Butik serba ada yang ikonis, Barneys, akan ditutup setelah mengajukan kebangkrutan. Department store di New York ini telah merasakan efek kenaikan harga sewa dan menurunnya angka pengunjung ke butik fashion mewah tersebut.
Dengan estimasi utang di kisaran $100 juta hingga $500 juta, Barney's telah berusaha mencegah kebangkrutan dengan cara mencari rekan untuk kerja sama atau pembeli, menurut Business of Fashion.
George Angelich, dari firma hukum Arent Fox menjelaskan bahwa sangat sulit untuk mempertahankan keuntungan ketika harga sewa meningkat dan konsumen lebih suka membeli secara online daripada di toko.
Penutupan ini menandai perubahan untuk high street, karena sekarang banyak konsumen yang lebih menyukai belanja online daripada di toko.
Di Inggris ada tekanan serupa. Satu dari 12 toko high-street Inggris telah ditutup dalam lima tahun terakhir menurut Guardian. Pada bulan Juni, Topshop yang dulunya merupakan butik high street terbesar di Inggris, diselamatkan dari kebangkrutan setelah menandatangani company voluntary arrangement (CVA). CVA tersebut menyetujui pemotongan harga sewa hingga 50 persen, penutupan 23 toko, dan pemecatan 520 karyawan.
Barneys dengan cepat menjadi ikon mode tertinggi untuk pria dan wanita di tahun '70-an, setelah awalnya didirikan sebagai retailer busana pria pada tahun 1923. Toko di Manhattan ini sempat bangkrut sebelumnya pada tahun 1996 setelah berselisih dengan mitra Jepang.
Pada tahun 2019, retailer ini dimiliki oleh investor Richard Perry dan mengoperasikan toko di kota New York tepatnya di area Madison Avenue dan Chelsea. Lokasi toko lainnya termasuk di Beverly Hills, Chicago, Seattle, Boston, San Francisco, dan Las Vegas.
Barneys berencana untuk mengurangi toko di Madison Avenue untuk mengurangi sewa tahunan yang telah naik menjadi tiga kali lipat tahun ini menurut Bloomberg.
(Penulis: Jessica Davis; Artikel ini disadur dari Bazaar UK; Alih bahasa: Danes Wara; Foto: Courtesy of Bazaar UK)