Tradisi memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap gaya fashion di Indonesia. Setiap helai busana menceritakan kisah budaya, sejarah, dan craftsmanship dari berbagai daerah yang berbeda. Namun, apakah siluet busana yang kental dengan nuansa tradisi ini masih relevan di zaman sekarang? Ternyata, jawabannya adalah masih. Bahkan, telah tercipta estetika baru dalam mode Indonesia. Saya berkesempatan menelusuri lebih jauh dan berbincang langsung dengan beberapa desainer Indonesia. Mereka memiliki sudut pandang yang menarik serta pemikiran realistis tentang siluet tradisional dan tekstil Indonesia. Desainer-desainer tersebut adalah Edward Hutabarat, Sapto Djojokartiko, Auguste Soesastro, dan Wilsen Willim. Nama-nama ini mewakili berbagai generasi, dengan pendekatan dan estetika yang beragam, mencerminkan betapa siluet tradisi Indonesia memiliki potensi yang luar biasa dan dapat bertransformasi menjadi berbagai kreasi yang inovatif.
Kontribusi Edward Hutabarat terhadap wastra nusantara tidak perlu diragukan lagi, terutama melalui karya-karya yang ia hasilkan selama lebih dari 20 tahun menjelajahi Indonesia. Koleksinya selalu menampilkan perpaduan antara modernitas dan tradisi yang harmonis. “Semua koleksi saya memiliki ciri khas, yaitu kain-kain peradaban nusantara seperti batik, lurik, songket, dan tenun ikat yang bermotif garis. Karena setiap kain memiliki cerita di baliknya,” ungkap desainer yang akrab disapa Bang Edo ini. Ia telah menghabiskan separuh hidupnya untuk melakukan perjalanan ke berbagai pelosok Indonesia. Selama itu, ia tidak hanya mengunjungi tetapi juga tinggal lama di suatu daerah, berinteraksi dengan masyarakat setempat, mengamati, mendalami budaya mereka, mencatat, merekam, dan menggali inspirasi dari interaksi tersebut, yang kemudian dituangkannya dalam desain busana rancangannya.
“Saya mencintai peradaban Indonesia. Cinta itu datang dari melihat dulu, mengamati, lalu jatuh cinta, ingin memiliki, sehingga akhirnya mengembangkannya. Jadi, ketika kita melihat kain itu dipakai dalam sebuah acara, sebenarnya ada proses panjang di baliknya. Dimulai dari asal daerah, alat tenunnya, membuat benang, pewarna, menenunnya, kemudian membentangkannya, mencucinya, lalu menata urut-urutan motifnya. Seperti pengalaman saya waktu ke tanah Sumba di tahun 2002, tetapi saya baru mengeksekusi kain dari perajin tersebut di tahun berikutnya, dan baru saya tampilkan dalam koleksi fashion show bertajuk Kabakil di Candi Borobudur pada tahun 2023 lalu. Jadi saya tidak sekadar pergi ke suatu daerah, membeli kain di galeri, lalu membuat presentasi; itu tidak begitu,” jelasnya.
“Identity dan quality itu sudah ada di dalam wastra Indonesia, jadi kita tinggal menciptakan kreativitas,”
— Edward Hutabarat
Menurut Bang Edo, identity dan quality sudah melekat pada wastra Indonesia. Yang perlu dilakukan adalah menciptakan kreativitas. “Ya, creativity but in simplicity. Kenapa simplicity? Agar lebih mudah dipadupadankan dengan yang lain. Banyak orang beranggapan bahwa untuk terlihat modern, wastra itu harus dibordir lagi, ditambah payet, dicampur dengan motif kain lain. Sebenarnya sah-sah saja dicampur, tetapi kita tidak mencampur nasi goreng dengan nastar, bukan? Nasi goreng lebih cocok dengan kerupuk. Saya sering melihat campuran yang tidak tepat dalam fashion kita sekarang.” Maka, tidak heran jika rancangan Edward Hutabarat selalu berhasil memukau setiap mata yang memandang—dengan desain yang sleek tanpa banyak potongan rumit, sehingga mampu memancarkan elegansi dan modernitas.
Proses riset yang mendalam juga dilakukan oleh Auguste Soesastro untuk label miliknya, Kraton. Ia menerjemahkan siluet busana tradisional Indonesia menjadi lebih modern dalam desain yang minimalis. “Tentu saja tidak cukup dengan memodifikasi batik atau menempelkan kain-kain tradisional sebagai aksen pakaian modern. Untuk bisa mengembangkannya, kita perlu memahami etimologi maupun asal-usul dari pakaian itu.” Sejarah Jawa yang mengalir dalam keluarganya menjadi identitas kreasi Auguste. Ia membuat berbagai bentuk pakaian dari potongan beskap yang telah dimodifikasi, tentunya setelah melakukan riset terlebih dahulu—bagaimana agar modifikasi ini tidak merusak nilai sejarah tetapi tetap mencapai estetika yang diinginkan sebagai sepotong pakaian.
Dengan melihat pakaian adat Indonesia melalui perspektif ini, Auguste merasa hal tersebut dapat menambah daya tarik universal bagi budaya Indonesia. “Saat saya memulai Kraton, saya berpikir mengapa orang Jepang bisa memakai kimono atau orang India bisa memakai kurta atau sherwani sehari-hari dan tetap terlihat fresh. Mengapa di Indonesia tidak bisa seperti itu juga? Jadi, saya ingin membuat pakaian modern yang masih memiliki unsur budaya Indonesia tetapi bisa dipakai di mana saja dan oleh semua orang, seperti menggabungkan beskap dan belangkon hitam ke dalam ansambel tuksedo,” jelas desainer yang sering menampilkan pola-pola berbasis konstruksi arsitektural ini.
Begitu pula dengan Sapto Djojokartiko. Bagi desainer kelahiran Solo ini, siluet busana tradisional harus bisa dipakai sehari-hari. Oleh karena itu, ia melakukan pendekatan adaptif dan eksperimen yang menonjolkan rancangannya. “Bermula dengan melihat referensi dari masa lalu, dan kebetulan saya lahir di Jawa Tengah, jadi saya merasakan setiap proses tradisi, yang secara tidak langsung membuat warisan budaya ini menjadi sesuatu yang dekat dan menginspirasi saya. Dari situ, saya berkeinginan untuk melestarikannya dengan cara pandang yang berbeda. Kemudian saya buat relevan sesuai zaman—mengadaptasi desain-desain tersebut dengan sesuatu yang current dan bereksplorasi dengan material. Tentunya agar generasi sekarang bisa menerima, sehingga bisa dipakai sehari-hari dan tidak repot memakainya. Jadi, kita harus lebih adaptif dan tidak terpaku pada aturan baku, agar memiliki sudut pandang yang baru terhadap heritage Indonesia.”
Coba perhatikan koleksi-koleksi Sapto Djojokartiko, banyak yang terinspirasi dari bentuk pakaian yang lekat dengan masa lalu Indonesia seperti siluet surjan, kebaya, janggan, dan baju kurung. Setiap potongan dijahit dengan finishing yang prima dan ditambah ornamentasi detail renda yang khas, sehingga tampilannya pun jauh dari kesan kuno. “Karena saya ingin membuat siluet tradisi lebih relevan, maka cara berpikir kreatif semakin dibutuhkan. Jadi meskipun bentuknya terlihat sarat tradisi, tapi saat dipakai terasa ringan dan terkesan flowy. Saya ingin terus bereksplorasi—dari teknik cutting hingga material, untuk menciptakan tampilan yang modern. Begitu pun soal motif, saya mengadaptasi berbagai motif dari daerah-daerah di Indonesia dan mengembangkannya menjadi pola yang menarik,” jelas Sapto.
Selain itu, model beskap maupun kebaya janggan juga tengah diminati para desainer Indonesia saat ini. Mereka berkreasi memodifikasi dan mengolahnya menjadi lebih statement. Kehadiran beskap ini juga didorong oleh popularitas serial Gadis Kretek (2023). Misalnya, Wilsen Willim, meskipun ia sudah lebih dulu berkreasi dengan beskap sebelum serial tersebut dirilis, kini semakin gencar menampilkannya dan tergerak untuk menyertakan kain-kain tradisional dalam koleksinya. Beskap kreasi Wilsen hadir dalam berbagai potongan dan detail, seperti model crop, aksen lipit, hingga embellishment. Pada bagian belakang, terdapat dekorasi kincir origami yang menjadi identitas khas sang desainer. “Saya pribadi memiliki ambisi untuk membuat busana siap pakai bernuansa modern kontemporer dengan napas Indonesia yang kental, namun tetap berstandar internasional,” ungkapnya. Ciri khas rancangan Wilsen mencerminkan percampuran gaya dan tradisi yang kuat, dengan unsur akulturasi Indonesia yang berpadu dengan sentuhan Oriental dan Budaya Barat, yang selalu mengingatkan dirinya untuk kembali pada akar warisan kultural nenek moyangnya.
“Saya ingin mengubah kebiasaan orang Indonesia untuk kembali bangga mengenakan busana tradisional kita. Jadi jangan hanya memilih kemeja dan jas, tetapi juga bisa kembali mengenakan beskap dan kemeja berkerah Jawa atau peranakan. Seperti koleksi Dulu, Kini, Nanti yang saya tampilkan di Plaza Indonesia Fashion Week tempo hari,” ucap Wilsen menutup perbincangan.
Dapat disimpulkan bahwa siluet busana tradisional yang kini mewarnai industri mode Indonesia bukan sekadar busana modifikasi biasa. Setiap helai busana menyimpan cerita dan kreativitas para desainer yang berusaha mewujudkan busana sarat tradisi agar tetap relevan dan diterima di masa depan.