Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Memaknai Slow Living di Tengah Kilatnya Kehidupan

Hentikan sejenak kesibukan Anda, mari memaknai waktu bersama Dave Hendrik.

Memaknai Slow Living di Tengah Kilatnya Kehidupan
Foto: Courtesy of Ann Savchenko/Unsplash

Restoran ini baru saja dibuka dan belum ada pengunjung lain. Hanya kami kru acara yang bertugas. Memang sengaja kami memilih jam yang sepi saat syuting agar tidak menganggu. Embusan udara segar dari AC pendingin yang baru saja dinyalakan mengusir aroma pekat sisa tembakau yang masih menjajah seisi ruangan. Suara hairdryer menderu di telinga, saya duduk pasrah membiarkan hairdresser mengeringkan rambut saya yang basah. 

BACA JUGA: Teman Sejati vs. Teman Semu, Yang Manakah Anda?

Menatap langit-langit sambil memejamkan mata, saya berusaha menikmati udara hangat di tengkuk. Dua rekan presenter kerja saya siang ini terdengar sibuk sendiri-sendiri. Yang lelaki sambil membenahi pulasan wajahnya di cermin. Koordinasi pekerjaan selanjutnya yang menanti dilakukan pada tiga orang timnya yang berdiri mengelilinginya. 

Sementara presenter perempuan, di tengah bentangan makeup bergantian meraih kuas lalu handphone dengan tangannya, memulas lalu mengetik. Ia tampak sangat lihai menguasai ritme kegiatan multitasking-nya. Sesekali ia berikan komando pada dua asistennya agar tak lupa lakukan to-do list yang ia minta. Semua sibuk, bergerak, dan bersuara.

Sementara saya hanya sibuk menyesuaikan napas dengan ritme ruangan. “Kak, kamu diam aja dari tadi. Kamu tuh slow living banget kayaknya, yah?” Pertanyaan presenter perempuan membuyarkan lamunanku. Saya berhenti menghitung berapa banyak mobil putih yang sedari lewat melalui jendela di samping saya.


Ini sudah kali ketiga ia menanyakan hal itu kepada saya. Selalu saat kami melakukan persiapan untuk berkeja membawa acara. Saat yang lain sibuk multitasking memanfaatkan waktu tunggu untuk persiapan pekerjaan berikutnya atau koordinasi dengan anak di rumah, waktu luang harus terisi dengan produktif. Sementara saya hanya duduk di pojok ruangan diam membaca majalah atau kadang diam tak melakukan apa-apa.

Slow living? Diam menikmati waktu tak melakukan apa-apa tuh namanya slow living, toh? Definisi slow living rupanya cukup beragam. Rasa penasaran saya mendorong untuk mencari apa sebenarnya maksud dari slow living. Sering kali diucap tapi tak jelas artinya bagi saya, jempol saya bertugas menjadi detektif. Awal gerakan ini terjadi sekitar tahun 1980-an ketika slow food adalah tangkisan dari kehadiran fast food di Italia yang mulai merajai gaya hidup mereka. Prinsip dasarnya adalah sebuah ajakan untuk lebih menghargai proses pembuatan dan rasa makanan dengan menikmatinya secara lamban. Makan duduklah di meja, makan berhadapan dengan keluarga, bukan dengan layar. 

Mengisi waktu dengan menikmati rasa saat makan akan membuat jumlah makanan yang dikonsumsi jauh lebih sedikit. Aslinya kita tak butuh banyak untuk bisa puas. Kualitas bukan kuantitas. Gerakan slow food ini kemudian berkembang menjadi slow travel, slow fashion, slow gardening, slow parenting, slow thinking, dan banyak dirangkum sebagai slow living.

Situs Groovnow mengartikan slow living sebagai gerakan hidup yang lebih seimbang dan bermakna dengan memperlambat ritme harian secara sengaja. Tidak lagi menjalani hari secara autopilot atau didikte oleh tumpukan kewajiban. Berkejaran untuk menyelesaikan to-do list harian yang sering kali tidak menyisakan energi cadangan untuk menutup hari, bahkan merawat diri. Boro-boro mau nonton drakor, mau mandi pulang kerja aja tuh udah nggak ada tenaga deh. Familier?


Memilih dengan sadar untuk melakukan kegiatan yang lebih sedikit, mengutamakan apa yang penting dan dibutuhkan, serta mempunyai tujuan yang lebih jelas akan memudahkan dan memaksimalkan hasil dan cara kerja. Gambaran slow living hanya bisa dilakukan di desa atau di kaki gunung yang jauh dari kebisingan jantung kota yang kini sudah jauh bergeser. Seiring dengan anggapan, slow living hanyalah milik mereka yang berkecukupan dan mampu memangkas kegiatan yang tak diinginkan dari agenda hariannya. Kualitas hidup yang lebih baik adalah pilihan milik semua orang, di mana pun dan siapa pun mereka.

Penjelasan situs Slow Living Ldn tentang makna slow living memberikan esensi yang paling mudah dicerna, menggambarkan sebuah mindset yang mendorong kita untuk memilih dengan sadar untuk melakukan apa yang paling berarti dalam hidup. Nah, karena arti atau value hidup setiap orang berbeda, maka cara kita memaknai aturan slow living pun berbeda dan tiada takaran yang sama. Disarankan untuk mengetahui berbagai cara slow living yang tepat bagi gaya hidup Anda, agar dapat melihat dan mengakui apa yang paling berarti bagi hidup Anda saat ini. 

Jika bekerja adalah kepentingan yang memberikan arti dalam hidup saat ini, lakukanlah sepenuh hati dengan segenap perhatian tulus tercurah padanya. Selesai bekerja, saat tiba di rumah dan bertemu dengan keluarga pun demikian. Jika memang kehadiran keluarga memiliki arti dan selaras dengan value hidup Anda, silakan dinikmati keberadaannya. Nikmatilah satu per satu pilihan aktivitas Anda dengan kesadaran penuh. Live better, not faster. Menolak untuk selalu berkejaran dengan waktu, namun memperlambatnya dengan menikmatinya penuh. Waktu berhenti ketika kita memberinya arti.

Berarti sebenarnya, slow living adalah sebuah ajakan untuk lebih mengenali diri. Begitu nggak, sih? Mengenali benar apa yang disukai, apa yang berarti, apa yang penting, dan apa yang paling bermakna. Mengenal diri sendiri berarti juga memiliki batasan diri yang jelas. Mampu untuk menolak bila memang tak selaras dengan kebutuhan dan kemampuan. Slow living berarti adalah gaya hidup mereka yang telah mengenal jelas siapa dan apa dirinya sehingga cara mereka melihat dunia pun tak lagi dikekang oleh opini orang lain. Pilihan untuk melewatkan waktu sesuai dengan nilai hidup. My life, my pace−it is not a race.

Waktunya bagi saya untuk menyudahi penelusuran ini di gawai. Presenter perempuan sudah tak lagi menanti jawaban pertanyaannya pada saya. Ia kini sedang sibuk merapikan rambutnya sambil menyeruput kopi. Kami pun kemudian berdiri, setelah mendengar ajakan produser untuk segera memulai pekerjaan ini. Terima kasih untuk pekerjaan hari ini Tuhan, ucap saya dalam hati sambil melangkah menuju meja tempat set-up syuting disiapkan. Mari hentikan waktu dengan memberinya arti, sekarang!

BACA JUGA:

Bukan Warisan Materi, Kegigihan Adalah Bekal Terpenting Menjadi Seorang Perintis

Arti Sebuah Wewangian di Kalangan Gen Z

Baca artikel Diari Dave yang berjudul "Hidup Menikmati Waktu" yang terbit di edisi cetak Harper's Bazaar Indonesia - November 2024. Disadur oleh:Alaia Shakila ; Foto: Courtesy Of