Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Mengenal Generasi Z: Mereka Si Generasi Segala Sarana Jenis Komunikasi

Teknologi adalah kebutuhan pokok dan bukan suatu kemewahan bagi generasi hyperconnected ini.

Mengenal Generasi Z: Mereka Si Generasi Segala Sarana Jenis Komunikasi

Sebentar lagi Generasi Z akan (bahkan sudah) menjadi tastemaker dan influencer inti dalam beragam industri, brand, dan platform digital. Disrupsi yang mereka sebabkan akan ikut memengaruhi dan mengubah pandangan generasi lainnya. Sekarang saja sudah terlihat banyak penyesuaian pada kebiasaan dan preferensi generasi ini. 

Generasi ini lahir antara tahun 1996 dan 2012 ke dunia yang sudah terhubung dengan internet, wi-fi dan teknologi lainnya. Jendela dunia digital natives ini hanya layar-layar ponsel, iPad, atau PC dan laptop yang selalu dalam jangkauan. Bagi generasi hyperconnected ini semua harus serba cepat dan efisien. Ada baiknya, ketidaksabaran dan rentang perhatian mereka yang pendek (menurut penelitian lebih pendek daripada ikan mas koki) melahirkan beragam layanan instan dan cepat yang juga dinikmati generasi lainnya. Gen Z menghargai ekspresi individu, menghindari label, tidak begitu konfrontatif, dan terbuka untuk berdialog.

Baca juga: Bagaimana Pergeseran Perilaku Belanja Fashion Anda Selama Pandemi Covid-19? Simak Surveinya!

Pada usia belia mereka sudah pintar memanfaatkan platform yang bisa menantang brand legacy, menciptakan dialog publik, atau memobilisasi suatu gerakan dan tujuan. Salah satu contohnya adalah Greta Thunberg, si aktivis lingkungan. Keadilan sosial dan persamaan hak dianggap sebagai hak dasar kemanusiaan dan bukan aktivisme.

Gen Z adalah generasi yang paling beragam dalam sejarah. Mungkin ini jugalah yang membuat mereka lebih inklusif. Gen Z dan Milenial adalah generasi pertama yang melihat sisi positif perkembangan perubahan sosial seperti persamaan hak dan pengesahan perkawinan LGBT di semakin banyak negara, tuntutan persamaan hak wanita, hak orang-orang kulit berwarna di lapangan kerja dan pemerintahan pada tingkat eksekutif.      

Karena itu, konten individual, social responsibility, dan konsep inclusivity juga dianggap penting. Contohnya Aerie yang digemari Gen Z adalah suatu perusahaan yang merangkul body positivity. Model di foto mereka diperlihatkan apa adanya, tanpa touch up lengkap dengan jerawat, stretch marks, dan semua bentuk keaslian. Aerie Real memilih model yang mewakili seluruh spektrum bentuk tubuh, ukuran, dan warna kulit. Mereka juga mendorong followers berbagi keaslian mereka. Respons pada brand seperti ini dan momentum penerimaan diri (self-acceptance), autentisitas, dan inclusiveness yang mendominasi dialog budaya kini merupakan salah satu penyebab krisis pada sebuah merek pakaian dalam legendaris yang memperlihatkan ketidakrelevanan model yang langsing dan sangat sempurna.

Di samping itu isu lingkungan hidup juga penting bagi mereka. Perubahan iklim memengaruhi pandangan, sikap, dan pilihan yang dibuat oleh generasi muda termasuk Gen Z. Pilihan gaya hidup yang lebih eco-friendly adalah kontribusinya. Contohnya pengurangan jejak karbon, pemakaian plastik, dan konsumsi daging, penggunaan mobil listrik, panel solar, membeli bahan-bahan organik yang didaur ulang dan pilihan-pilihan lain yang lebih baik untuk lingkungan.

Patagonia adalah salah satu brand pilihan populer generasi ini. Patagonia menyumbangkan sepuluh juta dolar yaitu seluruh potongan pajak perusahaannya kepada kelompok yang berkomitmen melindungi udara, tanah, dan air, serta mencari solusi krisis iklim dunia. Jumlah ini di atas jatah satu persen untuk Planet Giving Initiatives yang telah berjalan sejak tahun 1985. Belum lagi dalam pembatasan konsumsi daging untuk mendukung sustainability. Menurut tulisan Vicky McKeever untuk CNBC yang diterbitkan Desember lalu, laporan Euromonitor menemukan Gen Z sebagai kelompok pertama yang sebagian besar anggotanya membatasi konsumsi daging. Hal ini memacu perkembangan alternatif daging plant based atau lab-grown yang akan terus berkembang pesat.

Diam di rumah sambil menonton film, browsing media sosial dan online chatting dengan teman-teman sudah cukup nyaman buat anggota Gen Z. Mungkin ini juga sebabnya mereka tidak sebandel generasi-generasi sebelumnya. Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, secara global jumlah perokok, konsumsi alkohol yang berlebihan, pencandu narkoba, dan eksperimen seks berkurang drastis.

Hiburan yang disukai generasi ini di antaranya adalah mencari musik baru dan mendengarkannya (di YouTube dan Spotify), menonton film (Netflix atau Amazon Prime), menonton video-video pendek (YouTube), dan membaca atau menonton film anime dan bermain game secara daring. Pilihannya tak terbatas. Video dengan pranks yang diterima atau dilakukan oleh selebriti juga merupakan salah satu favorit. Di samping itu juga banyak waktu dihabiskan menonton video anjing atau kucing yang cute dan tentunya kegiatan di media sosial.

Populasi global Gen Z sebagai konsumen diperkirakan akan mencapai 40 persen di tahun 2020 (seturut penelitian Deloitte di tahun 2019). Dikutip dari tulisan Norman Harsono di The Jakarta Post, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) lebih dari separuh populasi di Indonesia adalah Gen Z. Ini berarti Gen Z akan menjadi kekuatan ekonomi berikutnya. Secara global daya beli Gen Z diperkirakan dapat mencapai 140 miliar dolar. (Laporan Business Insider yang dipublikasikan awal tahun ini). Perusahaan-perusahaan telah mulai menyesuaikan produk dan layanan serta agenda tujuan sosial agar sesuai dengan harapan Gen Z. Di bidang politik, persamaan hak, pelestarian alam dan perubahan iklim, generasi belia yang vokal ini juga telah memperlihatkan pengaruhnya melalui media sosial. Mereka akan menjadi kekuatan pendorong yang lebih kuat lagi dalam beragam sektor setelah memasuki lapangan kerja nanti.   

Likes menjadi semacam afirmasi yang adiktif.

Media sosial adalah sumber inspirasi, informasi, hiburan, dan pengetahuan bagi Gen Z. Likes menjadi semacam afirmasi yang adiktif. Bahkan media sosial bisa menjadi sumber penghasilan. Popularitas selebriti media sosial bisa mendunia dan penghasilannya berskala besar. Oleh sebab itu medium ini jugalah yang digunakan perusahaan atau politikus untuk menjangkau dan memengaruhi Gen Z. Aplikasi yang digunakan dan cara menggunakannya memudahkan pemahaman komunikasi mereka dan media sosial menjadi perekat digital yang menghubungkan Gen Z dengan orang di sekitar mereka. Ada tujuan tertentu ketika mereka menggunakan sebuah platform tertentu.

Berdasarkan laporan Datareportal Digital 2020: Indonesia, platform media sosial yang paling sering digunakan orang Indonesia berusia 16-64 tahun adalah YouTube 88 persen, WhatsApp 84 persen, Facebook 82 persen, Instagram 79 persen, dan Twitter 56. Sementara platform baru yang sedang naik daun adalah Discord yang asalnya dipakai oleh gamers untuk berkomunikasi. Menurut pengamatan, Gen Z wanita lebih aktif di media sosial sedangkan Gen Z pria lebih banyak menghabiskan waktu bermain video game online. (iGen, Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy-and Completely Unprepared for Adulthood oleh Jean M. Twenge, PhD).

Gen Z wanita lebih aktif di media sosial sedangkan Gen Z pria lebih banyak menghabiskan waktu bermain video game online.

Pengertian uang bagi Gen Z uang bukan selalu berarti lembaran-lembaran di dompet melainkan lebih ke angka saldo di aplikasi bank mereka. Membawa uang tunai malah membuat banyak Gen Z merasa kurang nyaman. Pada satu sisi mereka tidak begitu materialistis tetapi di sisi lain mereka sangat dipengaruhi influencer dan idola-idolanya melalui media sosial. 

KONSEP BERBELANJA GEN Z

McKinsey & Company meneliti 16.000 konsumen Gen Z di Indonesia, Australia, Thailand, China, Jepang, dan Korea Selatan. Survei memperlihatkan ada 26 persen konsumen brand concious di Indonesia yaitu kelompok yang sangat memperhatikan tren dan lalu membeli secara online merek yang sedang trending. Mereka suka mix and match yang menciptakan gaya pribadi. Kelompok ini tidak setia pada label tertentu. Kelompok yang sama ada 24 persen di Australia, 34 persen di China, 24 persen di Jepang, 32 persen di Thailand, dan 14 persen di Korea Selatan. Kelompok premium shopaholics di Indonesia ada 24 persen. Kelompok ini spontan, sangat menyukai shopping dan sangat menikmati setiap prosesnya dari mencari, membandingkan, menyentuh dan mengunjungi toko. Kelompok ini setia pada brand dan memilih brand yang lebih mahal kalau mereka mampu.

Gen Z menilai produk dengan melihat faktor-faktor seperti harga, kegunaan atau keawetan produk. Mereka tidak menoleransi kualitas yang rendah. Ini jugalah yang menyebabkan naik daunnya pasar thrift shop yang digemari gen Z termasuk yang cukup berada. 

Bo Finneman, Associate Partner McKinsey & Company belum lama ini mengatakan di Podcast-nya bahwa ketika populasi Gen Z mencapai skala maksimum 10-15 tahun mendatang, mereka akan mengubah masa depan berbelanja yang berdampak besar menentukan pembelian produk yang juga akan diikuti generasi lainnya.

Sebagai konsumen, Gen Z menginginkan layanan cepat dan efisien. “Showrooming” sangat populer di antara mereka. Urutannya adalah sebagai berikut: Mereka mengunjungi toko untuk menemukan produk yang diingini, melihat review di ponsel, membandingkan harga di toko lain di ponsel walaupun masih di dalam toko, dan mungkin membelinya melalui ponsel dan menerima pesanannya sebelum mereka tiba di rumah. 

Share, rate, like atau dislike serta review ketika mereka berbelanja online tidak bisa dianggap enteng. Kompilasi data konsumen yang luar biasa ini juga bersembunyi di transaksi pembayaran, program loyalty, kegiatan media sosial, kunjungan situs dan platform lainnya. Semua ini memungkinkan terbentuknya analisa dan tanda-tanda prediksi yang membantu marketer, para brand dan pengusaha memenangkan loyalitas generasi ini. Tapi pengumpulan data dan informasi ini tidak mengganggu Gen Z. Mereka pandai mencari jalan untuk mendapatkan atau menghindari feed dan konten yang mereka inginkan atau tidak inginkan. Gen Z juga pintar memverifikasi kebenaran informasi, mencari referensi beragam sumber informasi dan bahkan mengintegrasi pengalaman virtual maupun offline. 

Kalau generasi sebelumnya enggan berbagi informasi pribadi online, Gen Z sama sekali tidak takut. Tetapi sebagai gantinya mereka mengharapkan personalisasi pengalaman customer dari advertensi, check out sampai pengembalian barang yang dirancang khusus sesuai dengan pilihan pribadi. Mereka menginginkan transparansi, komitmen perusahaan tentang gaji merata, inclusiveness, dan tanggung jawab lingkungan. Brand dan perusahaan yang mempunyai misi tujuan sosial yang memperjuangkan sesuatu yang lebih besar dari produk dan keuntungan serta memperlihatkan dampak positif yang mereka lakukan di dunia telah menjadi new normal harapan Gen Z. 

Teknologi adalah kebutuhan pokok dan bukan suatu kemewahan bagi generasi hyperconnected ini. Mereka tidak membedakan hubungan online dan hubungan langsung secara fisik. Komunikasi melalui text message atau e-mail dianggap lebih nyaman dibandingkan dengan komunikasi verbal secara langsung. 

Sebagai pemakai teknologi terbesar, yaitu sekitar 90 persen menurut laporan Bank of America dari artikel CNBC. Gen Z memengaruhi naik turunnya nilai saham perusahaan-perusahaan teknologi raksasa. Carsten Menke, pemimpin riset next generation di bank privat Julius Baer, mengatakan melalui telepon pada CNBC bahwa naik turunnya nilai saham merupakan salah satu indikasi tren konsumen. Contohnya kenaikan nilai saham FAANG (Facebook, Amazon, Apple, Netflix, dan Google) mencerminkan kenaikan pemakaian cloud computing, video streaming, dan lain sebagainya. Kecepatan teknologi mobile memudahkan hidup, tetapi membuat kita semua kecanduan pada ponsel pintar, termasuk pada Gen Z. Mulai dari memesan makanan, berbelanja pakaian, keperluan hidup atau dari supermarket, membuat pekerjaan rumah, melamar pekerjaan, mencari kendaraan dan pasangan hidup, menabung, berinvestasi, kadang dilakukan melalui ponsel. Penggunaan aplikasi bank (banking apps) yang menggunakan roboadvisors, AI chatbots dirancang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang biasanya diajukan pada financial advisors. Chatbot juga telah banyak digunakan sebagai lini pertama pelayanan konsumen. 

TEMAN TIDUR GEN Z

Realitas baru yang memungkinkan keterhubungan dengan internet 24/7 juga menimbulkan banyak pertanyaan seperti misalnya apakah anggota Gen Z cukup tidur, bagaimana dengan kesejahteraan mentalnya, kemampuan belajar, bekerja dan hubungan pribadinya? Jean M. Twenge, PhD seorang profesor psikologi membahas secara luas dampak teknologi pada kesehatan Gen Z di Amerika dalam bukunya iGen, Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy-and Completely Unprepared for Adulthood. Walaupun gambaran Gen Z yang dicitrakan terasa tidak tepat, apalagi untuk mencitrakan secara umum Gen Z Indonesia atau Asia, sorotan masalah kesehatan mental Gen Z dalam buku yang suram ini patut dipikirkan kembali. Media sosial yang terus menyadur foto, video, dan post teman-teman memperlihatkan betapa indah dan sempurnanya hidup mereka dapat memengaruhi kesehatan mental, menurunkan harga diri dan menambah kegelisahan, rasa kurang percaya diri dan stres emosi dalam hidup remaja yang telah rumit.

Riset penulis Zconomy, Dr. Denise Villa and Jason Dorsey dari The Center for Generational Kinetics, statistik menunjukkan 55 persen merasa khawatir dan stres akan post tentang mereka online. Walaupun 46 persen remaja berpikir pada umumnya teknologi tidak baik untuk kesehatan mental, mereka sangat bergantung dan mengandalkan media sosial dan internet. Riset lain seperti publikasi Journal of Abnormal Psychology 2019 mendukung temuan ini. Misalnya tercatat bahwa remaja mengalami 50 persen peningkatan tekanan psikologis yang serius dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu. Media sosial dan cyber bullying merupakan sumber utama stres remaja. Ini karena orang menjadi lebih kejam karena bisa bersembunyi di belakang keyboard dan profil anonim. Pengucilan langsung maupun tidak langsung di media sosial seperti tidak di-tag di foto juga merupakan salah satu penyebabnya. Ada yang mengatakan bahwa Gen Z adalah generasi yang sangat sadar akan kesehatan melihat banyaknya keanggotaan pada fitness center. Tetapi kecenderungan untuk duduk di depan komputer selama berjam-jam agak mempertanyakan hal ini. Statistik yang memberi gambaran akurat pun belum terlihat. 

Pandemi Covid-19 telah mengubah harapan, rencana, impian dan hidup sehari-hari generasi muda. Tadinya Gen Z diperkirakan akan memasuki lapangan kerja pada era berkecukupan. Pergeseran lanskap ekonomi, politik, dan sosial akibat pandemi memaksa mereka mencari alternatif pendidikan, pekerjaan dan perjalanan karier. Ini memperlambat masa depan dan menjadikan mereka dewasa dalam sekejap. World Bank memperkirakan hilangnya penghasilan Gen Z akibat pandemi dapat mencapai 10 triliun dolar tetapi ini tidak mengubah status mereka sebagai kekuatan ekonomi berikutnya. Karantina, lockdown, dan stres akibat keuangan dan kekhawatiran lainnya memperburuk kesehatan mental generasi muda pada umumnya termasuk Gen Z. Walaupun pendidikan dapat diikuti secara online, terlihat penurunan prestasi di antara generasi muda. Apakah mereka bisa bangkit kembali dan menghadapi tantangan masa depan? Ada suara-suara optimis yang mengatakan bahwa Gen Z malah akan melahirkan banyak inovasi kelak. 

Baca juga: 6 Tren Fashion Fall/Winter 2021 Pilihan Editor Bazaar untuk Anda Coba

Baca juga: Simak Perkembangan Tren Pakaian Pria Bernuansa Feminin

Portofolio ini:
Fotografer: Andre Wiredja - NPM Photography
Editor Fashion: Michael Pondaag
Model: Emma - FMI Taipei
Makeup: Teddy Cai - Evan Studio
Hair: away - Eros Studio
Asisstant Stylist: Michelle Othman
Keseluruhan & aksesori: Louis Vuitton