Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Apa yang Dapat Anda Pelajari dari Pameran Fashion Terbaru di MET

‘Superfine: Tailoring Black Style’ Membawa dandisme ke panggung utama yang penting.

Apa yang Dapat Anda Pelajari dari Pameran Fashion Terbaru di MET

Tahun lalu, ketika Museum Seni Metropolitan mengumumkan pameran mode musim semi 2025 bertajuk ‘Superfine: Tailoring Black Style, saya benar-benar terkejut. Untuk pertama kalinya dalam sejarahnya yang ke 88 tahun, Costume Institute di MET secara langsung mengangkat isu ras.

Ras adalah isu yang kompleks dan berlapis. Ketidakmampuan memahami nuansa sekecil apa pun bisa menggagalkan niat paling tulus sekalipun. Kebanyakan orang memilih untuk tidak membicarakannya, sehingga kita, sebagai masyarakat, tidak pernah belajar membangun dialog yang produktif. Akibatnya, pola pikir kuno dan berbahaya terus berkembang tanpa terkendali, sementara kemajuan nyata menjadi perjuangan yang nyaris mustahil.

Di dalam Superfine: Tailoring Black Style, pengarahan artistik dilakukan oleh Elizabeth Karp-Evans dan Adam Turnbull dari Pacific, Courtesy of Bazaar

Fashion adalah media tiga dimensi yang sangat dipengaruhi oleh citra dan persepsi. Penilaian sering kali dibuat hanya berdasarkan penampilan. Bagi kurator dan sejarawan mode, isu ras kerap menjadi hal yang dihindari. Padahal, ras jelas relevan dalam studi tentang busana, namun butuh 88 tahun bagi The MET untuk akhirnya mengakuinya sebagai tema yang layak dibahas dan dipamerkan. Saat saya membaca bahwa ‘Superfine’ akan menjadi “kajian budaya dan sejarah gaya kulit hitam selama tiga abad melalui konsep dandisme,” rasa terkejut saya berubah menjadi kekhawatiran. Dandy, pria yang terlalu mementingkan gaya, kerapihan, dan penampilan, hanyalah salah satu dari banyak arketipe gaya pria (ada juga jock, prep, nerd, dll). Menggunakan dandy sebagai lensa untuk melihat 300 tahun gaya kulit hitam terasa terlalu menyederhanakan. Apakah ‘Superfine’, seperti klaim MET, akan benar-benar mengeksplorasi “pentingnya gaya dalam pembentukan identitas kulit hitam di diaspora Atlantik,” atau justru memperkuat stereotipe negatif tentang pria kulit hitam yang dangkal dan tidak serius?

BACA JUGA: Hal-hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Met Gala Tahun 2025

Superfine’ adalah karya kurator tamu Monica Miller, profesor studi Africana di Barnard College, yang terinspirasi dari bukunya tahun 2009, Slaves to Fashion: Black Dandyism and the Styling of Black Diasporic Identity. Saat saya mulai memahami sosok Black dandy, yang menurut Miller jauh lebih politis dibandingkan dandy kulit putih, saya menyadari bahwa sorotan baru terhadap arketipe ini ternyata lebih bijak dari yang saya kira. Ia tidak hanya mengangkat sejarah yang terpinggirkan, tetapi juga menjelaskan fenomena mode saat ini. Dalam satu dekade terakhir, budaya kulit hitam, terutama hip-hop, telah membentuk ulang dunia fashion secara signifikan. Gaya Black dandy kini menjadi pusat perhatian dan mendapat tempat penting dalam dunia mode global.

Busana yang ditampilkan dalam pameran: Botter, Musim Semi 2022 (kiri) dan LaQuan Smith, Musim Semi 2025 (kanan), Courtesy of Bazaar US

Pada kuartal pertama abad ke-21, rap muncul sebagai salah satu genre musik paling populer di dunia. Seperti jazz dan rock 'n’ roll sebelumnya, rap berasal dari subkultur kulit hitam Amerika sebelum mendominasi arus utama dan menjadi suara khas era modern. Musik ini berkembang pesat dan melahirkan wujud terbaru dari sosok Black dandy: artis hip-hop atau rapper. Sosok ini diwakili oleh musisi seperti Pharrell Williams dan A$AP Rocky (keduanya menjadi co-chair MET Gala tahun ini), serta Kendrick Lamar dan Drake. Melalui musik dan gaya pribadi mereka, mereka menciptakan budaya baru yang mengutamakan apresiasi terhadap inovasi desain dan estetika. Lewat mereka, para penggemar tak hanya mengenal merek mewah Italia, tapi juga desainer avant garde asal Belgia. Hip-hop telah memberi ruang bagi pria heteroseksual untuk menyukai dan mengenakan busana desainer, sebuah tren yang disebut “broification.” Dulu, pria seperti ini disebut “metroseksual,” tapi istilah itu kini kian usang seiring makin umumnya ketertarikan pria terhadap fashion.

Pharrell dan A$AP Rocky, Courtesy of Bazaar US

Hip-hop dan rap tidak hanya meningkatkan apresiasi terhadap fashion, tetapi juga membantu menentukan apa yang dianggap modis. Saat ini, fashion pria berada di akhir fase dominasi streetwear yang telah berlangsung hampir satu dekade. Meskipun streetwear bukan milik satu ras tertentu, ia berasal dari subkultur kulit hitam, sama seperti hip-hop dan rap. Dalam beberapa tahun terakhir, elemen khas streetwear seperti hoodie, sneaker, dan jaket zip-up telah naik kelas menjadi bagian dari mode mewah global. Perjalanan mereka menuju high fashion dapat ditelusuri ke Balenciaga era Demna, sebelumnya Raf Simons, dan lebih awal lagi pada remaja kulit hitam yang sadar gaya. Siluet longgar yang kini tren dalam busana pria, bahu jatuh, tubuh menyerupai tenda, dan celana potongan lebar, mencerminkan proporsi besar khas gaya hip-hop. Baik dalam busana santai maupun jas formal, pengaruh streetwear kini meresap di seluruh lini fashion pria.

Kiri: Muhammad Ali oleh Thomas Hoepker, 1966. Kanan: Andre Leon Talley oleh Arthur Elgort, 1986. Courtesy of Bazaar US

Dengan menarik, momen streetwear dalam fashion saat ini mencerminkan periode sejarah lain, yaitu jas zoot pada tahun 1940-an. Dengan bahu besar yang dibangun dan celana balon, tampilan besar yang sangat oversized ini dikenakan oleh pemuda kulit hitam dan Meksiko-Amerika sebagai ekspresi identitas rasial dan etnis mereka serta sebagai penolakan terhadap status quo Amerika arus utama. Ketika konsumsi kain dibatasi selama Perang Dunia II, jas zoot dianggap tidak patriotik. Pada tahun 1943, ketegangan yang semakin meningkat memicu serangkaian kerusuhan kekerasan di Los Angeles. Namun, akhirnya, dengan meningkatnya popularitas musik swing, jas zoot juga akan diterima dan dikenakan oleh pemuda kulit putih Amerika. Sejarah, seperti halnya fashion, bersifat siklik.

Pada tahun 2023, Louis Vuitton menunjuk Pharrell Williams sebagai direktur kreatif menswear, sementara tahun ini Kendrick Lamar diumumkan sebagai duta merek Chanel. Saat ini, Black dandy berada di puncak dunia fashion, dan "Superfine" karya Monica Miller memiliki potensi besar untuk tidak hanya mengakui momen penting ini, tetapi juga mengungkap makna di baliknya.

Christian Latchman mengenakan busana dari Wales Bonner. Courtesy of Bazaar US

Sejarah gaya ras kulit hitam panjang dan tidak selalu dipenuhi dengan cerita yang menginspirasi atau menyenangkan. Diskusi yang jujur tidak bisa menghindari topik-topik buruk seperti perbudakan dan rasisme. Karya ilmiah Monica, ditambah dengan sumber daya dan jangkauan MET, dapat menjadi peluang besar untuk meningkatkan pemahaman tentang ras dan segala komplikasinya. Waktu pameran kostum tahun ini sangat tepat, mengingat pemerintahan Trump yang sedang berusaha menerapkan agenda neo-fasis dan supremasi kulit putih di pemerintah Amerika. Perayaan gaya Black di salah satu institusi budaya terbesar di negara ini hampir menjadi sebuah tindakan perlawanan subversif. Pameran fashion tidak dapat menyelamatkan dunia atau memecahkan ketidaksetaraan rasial, tetapi bisa menjadi pendidikan. Jika Miller dapat membantu menceritakan kisah-kisah yang belum terungkap dari pengalaman Black dan menjelaskan kontribusi gaya Black terhadap fashion kontemporer, itu akan menjadi sebuah kemenangan. Jika audiens non-Black dapat menghadiri pameran tersebut dan meninggalkannya dengan pemahaman yang lebih kaya tentang sejarah, budaya, dan estetika Black, itu juga akan menjadi hasil yang sangat memuaskan. Tetapi, jika pada akhirnya, yang bisa dilakukan oleh pameran ini hanyalah menginspirasi beberapa orang Black, seperti saya, untuk berpakaian dan hidup sesuka hati serta bangga menjadi diri kita yang sejati, yah, itu lebih dari cukup. Itu akan menjadi ‘Superfine.’


BACA JUGA:
Tumi Hadirkan 19 Degree Lite: Versi Ringan dan Lebih Berani
Donna Harun dan Inspirasi Gaya Klasik yang Tak Pernah Usang


(Penulis: Jeremy Lewis; Artikel ini disadur dari: BAZAAR US; Alih bahasa: Megan Isman; Foto: Courtesy of BAZAAR US)