta Horizon Workrooms yang sekarang sedang naik daun. Seperti karyawan Nike yang sekarang dapat mengunjungi Nikeland secara online untuk mengeksplor bangunan yang terinspirasi dari kantor pusat mereka, dan juga melihat produk-produk yang ditampilkan di ruang showroom digital. Namun, tetap ada hambatan yang harus diatasi sebelum eksperimen seperti itu menjadi biasa, apalagi dengan fakta dimana wanita dibanding pria lebih rentan terhadap mabuk perjalanan di metaverse yang menghadirkan risiko diskriminasi di tempat kerja. Bagaimanapun juga, potensi interaksi online yang lebih dalam sangatlah signifikan.

Namun, dalam perlombaan untuk menjadi yang pertama dalam mengadopsi teknologi baru atau menawarkan rutinitas kerja yang lebih fleksibel, adakah risiko dimana kita melupakan apa yang sebenarnya memotivasi karyawan? Patty McCord, yang telah diberi kredit mengubah budaya korporat dalam 14 tahun masa jabatannya sebagai chief talent officer di Netflix, dengan menyingkirkan kebijakan SDM yang tidak diperlukan dan melakukan tinjauan kinerja tahunan, berpendapat bahwa untuk terus-terusan menjadi terdahulu dengan kemajuan teknologi atau terus memberi bonus yang lebih bagus lagi itu tidak ada gunanya. "Apa yang sebenarnya diinginkan orang adalah untuk dihargai atas pekerjaan yang mereka lakukan, dan menekankan bahwa mereka untuk penting, tetapi kami terus-menerus menumpuk barang di atas barang, dan bersaing untuk mendapatkan tunjangan," katanya.

"Pesan terbesar saya adalah, mengapa kita tidak membiarkan orang untuk melakukan pekerjaan mereka masing-masing?"

Baca juga:
Apa Mungkin Karier Impian Anda Berubah Menjadi Suatu Mimpi Buruk?

Ini Cara Mengubah Pekerjaan Sampingan Menjadi Pekerjaan Penuh Waktu

(Penulis: Frances Hedges; Artikel ini disadur dari Bazaar UK; Alih bahasa: Aimee Mihardja; Foto: Courtesy of BAZAAR UK)