"Ini gara-gara Ethan sih, anakku jadi terpengaruh mulai minta beli parfum. Mana mintanya parfum mahal pula. Padahal tadinya boro-boro pakai minyak wangi, diminta pakai deodoran saja enggak mau!” Ucapan seorang ibu dari teman bermain Ethan, keponakan saya pada adik saya yang adalah mamanya Ethan. Memang betul ternyata untuk anak- anak remaja ini, teman jauh lebih berpengaruh daripada orang tua. Teman sepergaulan maupun persona media sosial yang menemani hari-hari mereka di layar.
Tahun ini usia Ethan baru 13 tahun dan jujur baru setahun belakangan saja saya mulai memperhatikan minat dan perhatiannya akan parfum. Sebenarnya berawal ketika memasuki usia 12 tahun, ia bercerita pada saya apa yang akan ia minta pada kedua orang tuanya sebagai kado ulang tahun. Beda dari tahun-tahun sebelumnya, bukan mainan atau sepatu basket yang ia incar. Parfum Xerjoff atau Jean Paul Gaultier Le Male adalah incarannya. Wait, what? Sambil mendengar Ethan bercerita, tanganku meraih handphone dan mencari parfum yang ia sebut di e-commerce. Xerjoff? Kok bisa anak ini mengenal brand ini? Saya saja baru dengar brand ini dari dia saat itu. Sambil berusaha melihat dengan baik harga dari parfum yang ia inginkan, terus Ethan berbicara menjelaskan top, middle, dan base note dari kedua parfum tersebut yang ia anggap unik dan sesuai dengan karakternya. Xerjoff akan menjadi parfum pertamanya? Huh? Beda banget saat saya seusianya yang masih berangkat sekolah hanya berbungkus wangi mentol dari bedak Purol yang dilumuri di ketiak. Spalding sepertinya kalau tidak salah ingat, menjadi cologne pertama saya yang dibelikan mami saya saat SMA.
“Tahu dari mana, sih kamu brand-brand parfum ini?” tanya saya menyelidiki, “TikTok. Jeremy Fragrance, kan sering bahas brand ini!” jawabnya. Kemudian Ethan memperlihatkan isi FYP TikTok-nya memamerkan beberapa konten review parfum yang ia suka. Bahkan di sekolah pun ia dan beberapa temannya sering bertukar informasi dan membahas parfum baru apa yang mereka lihat malam sebelumnya di media sosial. Satu temannya bahkan selalu datang ke sekolah membawa parfum yang ia miliki (pemberian sang ayah) untuk dicoba bersama. Sniffing party in school during breaks? Wow, I am in awe. Baru kemudian saya perhatikan, saat pergi jalan-jalan ke mall. Ethan paling menikmati diri mampir ke konter minyak wangi, menjelajahi dunia wangi luxury satu per satu sambil mendengarkan penjaga konter menjelaskan paparan lapisan sensasi olfaktori yang ia nikmati. Kalau Sociolla adalah surga bagi Emma, kakak perempuannya, C&F adalah surganya Ethan. Sephora adalah tempat kedua surga mereka bertemu karena isinya mewakili dua minat mereka. Makeup dan parfum.
"Life is too short to smell mediocre. Embrace the scent-sational!"- Huib Maat.
Kalau kakak perempuannya saat membeli makeup pertamanya dapat kami terima dan fasilitasi, mengapa ia tak layak dapatkan dukungan yang sama? Rupanya parfum adalah makeup bagi para remaja pria ini. Tahun lalu ramai bahasan tentang remaja putri membanjiri Sephora mengulik aneka polesan wajah terbaru, trennya kini adalah parfum bagi remaja putra. Ulasan ini juga dibahas oleh New York Times dan situs web The Guardian. Perkenalan anak-anak remaja ini pada parfum high-end tentunya paling utama terpicu oleh suguhan review dari content creator yang mereka amati. Di usia dengan daya serap informasi yang dahsyat, kini remaja tersebut bahkan jauh lebih fasih terhadap parfum apa yang sedang digemari daripada orang tuanya. Contohnya saya dan Ethan. Mereka bahkan dapat dengan cermat memilih parfum apa yang sesuai dengan kegiatannya. Satu parfum untuk semua kegiatan harian gaya sang ayah sudah sangat dianggap kuno. Dikabarkan mereka pun sudah keluar dari batasan gender normative. Wangi floral tak selalu dapat dinikmati oleh perempuan. Botol parfum berwarna biru bukan berarti parfum itu ditujukan untuk lelaki. Pilihan wangi lebih tergantung kepada selera dan kecocokan karakter. Apresiasi remaja kini terhadap parfum sangatlah tinggi dan terbuka.
“Tapi Mama Papa enggak mau beliin kado parfum ini!” lanjut Ethan, “Baiknya kado ulang tahunnya sepatu aja buat sekolah,” sedikit usahanya menyembunyikan rasa kecewa. “Parfum yang kamu minta, harganya terlalu mahal untuk anak seusia kamu timpal saya. “Tapi aku suka. Atau kalau aku cari yang lebih murah, gimana? Afnan 9pm aja kali, ya? Wanginya mirip Jean Paul Gaultier Le Male, harganya 400.000 rupiah. Boleh enggak kira-kira?” tanyanya. Saya menjawab, “Mungkin kalau nanti kamu sudah bisa mencari uang sendiri, kamu boleh beli parfum sesuka hatimu. Sekarang untuk mama dan papa uangnya mending untuk kebutuhan yang lain. Kondisi kita beda dengan teman sekolahmu yang bisa jajan parfum tiap minggu, sayang!” Ia kembali bertanya, “Jadi, kalau pakai uangku sendiri, boleh beli?”
Dari tatapan matanya saya lihat roda pikirannya berputar dan menemukan jalan solusinya. Seperti sudah dapat ditebak, akhirnya Ethan membeli parfum pertamanya, Afnan 9pm, menggunakan uang yang ia cari sendiri. Bagaimana caranya? Semenjak hari kami berbincang tersebut, dibantu sang ayah Ethan membuka toko di e-commerce menjual botol parfum kosong dan kotak parfum bekas milik kami sekeluarga. Pertama kali dengar ide ini, mana ada, sih, yang mau beli botol dan kotak bekas? Tak ingin mematahkan semangatnya, pikiran itu saya simpan sendiri. Dalam kurang lebih dua bulan, parfum pertamanya terbeli. Girang tak berperi pancaran wajahnya. Usaha berbuah manis. Empat bulan berikutnya, Jean Paul Gaultier Le Male adalah parfum kedua yang Ethan beli dan tebakan saya Xerjoff adalah incaran berikutnya. Semua ia beli dengan uang yang ia cari sendiri.
Ingin rasanya membalas celetukan ibu temannya Ethan di awal cerita saya di atas dengan penjelasan akan rasa bangga kami sebagai orang tua pada proses kerja keras di balik kecintaan Ethan pada parfum. Cerita bagaimana karena minatnya pada parfum high-end yang akhirnya mengasah bibit entrepreneurship dalam dirinya. Tapi ah, sudahlah. Tak semua orang perlu tahu isi dapur setiap keluarga. By not smelling mediocre I know, teens in my house will turn out to be exceptional adults!