“Oh Tuhan, tolong jangan biarkan aku terjebak dalam kesalahpahaman," nyanyi Nina Simone, dalam lagu yang terkenal itu. Suaranya bergetar karena putus asa. Ia hanyalah seorang jiwa yang memiliki niat baik. Keindahan lagu ini terletak pada keakuratan. Karena mungkin tidak ada yang membuat lebih frustasi daripada kesenjangan antara apa yang kita maksud, dan apa yang orang lain pikirkan tentang maksud kita, antara siapa diri kita, dan siapa yang orang lain anggap sebagai diri kita. Jika orang lain percaya bahwa kita telah melakukan sesuatu yang tidak kita lakukan, atau tidak melakukan sesuatu yang sebenarnya kita lakukan... betapa menyedihkannya hal itu.
BACA JUGA: Kekhawatiran Pangeran Harry Akan Dampak Media Sosial Pada Archie dan Lilibet
Kemarahan yang dapat dirasakan dalam defisit pemahaman ini adalah titik masuk yang menarik untuk kemarahan Pangeran Harry. Sebagian besar dari apa yang telah kita lihat adalah "badai" dari Inggris yang menyodok dan menertawakan memoarnya. Tetapi di balik itu semua, saya melihat keinginan yang sangat masuk akal bagi seorang pria yang dibesarkan di tengah pendapat orang lain tentang hidupnya, untuk melepaskan diri dan berbicara jujur. Jika "kebenaran" telah menjadi kata yang terlalu sarat dengan 'terapi bicara', maka mari kita gunakan kata lain. Buku ini adalah panggilan Harry: Ya Tuhan, tolong jangan biarkan saya terjebak dalam salah paham.
“Keinginan untuk dimengerti adalah kebutuhan dasar manusia.”
Keinginan untuk dimengerti, menurut psikolog dan konselor Relate, Josh Smith, merupakan kebutuhan mendasar manusia. "Kita adalah makhluk yang pro-sosial," jelasnya. "Penelitian telah lama menunjukkan bahwa dimengerti oleh orang lain, mulai dari pengasuh seperti orang tua hingga pasangan, dan teman, adalah cara kita berkembang. Ini juga merupakan cara kita memaknai berbagai hal di dunia, tidak hanya di dalam kepala kita sendiri, tetapi melalui komunikasi dengan orang lain. Karena kita dibangun secara sosial."
Hal ini dapat menjadi masalah, dan merusak, ketika pemahaman kita tentang diri kita terpecah-pecah oleh apa yang disebut Josh sebagai "wacana sosial yang mengkhawatirkan". Yang ia maksud adalah kebiasaan masyarakat berbentuk rasisme hingga sexism. Jika masyarakat mencerminkan siapa kita, tetapi pada dasarnya memberikan perspektif yang salah karena filter yang merusak, dapat menyebabkan masalah psikologis yang sangat besar. "Hal-hal buruk dapat muncul karena tidak dimengerti, dari depresi dan kecemasan hingga masalah kepercayaan," kata Josh. "Hal ini menjadi sangat berisiko untuk menjangkau orang lain, karena ekspektasi kita adalah mereka tidak akan dimengerti. Jadi, Anda akan menutup diri dan kehilangan kepercayaan pada orang lain."
Josh juga menjelaskan bahwa salah paham dunia terhadap Anda dapat menyebabkan Anda “terbelah menjadi dua”. "Kita harus berpura-pura menjadi versi yang berbeda dari diri sendiri, dan muncullah diri kita yang 'sejati' dan diri kita yang 'palsu'," katanya, menambahkan bahwa membenarkan keaslian diri yang sebenarnya merupakan medan perang yang berbeda. "Dalam situasi tersebut, Anda mungkin mendambakan untuk dimengertisebagai diri Anda yang sebenarnya, dan akan mencari komunitas yang menerima sekaligus memahami Anda, serta menginginkan cara untuk membuat diri dan 'kebenaran' Anda terlihat."
"Kebenaran adalah sebuah seni," ucap psikolog Natasha Tiwari. "Penting bagi kita untuk berdiri teguh dalam emosi dan pikiran kita, dan berbagi apa yang ada di hati kita dengan orang lain. Mengatakan kebenaran juga sangat penting untuk mengomunikasikan apa yang kita butuhkan kepada orang-orang di sekitar kita; jika kita tidak jujur, kita berisiko menjadi tidak autentik, yang tidak bermanfaat bagi siapa pun." Namun, Natasha menyadari bahwa mengekspresikan kebutuhan manusia yang vital ini telah berubah di era media sosial. Di mana banyak sekali 'kebenaran' yang mengancam untuk menenggelamkan satu sama lain dalam hiruk-pikuk berbagai suara online.
"Ketika kita tidak jujur, kita berisiko menjadi tidak autentik, yang tidak bermanfaat bagi siapa pun."
"Saya pikir hal ini telah membuka tren baru di mana orang semakin sering 'berbagi kebenaran' tanpa filter, dan tanpa memikirkan siapa yang mereka sakiti dengan kata-kata mereka," katanya. "Berbagi kebenaran paling baik dilakukan ketika pembicara mempertimbangkan niat mereka. Dengan demikian, lebih mengetahui cara terbaik untuk menyampaikan apa yang ada di pikiran mereka. Dengan cara ini, pembicara lebih mungkin untuk berbagi dengan penuh kasih karunia, dan juga menemukan hubungan yang mereka harapkan."
Sehubungan dengan hal ini, ia menawarkan sarannya bagi siapa saja yang ingin menceritakan versi mereka tentang kejadian, tanpa harus mengeluarkan biaya jutaan Poundsterling untuk sebuah buku. "Jika Anda tidak yakin apakah Anda berada di tempat yang tepat untuk membagikan kebenaran Anda dengan anggun, dan untuk mendapatkan hasil yang Anda inginkan. Pertama-tama bagi pendapat Anda dengan seseorang yang Anda percayai, yang memiliki niat baik. Tetapi juga cukup tak terlibat dari skenario Anda. Sehingga mereka tidak akan memiliki insentif untuk mendorong Anda untuk berperilaku dengan cara yang mungkin tidak mendukung hasil terbaik Anda," katanya. "Bahkan mungkin dengan memiliki satu ruang yang aman untuk berbagi kebenaran hati dan pikiran, Anda dapat menemukan kedamaian dan hubungan yang Anda idamkan."
'Kebenaran' versi Harry telah menjadi kontroversi. Karena ia tidak menjelaskan dirinya sendiri dengan jelas. Kebenarannya telah mengorbankan orang lain dan, dengan demikian, ia mungkin telah merampas kebenaran orang tersebut, mungkin telah salah memahami mereka. Begitu kita mulai menyusuri jalan ini, semuanya menjadi tersimpul. Karena kebenaran telah menjadi sesuatu yang “licin” di dunia modern ini. Pasca-kebenaran, kebenaran saya, kebenaran Anda, kebenaran siapa ini sebenarnya? Kita bisa semakin terbebani dengan renungan filosofis begitu kita menempatkan identitas diri dalam paradigma ini. Seberapa besar rasa diri ini ditentukan oleh kita, seberapa besar oleh orang lain? Lagipula, is Harry our Harry or his? Apakah William adalah William versinya sendiri, 'Willy-the-breaker-of-necklaces', atau gagasan kita tentang siapa ia? Anda bisa melihat di mana “sakit kepala” itu dimulai...
"Kita, sebagai manusia, memiliki kecenderungan alami untuk mendefinisikan diri kita dalam konteks hubungan kita dengan orang lain," jelas Josh. Dalam membuat diri kita dimengerti, hal ini dapat menjadi upaya untuk mengukir identitas kita sendiri. "Sangat menggiurkan memang untuk memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang kita, dan tidak banyak waktu untuk memikirkan diri kita sendiri. Dibutuhkan orang yang sangat secure untuk mengatakan, 'Saya adalah diri saya sendiri, saya tidak peduli apa yang Anda pikirkan'. Itu tidak selalu menjadi hal alami terutama untuk kita sebagai manusia."
Hal ini akan semakin besar ketika seseorang menjadi tenar. Kepemilikan yang salah tempat atas orang-orang ternama, terutama mereka yang dikenal masyarakat sebagai bangsawan, berarti bahwa hubungan parasosial ini menafsirkan 'kebenaran' sendiri tentang siapa orang ini. Hubungan parasosial merupakan hubungan khayalan yang dialami oleh fans yang mengidolakan sosok selebriti dan terjadi secara satu arah. Banyak yang merasa Harry telah mengkhianati konsepsi kita tentang dirinya, dengan mengutarakan hal yang bertolak belakang, yang kita anggap sebagai "benteng pertahanan." Masyarakat Inggris mungkin tidak akan pernah memaafkannya untuk itu. Namun, saya kembali pada permohonan lirik Nina Simone. Apa yang telah ia lakukan, sebenarnya, kecuali mengekspresikan kebutuhan mendasar manusia untuk dipahami? Ia hanya menghilangkan identitasnya dari genggaman kita, dan mengambilnya kembali untuk dirinya sendiri.
BACA JUGA:
Pangeran Harry dan Meghan Markle Telah Kembali ke Inggris Bersama Kedua Anak Mereka
Apakah Terekspos Berbagai Jenis Trauma di Sosial Media Membuat Anda Lebih Berempati atau Justru Tidak Peka?
(Penulis: Marie-Claire Charpet; Artikel ini disadur dari Bazaar UK; Alih bahasa: Celine Setiawan; Foto: Courtesy of BAZAAR UK)