Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Perjuangan Perempuan di Era '20-an pada Serial Cable Girls

Serial Netflix, Cable Girls menghadirkan kisah perjuangan perempuan untuk hidup setara dan mandiri di awal abad ke-20.

Perjuangan Perempuan di Era '20-an pada Serial Cable Girls

Perusahaan Telekomunikasi Nasional yang berlokasi di Kota Madrid menjadi pertemuan lima perempuan dengan beragam latar belakang. Lidia, Carlota, Marga, Sara dan Anģeles adalah karakter yang Anda temukan dalam serial Netflix, Las Chicas del Cable atau Cable Girls yang membawa pesan universal tentang kesempatan bagi perempuan untuk membangun kehidupan dan memperjuangkan kesetaraan di awal abad ke-20.

Sebuah cerita kehidupan perempuan di tahun 1920-an dalam memperjuangkan hak mereka untuk meraih mimpi dan hidup mandiri di tengah industri yang didominasi laki-laki. Bagaimana gambaran perjuangan mereka? Bazaar merangkum cerita mereka yang juga dapat menjadi inspirasi perjuangan Anda saat ini.

1. Demonstrasi menjadi satu-satunya cara menyuarakan opini


Mungkin Anda pernah melihat aksi damai yang dilakukan perempuan di berbagai negara, termasuk Indonesia pada peringatan Hari Perempuan Internasional, dikenal dengan Women’s March. Aksi damai ini tentunya menyuarakan aspirasi perempuan yang memperjuangkan hak dan kesetaraan mereka. Namun, saat ini, banyak komunitas perempuan yang secara terbuka, saling berbagi informasi melalui media sosial sehingga meningkatkan awareness sesama perempuan dan juga laki-laki tentang pemenuhan hak-hak perempuan. 

Pada era 1920-an, komunitas feminis harus beroperasi “di bawah tanah” sehingga tidak mendapatkan tekanan dari penguasa saat itu. Demonstrasi menjadi satu-satunya cara untuk menyuarakan keresahan mereka dan tidak jarang dihentikan secara paksa oleh aparat keamanan setempat. Ketika demonstrasi yang dilakukan komunitas feminis kerap dipandang sebelah mata, mereka pun harus mengambil jalur kekerasan untuk mendapatkan perhatian yang serius terkait ketidakadilan yang mereka alami, dan tidak jarang mereka yang juga menanggung konsekuensinya.

2. Media massa tidak memberi ruang bagi perempuan

Banyak media massa yang kini ditujukan bagi pembaca atau audiens perempuan hingga media massa yang menjadi ruang aspirasi bagi kelompok feminis untuk membuka diskusi tentang isu ketidakadilan yang dialami perempuan. Namun, tahun 1928 ketika semua sektor industri didominasi laki-laki, termasuk radio dan surat kabar.


Meskipun mendapatkan kesempatan untuk menyuarakan pendapat mereka di radio atau menuliskan opini dalam surat kabar, program yang lekat dengan dunia perempuan tidak bertahan lama dan mengalami banyak tekanan bagi kelompok-kelompok yang merasa terancam dengan kelompok feminis saat itu. Selain itu, kesempatan lebih terbuka bagi mereka yang lahir di keluarga bangsawan karena status sosial seseorang memberi akses lebih luas dalam melakukan sesuatu, termasuk untuk menyiarkan sebuah acara atau informasi melalui media massa saat itu.

3. Kemampuan perempuan untuk memimpin banyak ditentang

Ketika perempuan memegang peranan penting dalam dunia profesional, baik menjadi manajer atau bahkan pemilik sebuah perusahaan, tidak jarang diragukan kemampuannya. Dengan stereotipe mengenai perempuan menjalankan peran-peran domestik dan bukan sebagai pengambil keputusan, banyak pekerja laki-laki yang tidak segan melontarkan pernyataan meremehkan atau bahkan merasa rendah ketika perempuan memegang jabatan lebih tinggi dibandingkan mereka.

Kini, semakin banyak perempuan yang memegang peran-peran penting dalam karier mereka. Mulai dari supervisor hingga pemimpin perusahaan, perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menempati posisi sebagai pengambil keputusan dan memiliki ruang yang sama untuk menunjukkan kemampuan mereka terlepas dari penampilan yang kerap dijadikan bahan penilaian.

4. Perempuan hanya boleh memakai gaun atau rok

Ketika membahas tentang penampilan perempuan saat ini, kebebasan untuk berekspresi melalui pakaian sehari-hari semakin terbuka lebar. Perempuan boleh mengenakan celana untuk bekerja ataupun ketika berada di ruang publik atau memilih gaya rambut sesuai preferensi mereka.

Sebab di tahun 1928, hanya laki-laki yang boleh memakai setelan kemeja dan celana, serta hanya perempuan yang boleh memakai gaun atau rok, sebuah peraturan tidak tertulis yang ada di masyarakat. Budaya ini yang kemudian menjadi represif kepada perempuan memakai celana dengan memaksa mereka untuk mengganti pakaian mereka.

5. Perempuan harus terlibat ‘kriminal’ untuk bertahan hidup

Ketika laki-laki dianggap memiliki peran yang dominan, perempuan sering menjadi korban pelecehan laki-laki. Mulai dari bangsawan hingga rakyat biasa, tidak sedikit laki-laki yang bersikap tidak sopan terhadap perempuan yang mereka jumpai. Dalam serial ini, terlihat salah satu karakter harus melakukan tindakan kriminal untuk bertahan hidup. Mulai dari mencuri hingga memasukkan obat tidur kepada laki-laki yang ia temui di sebuah pesta dansa, perempuan pada masa itu harus melakukan berbagai cara licik untuk terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Serial Netflix satu ini hadir untuk mengingatkan semua orang tentang perjuangan perempuan atas pemenuhan hak-hak yang selama ini diabaikan atau bahkan diremehkan oleh laki-laki dan terkadang sesama perempuan. Cable Girls dapat menjadi inspirasi banyak perempuan untuk tidak hanya menyuarakan aspirasi tetapi membangun kehidupan yang mandiri.

(Penulis: Vanessa Masli; Foto: Courtesy of Instagram @chicasdelcable)