Saya tergolong beruntung karena jarang mengalami kesulitan tidur saat malam tiba. Bahkan sebelum rasa kantuk benar-benar datang, ketika tubuh sudah direbahkan di jam tidur, perlahan rasa ingin terlelap akan menyelimuti raga dan membawa saya ke alam istirahat. Sebuah kemewahan kecil dalam hidup, memang. Banyak teman dekat yang sering mengaku iri karena bagi sebagian orang, tidur nyenyak kini terasa seperti kemewahan yang langka. Pikiran yang terus berputar memenuhi kepala hingga menghalangi jalan menuju lelap, sudah menjadi drama penutup hari yang begitu umum. Akibatnya, kualitas tidur menurun dan semangat di hari berikutnya pun ikut meredup.
BACA JUGA:Tidur Nyenyak dan Sehat: Kuncinya Ada di Posisi Tempat Tidur yang Baik
Pikiran yang membuat kita sulit tidur biasanya tidak hilang begitu saja, mereka menunggu kembali saat pagi datang dan siap menuntut perhatian. Akhirnya, bukan hanya tidur yang terganggu, tetapi masalah pun tak kunjung selesai. Pikiran-pikiran itu seolah tak pernah berhenti, tumbuh satu demi satu di “taman pikiran” yang begitu subur. Begitu satu selesai dipetik, yang lain muncul, bahkan kadang membusuk dan meninggalkan aroma tak sedap. Tanpa disadari, taman pikiran itu berubah menjadi tumpukan sampah dari hal-hal yang tak sempat kita bersihkan.
Menutup sesi podcast Dvet With bersama Abu Marlo, pendiri Dialogue Positif, komunitas tempat ia berbagi pandangan hidup. Saya sempat menanyakan satu hal sederhana tentang bagaimana ia menutup harinya sebelum tidur. Abu menjawab bahwa ia selalu berusaha mengakhiri hari tanpa membawa benci, dendam, atau amarah. Mempraktikkan teknik kuno Ho’oponopono, sebuah metode untuk melepaskan energi negatif agar tidur malam tetap berkualitas.
"There is NO LOVE without FORGIVENESS, and there is NO FORGIVENESS without LOVE.”
— Bryant H. Mcgill
Hal itu membuat saya berpikir, mungkinkah kunci tidur nyenyak bukan sekadar rutinitas fisik jelang tidur seperti mandi air hangat, meredupkan lampu, menjauh dari blue light, atau menyiapkan kasur nyaman? Bisa jadi, semua itu hanyalah pelengkap. Mungkin justru rasa benci, dendam, dan amarah yang kita pelihara setiap hari menjadi pupuk bagi pikiran-pikiran yang tumbuh liar yang akhirnya menuntut perhatian tepat ketika kita seharusnya terlelap menikmati keindahan taman pikiran kita di malam hari.
Teknik Ho’oponopono yang awalnya digunakan untuk menyelesaikan konflik dan memulihkan keharmonisan dalam keluarga kini telah berkembang menjadi praktik pribadi bagi banyak orang. Meskipun dulunya dilakukan di bawah bimbingan pemimpin spiritual, kesederhanaan metode ini membuatnya mudah diterapkan secara mandiri sebagai jalan menuju keseimbangan, harmoni, dan kedamaian batin.
Saya pertama kali dikenalkan pada teknik ini beberapa tahun lalu saat menjalani sesi hipnoterapi bersama seorang psikoterapis. Saat itu, saya tengah kehilangan semangat dan sulit tidur yang penyebabnya klasik, yaitu putus cinta. Setiap malam, pikiran saya terus berputar dalam lingkaran rasa bersalah dan pertanyaan tak berujung seperti “Mengapa ini terjadi? Bisakah aku mencegahnya jika bertindak berbeda? Seandainya begini, mungkinkah hasilnya begitu? Dan jika begitu, akankah rasanya tetap seperti ini?” Pikiran-pikiran itu berputar seperti bianglala berkarat yang tak mau berhenti.
Sebagai pekerjaan rumah, psikoterapis saya menyarankan: sebelum tidur, ambillah waktu sejenak untuk berdiam diri. Pejamkan mata, tenangkan napas, dan ucapkan empat mantra sederhana dari teknik penyembuhan kuno asal Hawaii ini merupakan sebuah momen untuk berserah dan merefleksikan diri dengan penuh kesadaran.
Membersihkan jiwa dimulai dari kemampuan untuk memaafkan dan menerima diri sendiri dengan menyembuhkan luka batin yang tertinggal sekaligus menumbuhkan kembali cinta kasih terhadap diri. Lakukan dengan penuh kesadaran dan ketulusan melalui empat mantra sederhana dari Ho’oponopono.
Mantra pertama, “I’m sorry”, adalah permintaan maaf, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Tidak semua yang kita ucapkan atau lakukan berakhir baik, dan itu wajar. Ucapkan maaf pada diri sendiri ketika ada hal yang salah dibuat atau disesali. Saat kalimat ini hadir di dalam hati, kenangan lama biasanya ikut muncul di pikiran. Saya memilih untuk tidak melawan, melainkan mengikuti alurnya dengan tenang. Rasanya sungguh melegakan ketika kita mampu memaafkan diri sendiri dengan menerima bahwa mungkin hari ini belum berjalan seperti yang diharapkan, dan itu tidak apa-apa.
Benarkah MEMAAFKAN dan MELEPASKAN dapat menjadi KUNCI JAMINAN tidur malam yang SEMPURNA?
Kekuatan kata “maaf” juga berlaku ketika kita mengarahkannya pada orang lain atau situasi yang tak menyenangkan. Cukup hadirkan sosok atau peristiwa itu dalam bayangan, lalu ucapkan maaf dengan tulus. Pelepasan emosional akan terjadi ketika kita menyadari bahwa segala yang kita alami dan rasakan sepenuhnya adalah tanggung jawab kita sendiri. Tidak ada satu pun yang bisa mendikte pikiran dan perasaan kita, bukan?
“Please forgive me.” Lepaskan beban kesalahan atas masa lalu agar masa depan menjadi hari baru tanpa tumpukan penyesalan. Hanya jiwa yang kuat yang mampu dan mau meminta pengampunan. Saat kata-kata ini diucapkan, tanpa sadar kita mulai merasakan kekuatan diri yang perlahan tumbuh kembali.
“Thank you.” Ungkapkan rasa terima kasih atas segala hal yang terjadi dalam hidup, kepada diri sendiri dan orang-orang yang hadir mengisi hari-hari Anda. Segala sesuatu yang datang adalah anugerah. Ucapkan terima kasih sebagai bentuk apresiasi atas nikmat yang baru saja dirasakan. Hargai apa pun yang berarti, tak hanya yang manis karena yang pahit pun layak disyukuri. Sebab setiap peristiwa memberi rasa berbeda dalam keseharian kita. Bukankah hidup akan membosankan jika hanya diisi dengan rasa yang sama setiap hari? Terima kasih untuk semua yang telah berlalu.
Mantra terakhir adalah “I love you.” Rasakan dan hayati cinta yang Anda berikan untuk diri sendiri, orang lain, maupun situasi yang sedang dihadapi. Ini adalah bentuk penerimaan penuh atas apa pun dan siapa pun yang hadir dalam hidup. Mencintai tanpa menuntut balasan. Bayangkan hangatnya ketika mendengar kalimat ini dari seseorang yang kita sayangi itulah juga yang dirasakan diri kita saat kita mengucapkannya pada diri sendiri. Mungkin, kehangatan penerimaan inilah yang perlahan mengikis kebutuhan akan validasi dari luar. Hanya dengan mencintai diri sendiri secara utuh, kita bisa benar-benar bertumbuh.
Saat tiba pada mantra terakhir ini, saya hampir selalu tersenyum tanpa sadar. Hati terasa penuh. Saya mencintai diri saya atas segala perjalanan hari ini dengan menerima kesalahan, memaafkan kekurangan, dan memeluk diri apa adanya. Napas terasa lebih lapang, pikiran menjadi tenang dan damai. Malam pun saya tutup dengan tidur yang berselimut bahagia.
Tenang memeluk malam, ternyata kuncinya ada pada penerimaan dan pelepasan. Melatih diri untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan yang kita perbuat, serta melepaskan datang-perginya benar dan salah yang pernah kita rasa. Pada akhirnya, mencintai diri sendiri menjadi hal yang paling utama, bukan orang lain. Hanya kita yang mampu dan berhak melakukannya.
Empat mantra dalam lima belas menit terasa sepadan dengan delapan jam tidur nyenyak yang menenangkan jiwa. Meski saya jarang mengalami kesulitan tidur, teknik ini akan tetap saya jalani, agar taman pikiran saya senantiasa indah dan bebas dari timbunan buah pikiran yang busuk dan luka masa lalu yang belum sembuh. Penyesalan, permohonan maaf, rasa terima kasih, dan cinta yang saya ucapkan setiap malam kini menjadi pupuk bagi taman itu. Terima kasih atas pengingatnya, Kang Abu.
BACA JUGA:Cegah Burnout dengan Rutinitas Tidur yang Efektif dan Menenangkan
Tips Mendapatkan Rutinitas Tidur yang Baik, Menurut Ahli