Minggu ini, sejumlah laporan dirilis mengenai angka kelahiran di Inggris yang terus menurun. Penuh dengan analisis kebingungan mengenai alasan di balik angka kelahiran ini, perihal menandai angka terendah sejak sebelum Perang Dunia II. Isu ini menyorot terutama kepada perempuan. Apakah yang telah dan belum kita lakukan sejak era Baby Boomers? Kita telah mengkonsumsi pil kontrasepsi, bekerja, dan menurut penulis No One Left: Why the World Needs More Children, Paul Morland, menjalani “segala macam gaya hidup” alih-alih memiliki anak.
Hal yang mengejutkan sebenarnya berpusat di bagaimana hampir tidak ada pengakuan terhadap apa yang telah terjadi di dunia sejak era Baby Boomers. Keadaan upah yang stagnan, harga properti yang melonjak, serta biaya pengasuhan anak yang mencapai tingkat tak terjangkau menjadi unsur masalah. Sama seperti kita pernah menyalahkan kebiasaan generasi milenial membeli avocado toast sebagai alasan kenapa mereka tidak mampu membeli rumah, daripada melihat adanya celah besar di tingkat upah dan harga properti, tampak nya kita mencari alasan di tempat yang salah untuk penurunan angka kelahiran.
Untuk kami, jawaban mengenai masalah angka kelahiran menurun adalah karena begitu banyak orang yang merasa tidak mampu di sektor finansial. Seperti kepemilikan rumah, memiliki anak kini menjadi mimpi buruk secara ekonomi. Masalah memiliki anak tidak bisa dilihat secara terpisah. Hal ini berkaitan erat dengan semua krisis yang kita hadapi saat ini seperti biaya hidup, harga perumahan yang tidak terjangkau, dan ya, bagi sebagian orang, krisis iklim, yang membuat mereka merasa memiliki anak mungkin tidak etis.
Sebaliknya, percakapan mengenai memiliki anak sering kali dilakukan seolah-olah hal itu adalah sesuatu yang modern women (dan hanya perempuan) sudah bosan dilakukan. Seolah-olah prokreasi menjadi hal yang trendy atau tidak sejalan dengan gaya hidup kita yang “fabulous”, serta sepatu mahal dan kehidupan seks yang bebas. Pandangan ini tidak hanya menyederhanakan masalah hingga menyinggung, tetapi juga gagal melihat kenyataan bahwa bagi banyak perempuan milenial, ini sesederhana tidak memiliki pekerjaan yang cukup untuk menutupi biaya pengasuhan anak (biaya asuh anak di Inggris adalah kedua termahal di dunia). Faktanya, perempuan membuat penilaian yang bertanggung jawab tentang kemampuan mereka untuk merawat insan lain.
“Kami mencari siapa yang salah di mana-mana atas menurunnya angka kelahiran. Bukan di tempat seharusnya.”
Adanya ironi di retorika ini, di mana perihal menjadi contoh utama dari hambatan lain terkait keputusan memiliki anak. Persepsi kita mengenai parenting bergerak sangat lambat sehingga perempuan masih memikul hampir semua hal yang bercakup membersarkan keluarga, dan, menurut laporan ini, semua tanggung jawab atas kemilikan atau tidak memiliki anak dari awal.
Karena, tanpa pengecualian, angka kelahiran, naik atau turun pasti berkaitan dengan perempuan. Perempuan yang memiliki anak pada tingkat terendah sejak sebelum Perang Dunia II. Tingkat ini khususnya menurun di kalangan perempuan berusia dua puluhan. Ada banyak hal untuk dibahas di sini, tetapi yang langsung menarik perhatian kami adalah ketidak sadaran kemampuan perempuan untuk memiliki anak secara sendiri. Jika saja perempuan-perempuan yang telah menghabiskan berjuta-juta untuk melakukan prosedur pembekuan sel telur tau bahwa ada kesempatan untuk bisa prokreasi tanpa bantuan eksternal. Jika saja mereka tau mengenai kapasitas ajaib ini, kerumitan dan dilemma bisa terselesaikan.
Simbiosis yang tak diragunakan antara seorang ibu dan anak di mata masyarakat, tidak dibantu oleh retorika publik ini, bahkan melelahkan dan merusak. Gagasan bahwa perempuan yang memiliki anak, dan bukan pasangan, atau setidaknya kombinasi kedua materi genetik itu bukan hanya sebuah hal malas, tetapi juga keadaan yang nyaman. Tidak hanya mengaburkan fakta sains yang fundamental, tetapi perihal ini memberi dampak sosial yang luas. Dalam terus memusatkan perempuan dalam diskusi mengenai penurunan angka kelahiran ini, kita (secara konyol) dilukis sebagai pihak yang salah dalam krisis yang bisa dibilang menjadi ‘masalah perempuan’.
Kita tahu apa yang terjadi ketika kita melakukan pengabaian isu semacam ini. Cukup lihat kesenjangan kesehatan berbasis gender, di mana ada kekurangan di pendanaan dan penelitian untuk hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan perempuan. Data yang mengerikan terlihat mengenai bagaimana rasa sakit perempuan terutama perempuan kulit berwarna yang gagal untuk dipahami, dihormati, dan ditangani. Semua ini menunjukkan bahwa persepsi seperti itu adalah bentuk penurunan nilai dalam arti yang sebenarnya.
Kami sering bertanya-tanya, jika laki-laki bisa melahirkan, seberapa cepat kita akan melihat revolusi di perawatan pra dan pasca kelahiran. Jika kita benar-benar mengakui bahwa laki-laki juga orang tua, kami penasaran seberapa cepat kita akan melihat revolusi dalam biaya pengasuhan anak? Seberapa tinggi isu-isu ini yang merupakan penyebab nyata stagnansi angka kelahiran, akan naik di agenda politik?
“Kami menggarisbawahi ketidakseimbangan tersebut dengan tidak pernah menyebut laki-laki ketika kita berbicara tentang anak-anak.”
Tentu saja, pengabaian isu ini terus berlangsung setelah proses melahirkan, menyebabkan efek domino yang menghancurkan. Hal ini terlihat sangat jelas ketika berita muncul tahun lalu bahwa pemerintah akan menawarkan sebagian layanan pengasuhan anak gratis untuk anak di bawah usia tiga tahun. Kebijakan ini disambut sebagai kemenangan bagi perempuan dan ibu bekerja. Ya, langkah tersebut mengakui bahwa perempuan secara tidak proporsional memikul tanggung jawab pengasuhan. Tetapi, mereka tidak pernah benar-benar mempertimbangkan bahwa dengan menghadirkan kebijakan ini sebagai keuntungan bagi perempuan semata, kita justru memperkuat realitas tersebut. Sebuah kenyataan yang sebenarnya ingin kita ubah.
Mengapa kita berpikir bahwa perempuan memikul tanggung jawab anak ini secara berlebihan? Salah satu alasan utamanya adalah karena kita keras kepala menolak membayangkan dunia di mana mereka tidak melakukannya. Kita mempertegas ketidakseimbangan ini dengan tidak pernah membawa laki-laki saat berbicara tentang anak-anak.
Lalu, di mana posisi laki-laki dalam percakapan ini?
Dari masa konsepsi hingga pendidikan anak, laki-laki nyaris tidak disebutkan dalam kebingungan yang tak berujung mengenai bagaimana masalah angka kelahiran yang menurun, krisis pengasuhan anak, kesenjangan gaji gender, atau minimnya perempuan di posisi manajemen senior. Bukan berarti mereka tidak ingin terlibat, tetapi banyak yang sebenarnya ingin. Namun masyarakat, dengan terus-menerus mengutakan pengaitan perempuan dengan anak-anaknya, hingga gagal mengakui bahwa ini juga adalah percakapan yang seharusnya melibatkan laki-laki.
BACA JUGA:
Capai Harmonisasi Hidup dan Pekerjaan Melalui cara-Cara yang Tepat dan Menenangkan Jiwa
Let's do The Green Living: Wujudkan Gaya Hidup yang Lebih Sehat, Bahagia, dan Berkelanjutan
(Penulis: Marie-Claire Chappet; Artikel ini disadur dari: BAZAAR UK; Alih bahasa: Hejira Rachmanto; Foto: Courtesy of BAZAAR UK)