
Di tengah dunia kerja yang terus berkembang pesat akibat kemajuan teknologi AI, muncul kesepakatan di kalangan pekerja muda: keterampilan soft skill seperti empati, komunikasi, dan kepemimpinan dinilai lebih penting untuk kemajuan karier dibandingkan hard skill. Survei terbaru dari Deloitte terhadap Generasi Z dan milenial yang melibatkan lebih dari 23.000 responden dari seluruh dunia mengungkapkan bahwa 8 dari 10 profesional muda percaya bahwa kualitas manusiawi ini sangat penting untuk menonjol dan berkembang, sementara hanya 6 dari 10 yang menganggap keterampilan AI sebagai sesuatu yang cukup atau sangat dibutuhkan. Apa yang sebenarnya ada di balik angka-angka ini?
BACA JUGA: Capai Harmonisasi Hidup dan Pekerjaan Melalui cara-Cara yang Tepat dan Menenangkan Jiwa

Unsur manusia di dunia yang digerakkan oleh AI
Seperti yang disampaikan Elizabeth Faber, Chief People and Purpose Officer global Deloitte, “Di era GenAI, unsur manusia adalah pembeda utama bagi para profesional. Keterampilan lunak menjadi jembatan antara manusia dan mesin, membantu individu dalam menghadapi masalah kompleks, berkolaborasi lintas tim yang beragam, serta memimpin dengan orisinalitas di lingkungan yang semakin dinamis.”
Pandangan ini sangat selaras dengan pendapat Sonali Karmarkar, Kepala Konten dan Komunitas YouTube Shopping yang berusia 31 tahun. Sonali menekankan bahwa “keterampilan lunak itu tidak bisa ditiru, sangat sulit untuk diajarkan, namun sangat penting dalam dunia profesional.” Baginya, keterampilan ini “memungkinkan seseorang untuk terhubung dengan rekan kerja, mitra bisnis, dan bawahan langsung,” serta membentuk bagaimana seseorang memengaruhi dan meningkatkan proyek melampaui kemampuan teknis.
“Keterampilan lunak tidak bisa ditiru. Keterampilan ini sangat sulit untuk diajarkan, namun begitu krusial dalam dunia profesional”
Pelatih karier asal New York City, Eliana Goldstein juga sependapat dengan pandangan ini. Ia mencatat bahwa meskipun AI kini “merambah begitu banyak tempat kerja” dan menimbulkan kekhawatiran bagi banyak orang, “ada orang-orang yang takut dan khawatir akan (kemungkinan mereka) digantikan oleh AI. Dan kalau memang iya, kapan hal itu akan terjadi? Apa yang harus saya lakukan?” Namun, Eliana menekankan pentingnya mengubah rasa takut tersebut menjadi peluang. “Begitu benih itu ditanam, orang-orang mulai merasakan semangat itu, seperti, ‘Oh, ini adalah peluang yang sangat menarik buat saya sekarang. Bagaimana saya bisa memanfaatkannya?’”

AI sebagai alat, bukan pengganti
Menurut survei Deloitte, lebih dari separuh pekerja Gen Z dan Milenial telah mulai mengintegrasikan AI dalam tugas harian mereka, mulai dari brainstorming ide, pembuatan konten, analisis data, hingga manajemen proyek. Namun, banyak dari mereka menyadari bahwa AI adalah pelengkap, bukan pengganti, dari keterampilan lunak.
Valerie Chapman, kreator teknologi dan AI berusia 26 tahun menyoroti bagaimana AI telah mengubah cara ia bekerja “AI memungkinkan saya memperluas jangkauan, membangun posisi saya sebagai ahli di bidang tertentu, dan memperkuat suara saya dengan cara yang sebelumnya sulit dibayangkan.” Meski begitu, ia menegaskan bahwa “AI melengkapi (keterampilan lunak) dengan sangat baik, memungkinkan kita memperkuat suara dan membagikan cerita dengan lebih efektif.” Bagi Valerie, perpaduan antara AI dan keterampilan lunak membawa harapan, terutama bagi kelompok-kelompok yang selama ini kurang terlayani seperti perempuan, karena dapat membantu membangun rasa percaya diri dan memperjuangkan diri mereka sendiri.
Eliana menambahkan bahwa meskipun banyak orang menganggap AI itu intuitif, “nyatanya masih banyak yang belum memanfaatkannya secara maksimal.” Ia menjelaskan bahwa bukan berarti orang-orang memerlukan pelatihan teknis mendalam, melainkan perlu mengubah cara pandang mereka terhadap penggunaan AI. Contoh paling umum adalah membantu menyusun email agar terdengar lebih profesional atau merancang presentasi penjualan dan hal itu menegaskan luasnya potensi aplikasi AI di berbagai industri.
“AI melengkapi (keterampilan lunak) dengan indah, memungkinkan kita memperkuat suara dan membagikan cerita dengan lebih efektif.”
Namun, Briana Henry seorang insinyur teknis senior berusia 34 tahun di Namaste Solar Electric memberikan catatan penting. Ia mengakui bahwa ia “sering lupa bahwa AI itu ada” karena pekerjaannya yang sangat teknis dan sensitif terhadap keselamatan, di mana ketergantungan pada AI masih dibatasi oleh pertimbangan tanggung jawab hukum dan kepercayaan. Briana mengkhawatirkan bahwa terlalu bergantung pada AI justru dapat melemahkan kemampuan pemecahan masalah kreatif dan menurunkan keterampilan teknis yang penting. Ia menekankan bahwa “setiap orang harus tetap memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengevaluasi hasil dari AI demi memastikan akurasinya.”
Keterampilan lunak sebagai pembeda karier
Pandangan bahwa keterampilan lunak semakin penting tercermin dalam cara generasi muda memandang kemajuan karier. “Terutama ketika seseorang telah mencapai level yang lebih senior, hal-hal yang tidak terlihat seperti ini lah yang membedakan mereka, karena keterampilan teknis menjadi standar dasar,” jelas Sonali. Ia melihat keterampilan lunak sebagai kunci dalam memotivasi tim, membimbing individu, dan beradaptasi dengan cara-cara yang tidak dapat ditiru oleh teknologi.
Eliana memperkuat pandangan ini dengan menekankan bahwa meskipun keterampilan teknis itu “sangat penting,” semua orang bisa mempelajarinya melalui pelatihan atau kursus. Sebaliknya, “jauh lebih sulit untuk mempelajari keterampilan lunak,” ujarnya. “Kemampuan berkomunikasi itu kadang datang secara alami atau bisa jadi sangat sulit, entah karena gugup saat berbicara di depan orang banyak atau alasan lainnya.” Ia menegaskan bahwa keterampilan lunak memainkan peran tak tergantikan di era AI. “Manusialah yang berkomunikasi dengan tim lain dan memanfaatkan keterampilan lunaknya untuk menyebarkan pemanfaatan AI di dalam organisasi atau tim.”
Briana pun membuktikan hal ini lewat pengalamannya sebagai pemimpin. “Saya pernah memegang posisi kepemimpinan dan mengambil keputusan dalam proses rekrutmen maupun tindakan disipliner, dan saya berulang kali melihat bahwa orang-orang yang memiliki keterampilan lunak justru yang paling unggul dan alasan mengapa seseorang harus diberi tindakan disipliner sering kali karena kurangnya keterampilan lunak,” tuturnya.
Valerie menambahkan bahwa di tengah lanskap yang dibanjiri konten hasil buatan AI, “koneksi manusia yang tulus dan kecerdasan emosional menjadi hal yang sangat langka sekaligus bernilai tinggi.” Baginya, keterampilan lunak seperti kemampuan bercerita, empati, dan komunikasi adalah “inti dari bagaimana kita terhubung dengan teknologi,” terutama bagi perempuan yang harus menavigasi tantangan di tempat kerja.
“Saya sudah berkali-kali melihat bahwa orang-orang dengan keterampilan lunak yang dibutuhkan dalam pekerjaan justru yang paling berhasil.”

Mengembangkan keterampilan lunak di dunia yang didominasi teknologi
Meskipun banyak perusahaan menawarkan pelatihan teknis, pengembangan keterampilan lunak masih sering dianggap opsional atau kurang dihargai. “Pelatihan soft skill sering dipandang hanya sebagai ‘tambahan’ dan bukan suatu keharusan, sehingga karyawan tidak terdorong untuk meluangkan waktu mengasah kemampuan komunikasi mereka,” ujar Sonali. Ia mendorong agar pelatihan soft skill diwajibkan sebagai pendamping pelatihan teknis, sehingga pekerja lebih siap untuk berkolaborasi dan memimpin.
Eliana menegaskan bahwa dukungan dari perusahaan terhadap pengembangan soft skill sangat bergantung pada pimpinan. “Semua tergantung pada kepemimpinan,” jelasnya. “Kalau pemimpin peduli pada hal-hal seperti itu, maka semangat itu akan menyebar ke seluruh organisasi. Kalau tidak, ya tidak akan terjadi.” Ia menekankan bahwa investasi pada soft skill justru akan memperkuat budaya kerja. “Berinvestasi pada keterampilan lunak tak hanya akan membantu perusahaan lebih sukses, tetapi juga penting untuk menjaga loyalitas karyawan.”
Briana mengaitkan berkembangnya keterampilan lunaknya dengan budaya koperatif di perusahaannya, yang memberinya banyak kesempatan untuk berlatih kepemimpinan dan kerja tim. “Menjadi salah satu pemilik perusahaan telah membantu saya mengembangkan keterampilan kerja sama tim, komunikasi, pemecahan masalah, kepemimpinan, dan banyak aspek soft skill lainnya,” ujarnya. Namun, ia juga menyadari bahwa tak semua perusahaan menyediakan dukungan yang cukup untuk pengembangan keterampilan tersebut.
“Berinvestasi dalam keterampilan lunak tidak hanya akan membuat perusahaan lebih sukses, tetapi juga membantu mempertahankan karyawan.”
Valerie, yang membangun personal brand-nya secara terbuka, menekankan pentingnya pertumbuhan yang digerakkan oleh diri sendiri. “Saya mengembangkan soft skill saya dengan membagikan perjalanan saya secara terbuka di media sosial,” jelasnya. “Praktik ini secara alami meningkatkan rasa percaya diri, mempertajam keterampilan komunikasi, dan memperluas jaringan saya secara signifikan.” Ia juga memperingatkan bahwa tanpa integrasi AI yang bijak, karyawan bisa merasa cemas atau takut alih-alih merasa diberdayakan, sebuah celah penting dalam pelatihan di tempat kerja.
Masa depan digerakkan oleh manusia
Pesan dari para pekerja Gen Z dan Milenial jelas: di tengah lanskap kerja yang semakin dibentuk oleh AI, kualitas-kualitas yang membuat kita manusia seperti empati, kepemimpinan, dan komunikasi adalah kunci sebenarnya untuk kemajuan karier. Keterampilan ini tak hanya membantu individu menggunakan teknologi secara lebih efektif, tetapi juga membangun hubungan autentik yang tak bisa digantikan oleh mesin.
Sonali merangkum dengan singkat, “Soft skill adalah hal yang akan membedakan kandidat dalam kemampuannya memanfaatkan teknologi untuk menemukan solusi baru, mensintesis informasi secara efektif untuk menyelaraskan visi jangka panjang, dan menyampaikannya secara meyakinkan kepada audiens yang dituju.”
Pada akhirnya, menguasai AI memang penting, tetapi sentuhan manusia tetap menjadi faktor penentu utama dalam kesuksesan profesional.
BACA JUGA:
Bagaimana untuk Tetap Termotivasi Saat Berada di Puncak Karier?
Apa yang Harus Dilakukan Jika Tidak Lagi Menikmati Pekerjaan Anda?
(Penulis: Ariana Marsh; Artikel ini disadur dari: BAZAAR UK; Alih bahasa: Amadea Saskia Putri; Foto: Courtesy of BAZAAR UK)