Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Ekspresi Cinta Indonesia Rania Yamin, Syandira Kameron, dan Radinindra Nayaka

Menelusuri kekayaan budaya Indonesia melalui mata tiga pemuda-pemudi kebangaan Indonesia: Rania Maheswari Yamin, Radinindra Nayaka, dan Syandria Kameron.

Ekspresi Cinta Indonesia Rania Yamin, Syandira Kameron, dan Radinindra Nayaka
Layout by Kania Ivanka Ardania

Indonesia memiliki warisan budaya yang sangat kaya, tapi upaya melestarikannya di tengah perkembangan zaman merupakan tantangan tersendiri. Generasi muda saat ini semakin menunjukkan kepedulian terhadap budaya dan tradisi mereka. Melalui karya seni, mode, dan inisiatif sosial, mereka menghadirkan cara baru dalam melestarikan budaya Indonesia, yang tidak hanya menghormati masa lalu, tetapi juga menggabungkannya dengan visi masa depan. Rania Maheswari Yamin, Radinindra Nayaka, dan Syandria Kameron adalah contoh nyata dari generasi muda yang mampu menjaga dan memadukan nilai-nilai luhur budaya Nusantara dengan pendekatan yang lebih modern tetapi tetap relevan, menjadikan tradisi sebagai bagian hidup yang dinamis dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Yuk, kenal lebih dalam tiga sosok pemuda-pemudi Indonesia yang gigih melestarikan warisan budaya Indonesia:

Rania Yamin

Fotografer: Gustama Pandu

Sebagai keturunan keluarga Mangkunegaran, hidup Rania Maheswari Yamin tidak seperti kebanyakan orang. Rania, yang sering dipanggil dengan nama depannya, menyadari privilese yang ia miliki, terutama kemudahan dalam mengakses sejarah budaya dan kekayaan kultur Indonesia sejak kecil. Meskipun di media sosial Rania lebih sering menunjukkan kecintaannya akan berbusana kebaya dan wastra Indonesia, sebenarnya sejak kecil ia sudah tertarik dengan dunia sastra. “Rumah saya di Solo, yaitu Istana Mangkunegaran, ada perpustakaan Rekso Pustoko. Mungkin orang-orang susah mengatur jadwal ke sana karena sore sudah tutup. Tetapi saya bisa meluangkan waktu ke sana kapan saja,” ceritanya.

Dalam berpakaian, Rania sudah terkenal dengan kebiasaannya mengenakan kebaya dan kain sebagai pakaian sehari-hari. Menurutnya, berbusana seperti itu adalah hal yang biasa. Tujuannya adalah untuk membuat orang lain merasa senang memakai kain. “Pilih yang sewarna-warni mungkin, atasannya tinggal tarik satu warna dari kainnya. Biasanya saya selalu ambil primary colors, entah kenapa, lebih menyatu saja mungkin dengan kulit saya.” ujarnya.

Meskipun Rania selalu tampil percaya diri dengan pakaian tersebut, ia menceritakan bahwa saat kecil sering kali merasa tidak cocok memakai kebaya karena tubuhnya yang tinggi dan besar. Namun, pandangannya berubah saat ia melihat foto-foto eyang buyutnya saat muda, yang memiliki tubuh mirip dengan dirinya. “Ia memiliki tubuh yang mirip dengan saya. Saya langsung berpikir, ternyata enggak ah, punya tulang besar dan badan yang tinggi seperti ini harusnya bangga dan justru merasa powerful.” katanya.

Ketika ditanya tentang panutan dalam berbusana, jawabannya langsung dan pasti—eyang buyutnya, Gusti Raden Ayu Sunituti. “Ia menjadi salah satu perempuan pertama yang berani memadukan warna kebaya tabrak setabrak-tabraknya. Kebaya pink, selendang hijau, kainnya kuning, pokoknya berani banget.” jelas Rania dengan penuh kekaguman.

Definisi bahagia untuk Rania sangat sederhana. “Selain berkuliner, bahagia saya dari tulisan, alias membaca. Karena realitas kehidupan sudah lumayan pahit jadi harus punya dunia lain untuk saya telusuri pakai imajinasi sendiri,” katanya sambil tertawa kecil.  “Sangat penting untuk membaca buku,” tambahnya. “Saran saya, baca buku-buku yang lebih mengarah ke sejarah. Semakin kita menggali masa lalu, semakin kita bisa meneruskan ke depannya. Pada akhirnya semua akan kembali lagi ke akarnya.” tambahnya.

“Semoga lebih banyak muda-mudi yang berkarya, tetapi dengan tidak melupakan satu hal pun dari akarnya.” — Rania Yamin

Rania mengungkapkan kekagumannya terhadap generasi muda yang tertarik dengan budaya Indonesia. Menurutnya, sudah ada kemajuan yang signifikan, meskipun belum seratus persen. “Melihat sekarang para turis datang dari pagi sudah dandan pakai kebaya kain, itu luar biasa sih, terharu melihatnya.” katanya. Di Mangkunegaran, akhirnya disiapkan peminjaman kain karena minat yang sudah sangat tinggi. “Di pasar Triwindu depan Mangkunegaran juga menjual kebaya-kebaya lawas, itu tiap hari ludes seabis-abisnya. Jadi ternyata, kebaya bekas saja orang kejar," tambahnya. Yang lebih menarik lagi, menurut Rania, adalah tingginya minat para pengikutnya tentang sejarah.  “Orang-orang sangat menanti narasi saya tentang kebudayaan Jawa. Ketika saya istirahat sejenak untuk fokus skripsi, ternyata mereka semua menanyakan lagi, seakan-akan haus akan sejarah Jawa gitu. Jadi saya ingin memulai membahas lagi soal gamelan, naskah kuno, dan lain sebagainya,” tuturnya.

Rania, yang memiliki pengetahuan luas, memiliki harapan besar bagi masa depan budaya, seni, dan mode Indonesia, terutama dalam mendukung generasi muda. Menutup perbincangan, ia menuturkan harapannya, “Semoga lebih banyak muda-mudi yang berkarya, tetapi dengan tidak melupakan satu hal pun dari akarnya. Banyak orang, seperti desainer baju, yang membuat baju, tapi ujung-ujungnya merusak karya seni atau kain tanpa disadari. Menurut saya, tidak ada yang luar biasa dengan memotong batik tulis. Ibaratnya begini, seorang pelukis pasti tidak ingin lukisannya dipotong-potong, begitu juga dengan musisi yang tidak ingin karya musiknya dipotong dan dimainkan sebagian saja di radio. Begitu juga dengan perajin batik, mereka tidak ingin karyanya dibelah-belah dan akhirnya yang mereka sudah buat sedemikian rupa dibuang saja menjadi sisaan. Jadi, harapan saya juga adalah untuk menghormati perajin batik lebih saksama dan sesungguhnya,” tutupnya.

Melalui kebaya dan kain tradisional, ia tidak hanya memperkenalkan budaya Indonesia kepada dunia, tetapi juga menunjukkan bahwa tradisi dan modernitas bisa berjalan beriringan.

Radinindra Nayaka

Fotografer: Gustama Pandu

Sebagai seorang bangsawan yang juga bagian dari keluarga Kerajaan Karaton Surakarta Hadiningrat, Radinindra Nayaka saat ini tengah fokus untuk meneruskan cara hidup dan prinsip-prinsip yang telah dipegang oleh keluarganya selama ratusan tahun. Lalu, bagaimana dengan pekerjaannya sebagai desainer mode? Terinspirasi oleh eyangnya, Nayaka Sri Maharaja S.I.S.K.S. Paku Buwono X, raja kesembilan Kasunanan Surakarta Hadiningrat, ia memulai perjalanan modenya dengan keinginan kuat untuk melestarikan dan menggabungkan warisan keturunannya ke dalam kreasinya.

Proses kreatifnya adalah cerminan dari semangat artistiknya, yang sering dimulai dengan sebuah ide visioner yang ia kembangkan dengan hati-hati dalam sketsa tanpa menggunakan moodboard seperti yang biasa dilakukan desainer lain. Untuk menginspirasi desain-desainnya, Nayaka menyelami berbagai genre musik yang beragam, mulai dari K-Pop hingga Gending Jawa. Pendekatan unik ini memberikan sentuhan yang harmonis antara kesegaran anak muda dan warisan keluarganya dalam setiap koleksi, di mana setiap potongan menceritakan kisah yang berkaitan dengan pengalaman pribadi dan kenangan budaya.

 Menyeimbangkan estetika budaya tradisional dengan tren mode terkini menjadi filosofi utama bagi Nayaka. “Bisa dibilang karya-karyaku dalam fashion adalah lanjutan dari warisan keluarga, karena semua karyaku merupakan pembaharuan warisan-warisan keluargaku dalam perspektif futuristis,” kata Nayaka. Ia berinovasi sambil menghormati kode pakaian tradisional dan nilai-nilainya. Komitmennya untuk menggunakan batik tanpa memotong bahan dan menghindari penggunaan beludru yang hanya diperuntukkan bagi raja Surakarta mencerminkan dedikasinya untuk mempertahankan norma-norma leluhur.

Menavigasi industri fashion sebagai seorang desainer muda tentu tidak lepas dari tantangan, namun Nayaka menyambut setiap kesempatan dengan rasa syukur dan rendah hati. Kolaborasinya dengan berbagai sudut pandang, mulai dari idola K-Pop hingga kementerian pemerintah, menggarisbawahi kemampuannya dalam menceritakan kembali akar dan fondasi warisan budaya dengan sentuhan yang kontemporer.

“Sebuah bangsa tanpa budaya tidak mempunyai karakter yang membedakannya dari bangsa lain.” — Radinindra Nayaka

Bagi Nayaka, melestarikan warisan budaya Indonesia bukan hanya soal estetika tetapi tentang mewujudkan prinsip nilai-nilai dan cara hidup. “Eyang ageng saya, Paku Buwono X, pernah bersabda Rum kuncaraning bangsa dumunung haneng luhuring budaya yang berarti harumnya nama dan tingginya derajat suatu bangsa terletak pada budayanya, jadi melestarikan tradisi dan budaya begitu penting karena sebuah bangsa tanpa budaya tidak mempunyai karakter yang membedakannya dari bangsa lain,” katanya. Kreasinya menjadi bukti dari warisan abadi para leluhurnya, di mana setiap pakaian menghormati masa lalu sambil mendorong mode Jawa ke masa depan.

Kisah Radinindra Nayaka bukan hanya tentang fashion; ini adalah narasi tentang ketahanan budaya, inovasi, dan menginspirasi apresiasi baru terhadap budaya Jawa Mataram yang agung di kalangan generasi muda. Melalui karya-karyanya, Nayaka mengajak generasi-generasi mendatang untuk merenungkan masa lalu, merayakan masa kini, dan membayangkan masa depan di mana tradisi dan modernitas dapat hidup berdampingan secara harmonis.

Syandria Kameron 

Fotografer: Gustama Pandu

Semuanya dimulai dari pandemi. Jika banyak orang merasa putus asa dan kebingungan selama masa Covid-19, tidak demikian dengan cicit dari Bapak Proklamator negara kita, Bung Karno. Bagi mereka yang sudah mengenalnya, atau setidaknya mengikuti wanita yang lahir pada 17 Agustus 1999 ini di media sosial, Rakyan Ratri Syandria Sari Mardika Wati Guntur Soekarno Putri Kameron, atau yang lebih akrab disapa Syandria, memang dikenal sebagai penari Bali. Bahkan, pada tahun 2019, ia sempat mendapatkan kesempatan langka untuk menari di depan Raja Kamboja.

“Di awal mula masa kuliah, sekitar tahun 2017 saya ditantang oleh Eyang Guruh untuk menarikan suatu tarian klasik yaitu Tarian Gending Sriwijaya yang berasal dari Palembang untuk ditarikan langsung di depan Raja Kamboja. Karena membutuhkan latihan yang intens, terutama untuk pagelaran besar yang membawa nama Indonesia ke Kamboja, akhirnya lambat laun membuat kecintaan saya terhadap seni tari mulai tumbuh,” cerita Syandria membuka percakapan kami usai sesi pemotretan.

Dengan dorongan besar dari dalam diri, Syandria mulai mendalami tari Bali, khususnya tari legong yang klasik. “Jadi untuk tari tradisional saya diajarkan langsung oleh Eyang Guruh dan juga ada guru saya namanya Nyoman Trianawati atau mbak Nana. Tapi proses belajarnya itu sempat terhenti karena pandemi. Lalu di sisi lain juga banyak teman-teman seniman yang dari Bali terutama dari dunia seni tari yang banyak mengalami kesulitan di masa itu sebab tidak ada pemasukan, tidak ada pertunjukan yang dihelat. Akhirnya saya dan beberapa teman-teman, kita sepakat untuk membantu para seniman-seniman yang ada di Bali dengan cara membuat kelas online menari yang berlangsung selama kurang lebih satu tahun. Jadi hasil dari teman-teman yang ikut kelasnya langsung kita salurkan ke seniman-seniman yang ada di Bali,” kenang Syandria.

"Waktu berlalu, dan di tahun 2021 kita sudah mulai bisa bertemu orang meski masih terbatas. Saya mulai berlatih lagi secara intensif dengan Eyang Guruh dan Mbak Nana. Saya pun mengunggah video latihan saya dan mendapat banyak respons positif. Banyak yang menghubungi saya lewat DM di Instagram bertanya bagaimana cara ikut serta. Dari situlah muncul ide untuk memulai Kembalikan Baliku, sebuah inisiatif untuk mengembalikan kejayaan Bali seperti dulu, dengan seni tarinya, musik, dan berbagai warisan budaya lainnya, termasuk wastra dan kuliner, yang sayangnya mulai pudar, terutama di Denpasar," tambah Syandria. 

 “Seni budaya Bali, terkhususnya seni tarinya itu tidak membosankan lho.” — Syandria Kameron

Berkat semangatnya memperkenalkan tari Bali, kini sanggarnya di Jakarta telah memiliki banyak anggota dari berbagai usia. "Dari pengalaman ini, saya ingin menunjukkan kepada teman-teman sebaya saya di Jakarta bahwa seni budaya Bali, khususnya tariannya, itu menarik. Saya sangat senang melihat banyak anak muda, yang tergabung dalam Kembalikan Baliku, dari usia empat tahun sampai yang berusia 50-an," jelasnya.

Meskipun banyak yang mengira sebagai cicit presiden pertama Indonesia, ia akan mengikuti jejak politik keluarganya, kenyataannya berbeda. "Keluarga saya untungnya tidak memaksa saya untuk mengikuti apa yang mereka inginkan. Banyak yang berpikir mereka mendorong saya untuk mengikuti jejak mereka, namun sampai saat ini, dari kakek nenek, mama hingga papa, tidak ada yang memaksa saya untuk terjun ke politik setelah saya lulus kuliah," cerita wanita lulusan Antropologi dari Universitas Indonesia ini.

Sebagai penutup, Syandria sebagai pelopor generasi muda dalam pelestarian budaya, ingin menginspirasi pemuda lainnya. "Saya berharap tidak hanya saya, tapi banyak pemuda lain yang juga akan tertarik pada kebudayaan Indonesia. Anda tidak harus terbatas pada tari saja, bisa jadi musik, wastra, atau bahkan kuliner. Mari kita bergerak bersama untuk mengangkat warisan budaya dari daerah kita masing-masing," tutupnya.

Baca artikel 3 Profile Muda yang berjudul “Ekspresi Cinta Indonesia” Rania Yamin, Syandira, dan Radinindra Nayaka yang terbit di edisi cetak Harper's Bazaar Indonesia - Agustus 2024; Penulis; Aleyda Halkim, Shinbi Jeon, Janice Mae; Foto: Dok. Bazaar