Dari masa ke masa, berbelanja produk fashion langsung di butik selalu dianggap sebagai sebuah kebanggaan. Namun dahulu, membeli fashion secondhand kerap menjadi hal yang disembunyikan karena dianggap tidak lazim. Banyak pertanyaan muncul, mulai dari soal kebersihan, pandangan orang lain, hingga rasa canggung jika mengetahui siapa pemilik sebelumnya. Faktor gengsi pun tak jarang ikut berperan. Kini, persepsi tersebut berubah drastis. Thrifting dan membeli barang preloved telah menjelma menjadi bagian dari budaya populer yang digemari berbagai kalangan. Aktivitas ini dilakukan lintas usia dan latar belakang, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dari Jepang hingga Eropa. Tak sedikit sosialita dan figur publik yang secara terbuka menjual barang bekas mereka, baik melalui media sosial, kolaborasi dengan platform marketplace, bazar preloved, maupun toko khusus. Bahkan di lingkup pertemanan, membeli barang bekas satu sama lain tak lagi menjadi hal yang memalukan. Bagi banyak orang, thrifting kini menjadi aktivitas yang menyenangkan karena memberi kesempatan kedua pada produk fashion yang tak lagi terpakai untuk menemukan pemilik baru. Lebih dari sekadar tren, thrifting juga dipandang sebagai praktik yang lebih sadar lingkungan. Dengan memilih produk preloved, masyarakat turut mendukung konsep circular fashion yang menekankan prinsip reduce, reuse, dan recycle.
BACA JUGA: Intip 15 Thrift dan Vintage Store Lokal
Ardine Nakety merupakan pendiri Belle&Kate Room, sebuah platform yang berfokus pada layanan konsinyasi dan penjualan produk luxury preloved dari berbagai rumah mode dunia. Berbasis di kawasan Sudirman, Jakarta, serta Singapura, Belle&Kate Room hadir melalui media sosial dan situs e-commerce sebagai bagian dari ekosistem circular fashion. Ardine mengenang masa awal perjalanannya sepuluh tahun lalu, ketika stigma terhadap barang secondhand masih begitu kuat. “Saat saya memulai Belle&Kate Room sepuluh tahun lalu, ada stigma bahwa barang secondhand itu ‘murahan’ atau ‘barang rusak’. Risikonya besar saat itu, karena pasarnya yang niche sehingga ada potensi besar barang-barang yang kami jual menjadi dead stock,” ujarnya.
Kini, pandangan tersebut perlahan berubah. Ardine melihat adanya pergeseran cara masyarakat memaknai fashion. “Mereka sadar bahwa menyukai fashion tak harus selalu membeli barang yang baru, melainkan mengandung arti. Terutama di Jakarta, banyak orang Jakarta saat ini lebih mengedepankan value, keunikan, dan cerita dari barang yang mereka beli. Mereka senang menemukan barang yang spesial dan jarang dimiliki banyak orang,” tambahnya.
Gen Z juga memegang peran penting dalam mendorong popularitas thrifting, terutama melalui media sosial. Berdasarkan data ThredUp, sebanyak 83 persen Gen Z di Amerika Serikat gemar membeli fashion secondhand, menjadikan mereka garda terdepan dalam pertumbuhan thrifting secara global. Minat ini didorong oleh kecenderungan mereka untuk bereksperimen dalam berbusana, keengganan tampil seragam, serta ketertarikan pada barang yang memiliki cerita dan harga yang lebih terjangkau. Kecintaan Gen Z pada nostalgia era terdahulu, pop culture, gaya Y2K, dan fashion vintage semakin menguatkan tren ini. Hal tersebut diamini oleh Amirah Kalyana, atau Rara, seorang Gen Z pecinta mode yang kerap membagikan gaya personalnya melalui tagar Lemari Rara di media sosial. Saat melanjutkan studi di Belanda, thrifting menjadi salah satu aktivitas favoritnya. Ia menuturkan bahwa paparan konten kreator di media sosial membuat Gen Z perlahan mengubah stigma tentang pakaian bekas dan melihat thrifting sebagai kegiatan yang menyenangkan. Rara juga menambahkan bahwa satu tren yang viral di TikTok mampu memicu perburuan massal terhadap item tertentu, seperti tas bahu kecil bergaya vintage ala Prada atau Fendi saat tren Y2K merebak, hingga kaos jersey olahraga vintage yang kembali populer berkat tren Blokette.
EKSPRESI DIRI
“In this economy,” menjadi ungkapan yang kerap diucapkan Gen Z di media sosial. Ketidakstabilan kondisi ekonomi global, ditambah realitas pendapatan Gen Z yang berbeda dibanding generasi sebelumnya, membuat mereka dituntut untuk lebih adaptif dan kreatif dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk saat berbelanja. Kreativitas ini mendorong mereka untuk tidak lagi memuja tren semata. Bahkan, Gen Z kini mulai memasuki fase menolak overconsumption, memilih bereksperimen dengan apa yang mereka temukan dan mengenakan apa pun yang dirasa sesuai dengan diri mereka.
"Kegiatan thrifting menjadi aktivitas menyenangkan untuk banyak orang. Karena barang fashion yang tak terpakai lagi, jadi diberi kesempatan kedua untuk menjadi someone else's treasure"
Kreativitas tersebut juga dimaknai sebagai kebebasan mengekspresikan identitas gaya personal. Alih-alih membeli fast fashion yang diproduksi massal dan berisiko dikenakan banyak orang, Gen Z lebih tertarik berinvestasi pada item vintage yang langka dan memiliki cerita. Pertimbangan harga tetap ada, namun kualitas dan daya tahan menjadi fokus utama. Meski banyak barang thrifting yang dibanderol murah, tidak sedikit pula yang justru memiliki harga lebih tinggi dibanding produk fast fashion, dan Gen Z bersedia membayar untuk nilai tersebut. “Menurut saya, membeli produk fashion yang langka hasil thrifting sudah bisa disebut sebagai wujud luxury modern yang baru, karena thrifting tak lagi semurah itu. Mengoleksi pakaian arsip, tas vintage, perhiasan vintage sudah seperti mengoleksi karya seni bagi Gen Z,” ujar Raishya Firhand dari Solènee World. Pandangan ini diperkuat oleh Rara yang menambahkan, “Bukan hanya mendukung self expression dalam bergaya, kreativitas yang dibutuhkan saat thrifting yang turut mendorong pembelinya untuk rewearing, repairing, restyling, dan upcycling. Sehingga secara tak langsung, mendukung mode berkelanjutan juga menjadi bonus di praktik ini.”
POLA PRELOVED MARKET DI INDONESIA
Di Indonesia, kehadiran toko barang mewah preloved sudah dimulai sejak awal tahun 2000-an. Pada masa awal, penjualan produk preloved umumnya berlangsung melalui komunitas-komunitas terbatas, sebelum kemudian berkembang pesat seiring munculnya media sosial seperti Facebook yang memperluas jangkauan transaksi.
Pertumbuhan ekonomi dan pesatnya penggunaan media sosial pada periode tersebut turut mendorong meningkatnya daya beli serta minat masyarakat terhadap tas branded. Salah satu pionir butik preloved fashion yang dikenal luas adalah Gallerie Exotique milik Nina Kaginda, yang berdiri sejak 2008 dan menjadi rujukan selebritas serta sosialita dalam berburu tas desainer preloved. Beberapa tahun berselang, meningkatnya minat pasar melahirkan “Irresistible Bazaar” yang didirikan oleh Marisa Tumbuan pada 2011. Popularitas preloved luxury kemudian mencapai puncaknya pada 2015 dengan hadirnya marketplace khusus seperti Huntstreet, yang didirikan oleh Sabrina Joseph dan Janice Winata, serta Tinkerlust oleh Samira Shihab dan Aliya Amitra. Kedua platform ini menjadi ruang bagi para pencinta mode untuk menjual kembali koleksi mereka ketika lemari mulai penuh. Tingginya minat masyarakat, ditambah kemudahan sistem titip jual, semakin membuka kesadaran akan nilai jual barang fashion yang dimiliki. Fenomena ini turut mengukuhkan sejumlah tas dari brand desainer tertentu sebagai aset bernilai tinggi yang kerap dipandang sebagai bentuk investasi oleh banyak perempuan.
Pada tahun 2020, pandemi melanda dunia dan memaksa masyarakat untuk membatasi aktivitas serta berdiam di rumah. Saat itu, banyak yang memprediksi industri luxury fashion akan mengalami stagnasi hingga kondisi kembali normal. Namun, di luar dugaan, sektor preloved fashion justru menunjukkan pertumbuhan signifikan. Semakin banyak toko luxury preloved bermunculan, diikuti oleh individu yang mulai membuka akun penjualan preloved pribadi di Instagram. Kini, akun-akun preloved luxury bahkan berkembang dengan berbagai sub-genre yang dikurasi untuk mengakomodasi ragam gaya. Sayangnya, pesatnya pertumbuhan ini juga dimanfaatkan oleh oknum tertentu yang menjual barang palsu dengan sumber yang meragukan. “Saya sering menemukan akun thrift di Instagram yang menjual barang palsu. Banyak dari mereka membeli barang secara bulk dari Korea dan Jepang. Tingginya permintaan, lantas membuat beberapa dari mereka ‘mengambil’ produk jualan secara bulk dari China, Vietnam, dan Thailand yang terkadang keasliannya tak menentu. Lagi-lagi, kita sebagai pembeli memang harus bisa pintar dalam memilih tempat berbelanja preloved fashion yang jelas sumber dan keasliannya,” ungkap Dimas Rangga, seorang Programmatic Specialist yang gemar thrifting di Inggris dan tetap melanjutkan kebiasaan tersebut dengan menelusuri berbagai akun thrifting di Indonesia setelah kembali ke tanah air.
“Ini yang selalu saya tekankan ke siapa pun, pastikan membeli dari toko yang kredibel, ini non-negotiable. Selalu telusuri track record penjual, minta foto-foto yang detail, dan bukti keaslian yang jelas,” ujar Ardine Nakety. Ia menegaskan bahwa setiap produk di Belle&Kate Room selalu melewati proses autentikasi yang panjang, terutama di tengah maraknya peredaran barang vintage saat ini.
Lantas, bagaimana kaitan antara Gen Z, thrifting, dan mode berkelanjutan? Bagi sebagian pelaku, sustainability kerap hadir sebagai nilai tambah. Di tengah derasnya arus fast fashion, Gen Z mulai beralih ke thrifting dan memilih barang yang unik serta memiliki sejarah, alih-alih produk yang hanya mengikuti tren sesaat dan diproduksi dengan praktik kerja yang tidak etis. Secara tidak langsung, thrifting membawa perubahan pola konsumsi. Pakaian lama tidak lagi langsung dibuang, generasi muda menjadi lebih kreatif dalam mengolah kembali busana mereka, dan ketergantungan pada retailer fast fashion pun perlahan berkurang.
BACA JUGA:
Ini Thrift Store Ikonis yang Perlu Dikunjungi Saat Liburan
Gaya Berkelas Lewat Belanja Secondhand