
Di penghujung bulan Mei 2025, Asmara Abigail menjadi bagian dari sembilan figur kreatif yang diundang untuk mewakili wajah baru budaya Indonesia dalam perayaan 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Prancis. Acara berlangsung di Candi Borobudur, warisan dunia yang tak hanya menyimpan sejarah, tapi juga menjadi ruang kontemplasi bagi kerja sama dua negara yang terus tumbuh melalui seni.


“Saya terbang dari Jakarta menuju Yogyakarta bersama rombongan besar bhante,” ujar Asmara. “Borobudur bukan sekadar situs religi. Ia adalah jembatan spiritual dan simbol pertemuan lintas peradaban.” Di pagi hari yang tenang dan hangat, para bhiksu dari berbagai negara Asia berkumpul untuk memanjatkan doa atas kolaborasi yang terjalin dan akan terus berkembang.

Sebagai aktris yang telah lama berkarya lintas benua, Asmara mengenakan setelan kontemporer rancangan Harry Halim, dipadukan dengan batik wiron Danar Hadi milik sang nenek yang telah berusia puluhan tahun. Warna merah dan biru dari busana yang ia kenakan merepresentasikan les trois couleurs de la France—le bleu, le blanc et le rouge. “Kombinasi itu terasa sangat personal, namun sekaligus mencerminkan semangat kolektif yang kami bawa hari itu,” katanya.

Ia bergabung bersama delapan nama lain yang mewakili spektrum kreativitas Indonesia masa kini. Ada Shafiq Husein dari dunia gim digital, sutradara film Wregas Bhanuteja, Thresia Mareta pendiri Lakon Indonesia, Chef Renatta Moeloek, desainer Harry Halim, serta Jun Tirtadji dari Roh Projects. Juga duo seniman dan kurator Suriawati Qiu dan Jindee Chua dari CushCush Gallery di Bali.
Dalam acara tersebut, kedua Presiden mengadopsi deklarasi strategi budaya yang menekankan kerja sama di bidang warisan, museum, dan ekonomi kreatif. Program seperti Pintu untuk mode, Indonesia-France Film Lab, SEA Games Connect, dan berbagai program residensi akan menjadi platform konkret yang menjembatani pelaku budaya dari kedua negara.

Asmara mengenang bagaimana Prancis telah menjadi bagian penting dalam perjalanan kariernya. “Oktober 2013, saya tiba pertama kali di Paris. Lagu La Javanaise mengalun dari dalam taksi saat kami melintasi Pont Alexandre III. Sepuluh tahun kemudian, wajah saya muncul di berbagai sudut kota saat Setan Jawa diputar selama tiga malam di Musée du Quai Branly,” ceritanya. “Saya menyadari, saya tidak pernah berhenti berdansa, dengan tubuh, dengan mimpi, dan dengan sinema.”

Saat diperkenalkan kepada Presiden Macron, Asmara menyampaikan langsung bagaimana dialog budaya antara Indonesia dan Prancis telah menginspirasi karyanya. “Saya belajar mengapresiasi keindahan dari dimensi yang berbeda dan bagaimana kolaborasi lintas budaya dapat menjadi fondasi yang kokoh untuk karya-karya yang akan datang,” tuturnya.
Di momen itu, ia juga menyebut beberapa proyek terbarunya kepada Presiden Macron, Ibu Brigitte Macron, dan Menteri Kebudayaan Prancis Rachida Dati. Termasuk penampilannya dalam The Impossible Shadow di Institut Français d’Indonésie, serta keterlibatannya dalam film produksi Inggris The Ghost & The Gun yang baru saja mengadakan launching party di Cannes.

Kolaborasi ini tidak akan terwujud tanpa dedikasi berbagai pihak. Dari Ambassade de France di Jakarta yang dipimpin oleh H.E. Fabien Penone, hingga Jules Irrmann dan Charlotte Esnou, serta dukungan dari Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia. Dalam pertemuan yang sakral ini, para seniman hadir bukan sekadar sebagai individu, tetapi sebagai bagian dari gelombang baru yang membawa semangat Indonesia ke panggung global.