Organisasi seni kontemporer ruangrupa, genap berusia 25 tahun pada Oktober 2025 lalu. Pencapaian ini ditandai lewat pameran seni ruru25: Poros Lumbung, yang menjadi bagian dari pesta musik tahunan, Synchronize Festival, pada 3-5 Oktober 2025 di Gambir Expo Kemayoran.
“Perjalanan 25 tahun bagi kami bukan sekadar umur panjang, tapi tentang bagaimana kami terus belajar hidup bersama. ruangrupa lahir dari semangat membuka ruang percakapan baru, ruang kebersamaan dan rasa ingin tahu terhadap bagaimana seni bisa menjadi cara untuk memahami, mengubah, dan merawat kehidupan sehari-hari. Selama dua setengah dekade ini, kami lebih banyak belajar dari proses, dari bekerja, berdebat, gagal, dan tumbuh bersama banyak orang serta komunitas di berbagai tempat,” tutur Ade Darmawan, salah satu pendiri dan tokoh kunci ruangrupa kepadaBazaar.
Sejarah berdirinya ruangrupa
Di balik perayaan seperempat abad ruangrupa, tersimpan esensi sejarah perjalanan panjang yang menjadikannya sebagai salah satu penghias wajah seni Indonesia. Menarik ke titik ruangrupa bermula, organisasi nirlaba ini didirikan pada tahun 2000 oleh sekelompok seniman muda di Jakarta dengan tujuan membuka ruang berekspresi secara bebas. Selain Ade, lima orang pendiri lainnya adalah Hafiz, Ronny Agustinus, Oky Arfie Hutabarat, Lilia Nursita, dan Rithmi.
Inisiasi mereka dilatarbelakangi oleh masa-masa pasca krisis moneter 1998. Sejarah mencatat bahwa di era itu terjadi ledakan ekspresi berkesenian. Seperti yang kita ketahui, kebebasan berkesenian di masa orde baru harus bergelut di bawah pantauan pemerintah, antara digunakan sebagai propaganda atau kritis namun terancam dilarang.
Fokus seni ruangrupa adalah mendorong kemajuan gagasan seni rupa dalam konteks urban dalam lingkup luas kebudayaan. Ide-ide ini diekspresikan melalui pameran, festival, laboratorium seni rupa, lokakarya, penelitian, serta penerbitan media cetak dan daring. Seiring berjalannya waktu, ruangrupa bertumbuh menjadi sebuah kolektif seni kontemporer dan ekosistem studi bersama organisasi rekanan lain. Tujuannya pun kian berkembang, yakni sebagai ruang belajar publik dengan fondasi nilai kesetaraan, berbagi, solidaritas, pertemanan, dan kebersamaan. Ialah Indra Ameng, Farid Rakun, Daniella Praptomo, Reza Afisina, Narpati Awangga, Mirwan Andan, Julia Sarisetiati, dan Iswanto Nugroho, orang-orang bertangan dingin dengan segudang bakat dan pengalaman dari berbagai bidang yang mengelola ruangrupa bersama Ade.
Pencapaian ikonis ruangrupa
Pada tahun 2000, sebagai karya pertamanya, ruangrupa menggelar public art workshop dan debat terbuka dengan mengundang dua komunitas seni Yogyakarta, Lembaga Kerakyatan Taring Padi dan Apotik Komik.
Dua tahun berselang, ruangrupa bertolak ke Gwangju, Korea Selatan, untuk pameran P_A_U_S_E, 4 di mana mereka mendapatkan penghargaan UNESCO Prize Award. Jejaknya di kancah global terus berkembang di antaranya menuju Istanbul Biennale (2005), proyek seni Rethinking Nordic Colonialism di Faroe Island, Denmark (2006), pameran The Singapore Fiction dalam Open House Singapore Biennale (2011), SONSBEEK ‘16: TransACTION di Arnhem, Belanda (2016), pameran ruru.zip: New Edition di Tokyo (2017), dan yang terpenting adalah Documenta Fifteen yang juga dikenal sebagai lumbung one di Kassel, Jerman (2022).
Documenta merupakan pameran seni kontemporer besar skala global di Kassel, Jerman, yang diadakan setiap lima tahun sekali. Melansir situs Goethe, Documenta Fifteen adalah pameran pertama dalam sejarah Documenta yang tidak dipimpin oleh satu orang tetapi sekelompok kurator, dan untuk pertama kalinya pengarah artistiknya berasal dari Asia. Mengangkat konsep ‘lumbung,’ Documenta Fifteen di bawah arahan artistik ruangrupa menghadirkan partisipasi lebih dari 1.500 seniman di 32 lokasi pameran di Kassel. Pameran 100 hari ini berhasil mendatangkan 738.000 pengunjung di masa-masa pasca pandemi.
Di pameran ini ruangrupa juga menyoroti topik sustainability, sosial ekonomi, dan ekologi. Berdasarkan situs Documenta Fifteen, program sustainability euro yang termasuk dalam tiket penjualan terkumpul sebanyak 375.000 Euro dan didonasikan untuk reforestasi hutan Reinhardswald dan environmental enrichment di Sumatra.
Tak heran bila Documenta Fifteen memiliki kesan berarti bagi Ade di antara banyak proyek yang dilakukan ruangrupa, termasuk ruru25: Poros Lumbung. “Masing-masing pameran punya artinya sendiri, tapi Lumbung One - Documenta Fifteen tetap menjadi titik balik yang besar karena membuka cara berpikir kami tentang lumbung dalam konteks global. Namun, ruru25: Poros Lumbung terasa sangat spesial karena kami bisa membawa ide-ide itu pulang, ke konteks lokal, dan merayakannya dengan cara yang lebih terbuka,” jelas Ade.
Meneruskan jejak di ruru25: Poros Lumbung
Di antara lagu-lagu nostalgia dan gegap gempita festival musik, ruru25: Poros Lumbung hadir layaknya ruang rekam kenangan reflektif. Ruang untuk melihat kembali jejaknya, tetapi tak harus terus terpaku pada masa lalunya. Pamerannya menampilkan karya-karya penting yang pernah menjadi bagian perjalanan ruangrupa, seperti Indonesiana yang pernah dipamerkan untuk Singapore Biennale 2011, The Kuda yang dibuat untuk Asia Pacific Triennial 7 di Brisbane pada 2012-2013, serta menghadirkan kembali berbagai platform ruangrupa seperti ArtLab, OK. Video, Jakarta 32°C, rurukids, RURUradio, RURU Gallery, serta dan Rumahruru. Apa yang ditampilkan ini menjadi bukti pengukuhan eksistensinya di kancah global selama lebih dari dua dekade.
“ruru25: Poros Lumbung tidak hanya terasa seperti reuni besar, bertemu teman seperjalanan dari seluruh proses berkembangnya ruangrupa, tapi juga lalu membangun pertemanan atau jejaring baru dengan para seniman dan kolektif yang beragam dari berbagai konteks kelokalan di Indonesia. Dan tentu juga jadi perayaan yang benar-benar hidup, bukan hanya retrospektif. Di Synchronize Festival, kami bertemu dengan publik yang jauh lebih luas, bukan hanya dari dunia seni, tapi juga musik, aktivisme, dan budaya populer. Dari situ terasa bahwa “pameran” bisa jadi ruang sosial yang cair, di mana karya, suara, dan pengalaman bercampur. Kesan yang paling kuat adalah betapa kuatnya energi kolaboratif yang muncul ketika ruang tidak lagi dipisahkan antara seni dan kehidupan.
Kami belajar bahwa merawat kolaborasi berarti memberi ruang bagi percobaan-percobaan, ketidaksempurnaan dan improvisasi. Bekerja dengan banyak pihak, dari seniman, aktivis, musisi, sampai teknisi festival, menunjukkan bahwa kerja bersama bukan hanya soal kesepakatan, tapi juga bagaimana menerima ritme, bahasa, dan cara berpikir yang berbeda. Proses ini menegaskan lagi bahwa lumbung bukan konsep, tapi praktik keseharian,” jelas Ade.
Dalam implementasinya, ruru25: Poros Lumbung berkolaborasi dengan organisasi aktivis seperti WWF, Green Peace, dan KontraS. Tentu ada maksud yang ingin Ade sampaikan lewat hal ini. “Kami ingin menunjukkan bahwa seni bisa menjadi medium untuk menyambungkan gerakan sosial dan ekologis dengan cara yang lebih poetik, dan empatik. Kolaborasi dengan WWF, Greenpeace, dan KontraS bukanlah kampanye, tapi soal daya kritis, percakapan terbuka tentang keberlanjutan, keadilan, dan keberanian bersuara. Lewat pameran ini kami ingin mengatakan bahwa “lumbung” juga bisa berarti jaringan solidaritas lintas bidang—antara seniman, aktivis, dan masyarakat luas,” ungkapnya.
Lebih jauh, ada harapan yang ia usung lewat ruru:25: Poros Lumbung. Ade menyampaikan, “Kami berharap publik bisa merasakan bahwa seni bukan ruang eksklusif, melainkan cara berjejaring, saling belajar dan membangun kepercayaan. Kalau setelah acara ini ada lebih banyak inisiatif kolektif, ruang belajar bersama, atau gerakan kecil yang lahir dari pertemuan di sana, itu sudah menjadi dampak yang sangat berarti bagi kami.”
Titik ini seakan menjadi pemicu bagi ruangrupa untuk terus melahirkan karya-karya baru. Ade mengungkapkan, “Kami sedang mengembangkan program belajar bersama Gudskul Studi Kolektif edisi berikutnya, edisi yang sekarang hingga tahun depan bekerjasama dengan Master Program Sandberg Institut dan Deappel Amsterdam. Lalu menyiapkan beberapa proyek kolaboratif lintas daerah di Indonesia, memperkuat jaringan lumbung Indonesia dan di regional. Selain itu, kami ingin lebih banyak bereksperimen dengan cara-cara berbagi pengetahuan dan sumber daya, lewat model ekonomi kooperatif, arsip hidup, dan ruang bersama yang terus tumbuh.”
(Foto: Courtesy of ruangrupa, Documenta Fifteen, Instagram: Green Peace; Edited by SS)