Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Setelah FOMO dan YOLO, Kini Terbitlah YONO

Bukan sekadar tren, saatnya menyelami YONO sebagai cerminan perubahan cara hidup dan berpikir.

Setelah FOMO dan YOLO, Kini Terbitlah YONO

Awal tahun ini terasa berjalan lebih lambat dari biasanya. Banyak yang bilang karena kondisi ekonomi global yang masih dalam tahap pemulihan. Ditambah lagi, awal tahun kemarin cukup berdekatan dengan bulan Ramadan, membuat banyak pebisnis menjadi lebih hati-hati dalam mengatur arus keuangan mereka. Katanya sih, wait and see - menunggu dan melihat apa nantinya. Tapi saya pun ikut bingung, sebagai rakyat biasa tanpa bekal analisis ekonomi yang mendalam. Yang jelas, orang-orang di sekitar saya berubah jadi lebih selektif dalam membelanjakan uangnya. Apakah ini juga karena pengaruh perubahan pola pikir generasi muda yang sudah tak lagi hidup boros dengan semangat YOLO (You Only Live Once) dan beralih ke adopsi gaya hidup YONO (You Only Need One)? 

BACA JUGA: Pengumuman Lengkap Pemenang Bazaar Beauty Awards 2025

Memang dari pertengahan tahun 2024, sudah mulai banyak orang yang mengajak untuk hidup lebih sederhana dan bijak dalam menggunakan uang, terarah dan terencana. Gaya hidup YONO sering dianggap sebagai langkah bijak dan penuh kesadaran dalam menghadapi tekanan hidup serta tuntutan zaman. Tidak jelas siapa yang pertama kali mempopulerkan semangat hidup ini. Apakah semangat YONO berakar dari gaya hidup minimalis? Bisa jadi. Marie Kondo misalnya, mulai menarik perhatian dunia pada tahun 2014 saat bukunya terbit di Amerika, mengajak banyak orang dengan pendekatannya yang lembut namun tegas untuk merapikan hidup dengan hanya menyimpan barang yang benar-benar membawa kebahagiaan. Dengan cara ini, diharapkan hidup lebih terarah dan penuh vitalitas. Di tahun yang sama, Joshua Becker juga menyuarakan pentingnya hidup minimalis lewat bukunya. Pada tahun 2010, Joshua Fields Millburn dan Ryan Nicodemus mulai memberikan semangat minimalisme melalui website-nya,  meski baru benar-benar mendapat sorotan global setelah dokumenter mereka tayang di Netflix pada 2016. 

“Always Choose Quality Over Quantity. This Rule Applies To Every Life Situation.” — His Holiness The Dalai Lama.

Dunia seni di tahun 60-an sebenarnya sudah lebih dulu menghargai minimalisme. Nama-nama seperti Henry David Thoreau dan John Ruskin bahkan sering disebut sebagai bapak gerakan ini. Jadi siapa sih sebenarnya yang pertama memulai gaya hidup minimalis? Kalau ditilik lebih jauh ke belakang, sebenarnya hampir semua tokoh agama juga mengajarkan hidup sederhana. Yesus, Buddha, Nabi Muhammad - semua punya ajaran untuk menahan diri dari godaan dunia dan tidak terjebak dalam keinginan memiliki secara berlebihan. Jadi mungkin, semangat hidup sederhana itu memang sudah ada sejak dulu. Malah kalau dipikir, mungkin lebih gampang mencari siapa yang pertama kali mempopulerkan gaya hidup YOLO (You Only Live Once) ketimbang YONO (You Only Need One). Karena sebenarnya, prinsip YONO itu sudah tertanam dalam diri manusia sejak awal. Contohnya saja Adam dan Hawa—hanya butuh satu buah apel untuk menggoda mereka. Godaan memang selalu dimulai dari satu. Lalu berkembang jadi dua, tiga, dan seterusnya.

Akhir Februari 2025 kemarin, situs The Korean Times merilis kembali artikel keuangan mereka yang ditulis pada pertengahan 2024, seolah kembali mengingatkan alasan banyaknya anak muda Korea hidup mengencangkan ikat pinggangnya. Mulai dari menurunnya belanja di department store, minum kopi premium, sampai pembelian mobil impor yang melambat—semua jadi bukti bahwa gaya hidup perlahan mulai berubah.  Memangkas gaya hidup dari tak lagi setiap saat makan di restoran hingga menahan nafsu untuk tidak mengikuti pergantian tren fashion menjadi pilihan masuk akal yang dilakukan. Hidup tak lagi hanya tentang menikmati keinginan sesaat. Pemahaman apa yang dilakukan hari ini akan mempengaruhi kehidupan esok, perlahan dan pasti menjadi semakin tajam.

"You only need one life to make an impact."

Di sisi lain, semangat YOLO juga punya sisi positif. Ia membangkitkan semangat untuk berani mencoba dan menikmati hidup. “Hidup cuma sekali” kadang memang bisa jadi alasan yang bagus untuk berhenti menunda dan mulai bertindak. Tapi kalau terus-menerus dilakukan, bisa-bisa kita malah kehilangan rasa syukur atas apa yang sedang dijalani. Akhirnya, bukan menikmati hari ini, tapi terus mengejar yang berikutnya. YONO justru datang sebagai penyeimbang. Ia mengajak kita berhenti sejenak, menanyakan ulang: apa yang benar-benar penting? Kadang cukup satu saja—satu pekerjaan yang bermakna, satu pasangan jiwa, satu tujuan yang jelas. YONO meminta kita untuk melihat apa yang sebenarnya penting dan berarti. Berpikir lebih matang soal masa depan sekarang mulai jadi bahan bakar utama buat banyak orang. Soalnya, hidup itu tidak cuma soal hari ini saja. YONO mengajak kita buat berpikir ulang: apa sih yang benar-benar penting dan bermakna? Bukan cuma soal tidak lagi berfoya-foya hari ini demi hidup mapan nanti, tapi juga soal berhenti memaksa diri—karena menikmati hidup sekarang itu juga tidak kalah penting. Kalau sekarang belum bisa, ya enggak apa-apa. Kita tumbuhkan dulu kemampuan kita, biar hari esok lebih siap. Mungkin itu pesan paling jujur dari gaya hidup YONO. Bukan cuma soal puasa beli barang setahun penuh atau ngerasa lebih baik karena memilih kualitas. Bukan juga soal mengurangi barang tapi malah jadi numpuk emosi yang belum kelar.

YONO meminta kita untuk benar-benar menilik apa yang sekarang penting dan bermakna buat kita sendiri. Jadi kalau jawaban saya beda sama Anda, ini wajar saja karena keadaan kita tidak sama. Habis FOMO terbitlah YOLO, karena YONO hidupku yo wes. Biarin saja orang lain mau ngapain. Uang juga uang mereka, hidup ya hidup mereka. Saya sih mengurus hidup saya saja. Kalau memang belum mampu, ya nggak usah maksain sampai stres karena takut ketinggalan. Kadang kita ngumpet di balik “hidup cuma sekali, nikmatin aja,” tapi realitanya besok hidup malah berasa seperti mati. Buat apa? Orang lain bisa, belum tentu kita juga bisa. Yo wes. Kadang kita sebenernya bisa, tapi ternyata emang tidak mau. Kalau udah ngerasa mau dan mampu, coba deh tanya dulu ke diri sendiri: ini beneran penting dan bermakna nggak? Biar nggak jadi kecanduan. Soalnya, hidup saya ini cuma sekali juga, masa mau terus-terusan ikut aturan orang? You only need one life to make an impact. YONO. Hari ini makan warteg pakai ojol, bulan depan makan fine dining di hotel bintang lima. Yo wes!

BACA JUGA:

3 Perawatan Kecantikan Terbaru untuk Mempercantik Langkah Kaki Anda

Kolostrum: Rahasia Lama yang Kini Jadi Tren Baru di Dunia Kecantikan

Baca artikel Diary Dave yang berjudul "YOLO vs. YONO" yang terbit di edisi cetak Harper's Bazaar Indonesia - April 2025; Disadur oleh: Chelsea Allegra.