Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Mengapa Banyak yang Berhenti Membaca?

Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa separuh dari orang dewasa di Inggris tidak membaca, sementara 15 persen di antaranya mengaku belum pernah membaca hanya untuk sekedar hiburan.

Mengapa Banyak yang Berhenti Membaca?
Courtesy of BAZAAR UK

Selama masa lockdown, hampir selalu ada buku di tangan saya. Meskipun secara fisik kita terkurung di rumah, imajinasi saya menjelajahi dunia-dunia yang digambarkan oleh kata-kata; mulai dari realisme magis yang memukau karya Salman Rushdie, hingga ketegangan tanpa emosi dari Bret Easton Ellis, dan ketidakpastian mencekam dari Paula Hawkins. Saya membaca dengan antusias, melahap buku demi buku untuk memuaskan nafsu saya akan cerita; begitu selesai satu buku, saya langsung mencari yang berikutnya. Catatan di aplikasi Notes menunjukkan saya membaca 68 buku pada tahun 2020. Kini, melihat daftar bacaan saya tahun 2024, jumlahnya jauh berkurang. Tentu saja, sulit untuk terus membaca sebanyak saat lockdown, ketika tidak ada yang bisa dilakukan selain membaca, tetapi saya tidak pernah berpikir akan sampai pada tahap di mana saya kesulitan membaca sama sekali.

BACA JUGA: Membaca Secara Fisik vs Digital, Mana yang Sekarang Jadi Favorit?

Saya bukan satu-satunya yang mengalami kebuntuan membaca. Penelitian baru dari The Reading Agency menunjukkan bahwa setengah dari orang dewasa di Inggris "tidak membaca" – turun dari 58 persen yang menganggap diri mereka pembaca rutin pada tahun 2015. Lebih mengkhawatirkan lagi, 15 persen mengaku "tidak pernah" membaca untuk kesenangan. Masalah ini juga terjadi pada kaum muda; seperempat dari mereka yang berusia 16 hingga 24 tahun menyatakan tidak pernah menjadi pembaca.

Mengapa kita semua semakin jarang membaca buku? Survei menunjukkan bahwa 33 persen responden menyalahkan kesibukan sebagai penyebabnya. Memang benar, hidup semakin penuh dengan aktivitas, meskipun banyak dari kita bertekad untuk mempertahankan ritme yang lebih lambat yang kita nikmati selama masa lockdown. Mengatur waktu antara pekerjaan, olahraga, mengurus anak, bersosialisasi, dan tidur dalam 24 jam memang sudah cukup sulit, apalagi mencoba menyempatkan diri untuk membaca buku-buku bestseller. Sebagai seseorang yang pekerjaannya adalah menikmati dan merekomendasikan budaya terbaik, jika saya merasa ini sulit, bagaimana orang lain yang harus menyeimbangkan pekerjaan dan tanggung jawab keluarga bisa melakukannya?

Kesibukan memang menjadi salah satu faktor, tapi bukan satu-satunya alasan saya jarang membaca. Sebenarnya, saya merasa sering tidak punya cukup kapasitas mental untuk duduk dan menikmati buku. Sebuah penelitian oleh Pusat Perhatian King’s College London menemukan bahwa 49 persen orang dewasa merasa rentang perhatian mereka lebih pendek dari sebelumnya, dan 47 persen percaya bahwa "deep thinking" kini menjadi hal yang langka.

Perhatian saya sering terganggu oleh notifikasi, peringatan, dan pesan, dengan konten media sosial yang menempel di kepala seperti lem. Alih-alih meringkuk di tempat tidur dengan buku, saya malah menghabiskan waktu untuk menggulir TikTok, melihat video-videonya yang tidak berarti dan sebenarnya tidak saya minati. Saya menyesali semua waktu yang saya buang di ponsel, padahal bisa saja saya menggunakan waktu itu untuk membaca buku yang benar-benar memperkaya pikiran. Masa lockdown memang sulit, tetapi membaca yang terus-menerus membantu saya melewatinya, karena aktivitas ini terbukti baik untuk kesehatan mental.

Penelitian Dr. David Lewis menunjukkan bahwa membaca hanya enam menit sehari bisa mengurangi tingkat stres hingga 60 persen, dengan menurunkan detak jantung, meredakan ketegangan otot, dan mengubah kondisi pikiran. Tanpa buku, saya mungkin sudah merasa terjebak di kamar apartemen yang sempit ini; tidak mungkin terus-menerus menonton Netflix sepanjang minggu.

Courtesy of BAZAAR UK

Kepopuleran adaptasi Netflix terbaru, seperti One Day, telah membuat banyak penonton tertarik untuk mencari buku-buku yang menjadi dasar cerita tersebut.

Meskipun sekarang banyak yang kesulitan memulai membaca, ada harapan bahwa kita akan kembali menikmati buku. BookTok menetapkan tren bacaan wajib bagi Gen Z dan generasi lainnya; selebriti seperti Reese Witherspoon, Dua Lipa, dan Emma Watson telah meluncurkan klub buku mereka sendiri; adaptasi TV populer seperti One Day dan The Decameron mendorong orang untuk membaca versi paperback aslinya (41 persen responden dalam laporan oleh The Reading Agency mengaku terinspirasi untuk membaca sesuatu dari film atau acara TV).

Kemajuan teknologi yang canggih mungkin telah mengalihkan perhatian kita, tetapi kemampuan membaca dan keuntungan yang diberikannya – menjelajahi dunia baru, memahami perspektif baru – adalah sebuah anugerah. Anugerah ini seharusnya kita hargai kembali.

BACA JUGA:

36 Film Favorit Bazaar yang Diadaptasi dari Buku

Angelina Jolie Katakan Bahwa Buku Barunya Adalah Untuk "Anak Muda yang Memperjuangkan Hak Mereka"

(Penulis: Kimberley Bond; Artikel ini disadur dari: BAZAAR UK; Alih bahasa: Vanesa Novelia; Foto: Courtesy of BAZAAR UK)