Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Kembalinya Musik Pop Kreatif dalam Terminologi Baru: Indonesian City Pop

Musik masa lalu berjaya lagi dengan nama baru.

Kembalinya Musik Pop Kreatif dalam Terminologi Baru: Indonesian City Pop
Musik lama dengan nama baru Indonesian City Pop

Kembalinya sebuah tren dari masa lalu adalah pola yang kerap terjadi menghiasi putaran zaman dalam budaya pop. Ketertarikan sebuah generasi atas budaya yang pernah lahir sebelumnya memang memiliki daya tarik tersendiri. Sama seperti apa yang terjadi hari ini di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya.

Menariknya lagi adalah di tengah apa yang sedang digandrungi oleh anak muda saat ini dalam konteks seni musik, ialah hadirnya kembali sebuah terminologi lama dengan nama baru, Indonesian City Pop.

Ada beberapa hal yang mengusik saya pribadi atas kemunculannya, istilah Indonesian City Pop misalnya, saya cukup yakin istilah ini hadir atas terinspirasinya genre musik dari Jepang. Secara istilah, ini muncul sangat baru di Indonesia, namun secara genre sebenarnya musik macam ini telah hadir dahulu di eranya lewat nama yang berbeda, para wartawan musik menyebutnya dengan nama Pop Kreatif.

Hubungan bilateral dengan bangsa yang dahulu pernah menjajah Indonesia ini memang berakhir harmonis terlebih sejak masuknya era Orde Baru. Istilah City Pop sendiri lahir di Jepang diperkirakan muncul di kuartal akhir tahun ’70-an hingga ’80-an, kemunculannya terinspirasi oleh gelombang genre AOR (Adult Oriented Rock) yang populer di Amerika dan Eropa. Di era tersebut gelombang AOR ini mewabah ke seluruh dunia termasuk Asia (Jepang dan Indonesia).

Sedikit membahas tentang musik jenis AOR ini sebenarnya dikenal dengan sebutan soft rock atau light rock. Pada dasarnya jenis musik ini adalah percampuran, turunan, dan perkembangan dari jenis-jenis musik pop dan rock yang tumbuh di era sebelumnya seperti klasik R&B, soul, hard rock, sunshine pop, soul, funk, folk rock, yacht rock yang banyak muncul dari California Selatan hingga Britania Raya. Hingga pada akhir ‘80-an jenis musik yang dikenal soft rock ini banyak bermetamorfosis dengan synthesizer dan mulai dikenal dengan sebutan “Adult Oriented”

Apresiasi dan penyebaran AOR sangat luas dan signifikan masuk ke pelosok dunia termasuk Asia, Jepang dan Indonesia salah duanya. Setiap negara memiliki ceritanya masing-masing namun ada benang merah yang menaunginya yaitu modernitas. Akhir era ‘70-an adalah era keemasan Jepang, dikenal dengan istilah Japanese Miracle Boom, ketika Jepang berhasil merevitalisasi perekonomiannya. Inovasi teknologi terjadi besar-besaran kesuksesan ekonomi dan industri telah mencapai puncaknya.

Masyarakat Jepang yang tadinya sebagian besar tinggal di wilayah rural, mengalami urbanisasi ke wilayah perkotaan. Semenjak tahun 1975, penduduk di perkotaan Jepang mencapai 75 persen, situasi tersebut menggambarkan bagaimana masyarakat urban kosmopolitan Jepang lahir.

Bersamaan dengan momen meledaknya AOR di seluruh dunia maka dari itu muncul istilah City Pop atau musiknya orang-orang kota di Jepang, merefleksikan musiknya kaum urban. Banyak adopsi genre dalam City Pop sama seperti musik AOR ditambah pesona tropical Latin dan Karibia bercampur dengan disko, jazz fusion, dan musik Okinawa. Nama-nama seperti Anri, Miki Matsubara, Haruomi Hosono dan Tatsuro Yamashita jebolan band Happy End, Takako Mamiya, Miki Matsubara, Mariya Takeuchi, atau Taeko Ōnuki mengisi jajaran playlist di Jepang saat itu.

Musik lama dengan nama baru Indonesian City Pop
Miki Matsubara

Sementara di tahun yang sama di Indonesia, rezim Orde Baru membuka keran informasi dari Barat, cikal bakal gegar budaya Timur bertemu dengan Barat pun dimulai. Namun bukan hal yang mudah bagi rezim Orde Baru untuk bisa memerintah di Indonesia.

Sejak Orde Lama menyerahkan tongkat estafetnya di akhir tahun ’60-an butuh satu tahun bagi Orde Baru untuk bisa meredam Indonesia. Era ’70-an bukan era yang baik bagi Orde Baru namun etos modernitas mulai tumbuh, lahir banyak pergerakan yang signifikan di ranah budaya pop.

Pertengahan ’70-an, dangdut mulai meroket disusul lagu pop melayu dan sisanya rock, tak jauh dari masa tersebut lahir elite-elite dalam lingkaran industri musik. Kaum Rock banyak berperan dalam melahirkan kaum elitis ini, terus bergerak hingga menyentuh genre lainnya seperti disko.

Imbas meledaknya AOR pun terasa di Indonesia mengingat hubungan bilateral Indonesia-Jepang cukup harmonis maka nama-nama seperti Mariya Takeuchi atau Tatsuro Yamashita dikenal di nusantara. Era ’80-an adaptasi AOR dan City Pop mulai lebih terasa sebut saja kugiran macam Fariz RM, Yockie Suprayogo, Candra Darusman, dan lainnya telah mencetak selera dan standardisasi musik pop modern di Indonesia.

Musik lama dengan nama baru Indonesian City Pop
Fariz RM

Kalau di Jepang dikenal istilah City Pop, di Indonesia para jurnalis musik menamainya dengan musik Pop Kreatif. Ada kesamaan keadaan di sini, era ’80-an adalah era keemasan Orde Baru penanda pembangunan dan lahirnya kosmopolis. Kosmopolis adalah kata kunci bagi istilah ini, musiknya para kaum urban baru kelas menengah.

Seperti antitesis industri musik Pop Daerah dan Dangdut yang memang sedang manguasai pasar. Lalu ketika AOR meledak kembali hari ini mengapa ada istilah Indonesian City Pop? Bukan Pop Kreatif Indonesia? 

Semua berawal dari tahun 2010 ketika Jepang mencetak ulang single-single City Pop semenjak itu dunia seperti melirik lagi. City Pop berevolusi lalu muncul istilah Vaporwave dan Future Funk. Beberapa DJ dan juga para kolektor piringan hitam seperti mengangkat kembali nomor-nomor City Pop di pasaran. Hingga 2017 tercatat dalam algoritma YouTube track Plastic Love milik Mariya Takeuchi yang rilis 35 tahun silam trending dan viral.

Tahun 2019 label Amerika Light In The Attic merilis kompilasi Japanese City Pop circa 1976-1986 dengan embel-embel rarities dan lainnya bertajuk Pacific Breeze. Tentu momentum seperti ini direspons dengan cepat oleh para hipster musik di Indonesia, ketika band ikonis retro macam White Shoes And The Couples Company membawakan track Selangkah ke Seberang milik Fariz RM, belum lagi duo DJ Diskoria yang menghujam lewat track-track killer “Pop Kreatif” disco, funk, boogie klasik di lantai dansa, ditambah ulah multi instrumentalist Mondo Gascaro menggandeng vokalis legendaris Rien Djamain.

Kembali pada munculnya istilah Indonesian City Pop sepertinya memang terminologi yang telan dipilih oleh generasi muda hari ini. Ditemukan 53 playlist di Spotify yang menyematkan istilah Indonesian City Pop, begitu pula yang terjadi di kanal YouTube hashtag Indonesian City Pop berserakan. Dan hari ini nama-nama seperti Ikkubaru, Kurosuke, Parlemen Pop, dan masih banyak lagi menambah serunya liga baru ini. Tak hanya sampai di situ, di pertengahan tahun 2021 lembaga pengarsipan independen Irama Nusantara merayakannya lewat rilisnya album mini kompilasi bertajuk Lagu Baru Dari Masa Lalu berisikan 5 track klasik yang direspons ulang oleh para musisi muda.

Sebuah kolaborasi menarik dari aksi Dhira Bongs yang membawakan lagu Walau Dalam Mimpi milik Ermy Kulit. Sementara kolaborasi Vira Talisa dan Petra Sihombing dengan apik menata ulang lagu Pemuda Indonesia yang populer lewat Rafika Duri. Duet lainnya antara Mondo Gascaro dan Andien membawakan Kisah Insani yang dipopulerkan oleh Chrisye dan Vina Panduwinata. Pasangan Aya Anjani dan Parlemen Pop sukses lewat track Terbanglah Lepas dan hadirnya Kurosuke mewakili karya milik Transs yaitu Senja dan Kahlua menambah gemerlapnya warna lampu kota.

Hasil penjualan kompilasi mini akan didonasikan kepada biaya operasional pengarsipan yang telah dilakukan oleh Irama Nusantara sejak tahun 2013 silam.

Hari ini arwah Pop Kreatif kembali bersemayam di balik jasad Indonesian City Pop ketika sejarah telah berulang dan catatan sejarah baru ini harus ditulis karena evolusi pusaran budaya pop akan terus berputar untuk mencetak masa depan.

 

(Teks: Alvin Yunata; Layout: Sophie El Fasya)