Caroline Suh baru mengenal dunia K-pop satu tahun lalu, tetapi berhasil menjadikannya kandidat yang cocok untuk menyutradarai film dokumenter K-pop pertama keluaran Netflix bertajuk, Blackpink: Light Up the Sky, mengikuti perjalanan grup vokal perempuan ternama dunia saat ini.
Kreator film berdarah Korea Amerika ini sangat bersemangat untuk mengunjungi kampung halamannya dan menyelami dunia K-pop yang luas. Masuk ke dalam budaya K-pop dengan pandangan baru, ia berhasil membangun sebuah kisah yang tidak hanya menyenangkan para penggemar Blackpink, Blink, tetapi juga memikat para penonton baru.
“Saya ingin membuat film ini untuk para penggemar Blackpink, tetapi juga menarik bagi orang-orang seperti saya, yang tidak banyak mengenal K-pop,” ungkap Caroline. “Saya tidak terlalu memahami detail di dalamnya. Saya melihat cerita mereka sebagai orang luar dan saya rasa itu membantu.”
Netflix sudah bekerjasama dengan Blackpink dalam proyek ini sebelum membuka kesempatan bagi Caroline, yang sebelumnya menyutradari serta memproduksi Salt Fat Acid Heat dan Cooked, dua tayangan yang juga mengisi Netflix. “Kami semua bertemu dengan YG [Entertainment], dan semua akhirnya menemukan kata sepakat,” jelasnya. Proses produksi berjalan cepat. Mereka melakukan proses syuting di Korea pada musim gugur tahun lalu, kemudian pada akhir Februari lalu, menangkap momen ketika band tersebut berada di studio menghabiskan waktu bersama produser Teddy Park.
Hasil dari film ini menunjukkan potret mengharukan dari keempat anggotanya – Lisa (Lalisa Manoban), Jennie (Jennie Kim), Jisoo (Ji-soo Kim), dan Rosé (Chae-young Park). Mereka membagikan foto-foto semasa kecil, tertawa menyaksikan rekaman audisi mereka; saling menggoda ketika mencoba kostum; mereka menunjukkan rasa gugup mereka sebelum mencatat sejarah di Coachella; dalam sebuah adegan, mereka terlihat mendengarkan kolaborasi dengan Lady Gaga, Sour Candy untuk pertama kalinya.
“Menarik melihat mereka menghabiskan waktu bersama dan bercanda satu sama lain, merasa nyaman,” ungkap Caroline.” Mereka seperti sebuah keluarga sehingga mereka memiliki suasana yang banyak orang rasakan dengan anggota keluarga mereka.”
Selain itu, ada beberapa adegan setiap anggota dalam kehidupan sehari-hari, seperti Lisa yang berbelanja di sebuah butik atau Rosé menulis lagu ditemani gitarnya. Setiap anggota juga duduk untuk sebuah wawancara, berbagi kisah semasa kecilnya. Jennie mengingatkan pengalamannya sempat ingin pindah ke Amerika Serikat untuk menempuh studi sampai akhirnya menyadari keinginannya bermsuk; Jisoo mengingat kekhawatiran orang tuanya ketika ia terlalu serius berlatih hingga ia tidak pulang.
Kami melihat sisi ketidakpercayaan diri di dalam mereka, seperti Jennie yang mengaku bahwa ia tidak suka berbicara tentang dirinya dalam wawancara atau Rosé yang mengungkapkan ketakutannya ketika merekam lagunya. Caroline harus membangun rasa percaya dengan grup vokal tersebut untuk membuat mereka nyaman ketika membuka diri di depan kamera. “Dengan setiap proyek, saya bersikap jujur tentang apa yang coba kami lakukan dan menjelaskan bagaimana kami melakukannya,” jelasnya. “Saya rasa setiap anggota belum pernah terlibat dalam proyek ini sebelumnya, sehingga ini terasa sedikit lebih baru bagi mereka. Kami berusaha sebaik mungkin dalam mengomunikasikan kepada mereka tentang apa yang kami lakukan. Kami juga mendengarkan mereka dan pendapat mereka, serta keinginan mereka untuk membuat ini sangat nyata. Jadi, kami benar-benar bekerja sama dengan mereka untuk memastikan apa yang kami rekam adalah kenyataan. Kepercayaan terbangun seiring proses,” ungkapnya.
Caroline juga menangkap ketulusan dalam persahabatan keempat perempuan ini melalui momen-momen manis di kamera. Lisa dan Rosé keluar bersama untuk membeli smoothie, mengambil foto street style satu sama lain sembari mengingat pertemuan pertama mereka (ternyata sempat menganggap satu sama lain sebagai kompetitor). Jennie dan Jisoo membuat manisan di kamar asrama mereka, ketika Jennie membantu Jisoo belajar bahasa Inggris. Jisoo sebagai anggota tertua dalam grup, adalah unnie bagi rekan-rekannya. Unnie adalah panggilan sayang dalam bahasa Korea untuk kakak perempuan atau teman perempuan yang lebih tua, sesuatu yang umum dalam budaya Asia. “Kami tidak memanggil satu sama lain dengan sebutan nama, umumnya unnie jika Anda lebih tua dari saya,” jelas Jennie dalam sebuah cuplikan.
“Saya tidak tahu apakah semua orang di Amerika Serikat akan mengetahuinya dan menurut saya, sesuatu yang penting untuk mengetahui bagaimana hubungan mereka satu sama lain, karena memiliki hubungan kekeluargaan,” ungkap Caroline. “Jadi, saya ingin menunjukkannya melalui alasan mereka memanggil satu sama lain dengan sebutan ini.”
Sudah banyak video-video Blackpink tersebar di Internet, selain berbagai video klip dengan ratusan juta viewers pada setiap videonya (dan ada beberapa yang melampaui satu miliar). Anda juga dapat mencari audisi YG mereka serta sebuah acara reality di YouTube. “Saya tahu bahwa banyak hal tentang mereka yang sudah tersebar secara online, tetapi kami benar-benar ingin menceritakan perjalanan mereka,” jelas Caroline. Film ini ingin menunjukkan perjalanan panjang yang telah dilalui keempat anggota, pengalaman yang mereka alami, serta perasaan mereka saat ini.
“Saya ingin mengetahui bagaimana mereka menjadi Blackpink dan perasaannya setelah kini menjadi sebuah fenomena yang luar bisa. Itu adalah tujuan sebelum mendokumentasikan, dan ketika kamu mulai syuting, cerita tersebut tetap nyata,” jelas Caroline.
Grup vokal perempuan ini terus mengepakkan sayapnya selama dan setelah proses produksi. Pada tahun 2020 sendiri, Blackpink berhasil menghadirkan tiga karya kolaborasi dengan Lady Gaga, Selena Gomez, dan Cardi B serta merilis sebuah album baru. Mereka berhasil memecahkan rekor baru dengan video YouTube yang paling banyak ditonton dalam 24 jam, serta berhasil menjadi grup vokal perempuan pertama yang menduduki peringkat teratas melalui karya perdana mereka setelah 12 tahun, dan menjadi grup vokal perempuan Korea pertama yang menduduki peringkat 10 teratas di Amerika Serikat. Film dokumenter ini menjadi sebuah makna yang lebih dalam dari semua perjalanan yang telah mereka lalui untuk sampai di posisi mereka saat ini.
Dalam wawancaranya, mereka mengungkapkan bahwa mereka menghabiskan empat hingga enam tahun untuk melakukan latihan menyanyi, menari, dan penampilan, sampai akhirnya pertama kali menghiasi panggung sebagai Blackpink pada 2016. Mereka berlatih 14 jam dalam satu hati, diuji oleh banyak produser, dan kerap harus melihat sesama rekannya dipulangkan.
Perjuangan tersebut tidak berhenti meski mereka telah menjadi grup ternama. Latihan terus berlanjut, dipadukan dengan tantangan fisik ketika traveling dan tampil di seluruh dunia. “Intens,” ungkap Caroline ketika membahas etos kerja grup tersebut. “Maksud saya, mereka selalu bekerja. Saya rasa Anda membutuhkan stamina yang banyak untuk melakukannya, melakukan semua acara, mempersiapkannya dan berkreasi, serta Anda tahu, banyak hal yang terjadi dalam hidup mereka.”
Sebagai perempuan berdarah Korea-Amerika, mengepalai Blackpink: Light Up the Sky adalah sebuah pengalaman yang berkesan bagi Caroline. “Anda tahu, sangat menyenangkan bagi saya untuk melihat bagaimana budaya Korea menjadi sangat populer di luar Korea,” ungkap Caroline.
“Ketika saya masih remaja, tidak ada orang Korea dan tidak ada yang tahu dimana dan apa itu Korea.” Ia mengingat sebuah adegan dalam dokumenter ketika Jennie mengatakan, “Siapa yang mengira di Coachella, ribuan orang menyanyikan lagu dalam bahasa Korea?” Caroline merasakan hal yang sama. “Saya merasa hal ini akan selalu mengejutkan saya, dan saya merasa hal tersebut sangat menakjubkan. Membuat saya bangga memiliki keturunan Korea.”
Caroline masih berhubungan dengan Blackpink. Mereka melakukan FaceTime beberapa waktu lalu tetapi tidak menyaksikan filmnya bersama, Caroline pun merasa lega tentang itu. “Selalu merasa gugup ketika mereka adalah subjek dari film untuk pertama kali, tetapi beruntungnya, mereka menyukainya sehingga ini hal yang baik,” ungkapnya. “Saya rasa mereka menyukai adegan ketika mereka bereaksi melihat masing-masing ketika masih muda. Lalu, saya rasa mereka merasakan bahwa film ini sangat nyata bagi mereka.”
Caroline merasa bangga dengan hasil akhirnya. “Saya rasa ini merupakan sebuah gambaran yang baik tentang mereka saat ini dan bagaimana mereka mencapainya. Saya yakin masih banyak yang dapat diceritakan. Bersambung,” ungkapnya.
Mungkinkah ia tertarik untuk melakukan babak kedua atau mengeksplorasi grup K-pop lain? “Tentu saja. Saya rasa akan sangat menyenangkan.”
Blackpink: Light Up the Sky dapat Anda saksikan di Netflix sekarang.
(Penulis: Erica Gonzales; Alih Bahasa: Vanessa Masli; Artikel ini disadur dari BAZAAR US; Foto:Courtesy of BAZAAR US)