Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Rahasia Manifestasi Diri Seorang Lizzie Parra

Salah satu kisah manifestasi yang sukses, dan patut Anda contoh.

Rahasia Manifestasi Diri Seorang Lizzie Parra
Hadi Cahyono for Harper's Bazaar Indonesia

PEMILIK BAKAT SENI

Antrean pada produk pertama BLP Beauty berupa 8 varian warna lipstik (lip coat) itu, mengular baik secara online maupun offline. Semua ini diawali orkestrasi konten di media sosial Lizzie yang diikuti banyak follower, karena beauty tips yang diulasnya sebagai seorang beauty influencer dan beauty vlogger. Bahkan antrean secara online, sampai membuat sistem crash. Penjualan pertama BLP Beauty lewat website, menyisakan kisah. Transfer dari berbagai bank dan sistem yang baru, menerbitkan masalah, ratusan nama dan pesanan tidak terdeteksi. “Saat itu saya masuk menangis di kamar mandi selama setengah jam. Tidak tahu harus bagaimana, dan takut mengecewakan pembeli,” kata Lizzie. Kemudian solusi dan bantuan datang. Lizzie membuka live chat untuk meminta bukti pembelian dan nama. Satu demi satu dikerjakan sampai tuntas.

“Kami juga menyesuaikan kemampuan mengirim paket. Begitu jumlah pemesan sudah 300, segera kami tutup. Lalu banyak orang protes di media sosial karena tidak bisa beli. Apa boleh buat, esoknya baru dibuka kembali,” kata Lizzie yang juga ikut mengemas pesanan bersama tim kecil beberapa orang. Dibantu keluarga dan para sahabat. Tercatat 4.000 lip coat terjual di minggu pertama.

Begitu pula ketika penjualan offline pertama. Belum lagi mal di daerah Kemang dibuka, antrean sudah ke luar pintu. Semua warna lipstik (yang tidak lengkap lagi) terjual.

Stok yang diperkirakan laku dalam setahun, habis sekejap. Awal usaha yang menggunakan semua uang pensiun ayahnya (ditambah uang kakaknya), seketika kembali. Kini kedua orang tua Lizzie menjadi pemilik sebagian saham BLP Beauty. Lizzie mensyukuri anugerah memiliki orang tua dan keluarga yang percaya pada mimpinya. 

Kisah Lizzie dimulai dari masa remajanya yang terhimpit kakak dan adik yang cerdas. “Saya biasa saja, kakak adik saya selalu mencapai ranking di atas, saya cuma pas. Satu-satunya nilai tinggi saya hanya di bidang seni, yang saat itu belum dianggap istimewa,” ujarnya sambil tertawa lepas. Kepribadian Lizzie memang hangat, apa adanya, tak dibuat-buat, apalagi repot menjaga image. Siang itu seusai sesi pemotretan, Lizzie menyiapkan waktu wawancara. Penampilannya bersahaja, monokrom hitam celana panjang dan kemeja, dengan sebuah tas kain di tangan kiri, sementara tangan kanannya memegang segelas Iced Black Coffee. Semua orang yang mengenal Lizzie pasti setuju, ia adalah sosok yang ekspresif dan menyenangkan sebagai lawan bicara.  

Seusai SMA, ketika kakaknya menjadi dokter, lalu mengambil spesialis program IVF, Lizzie memutuskan sekolah Business Marketing di Prasetiya Mulya angkatan pertama. Namun justru ketika di saat kuliah inilah, rasa percaya dirinya muncul. Tak lagi sebagai Lizzie yang pemalu. Saat itu hasrat pertamanya sudah ditemukan, di bidang marketing, branding, dan public relations. 

GELOMBANG AWAL INFLUENCER

Lulus dengan nilai cukup baik, Lizzie langsung bekerja sebagai Product Executive di sebuah brand multinasional di bidang makeup, fragrance, dan skincare. Tapi yang paling disukainya adalah makeup. Bisa dikatakan nama Lizzie mulai besar di kantor pertamanya ini. “Saya sampai terkenal dengan nama panggilan saya, Icil, dan di belakangnya dilekatkan nama produk tersebut,” ungkapnya sambil kembali tertawa. Tetapi diakui Lizzie di kantor pertama itulah ia menemukan arah masa depannya. Jejaringnya semakin hari semakin luas, terkoneksi dengan orang-orang media, mulai dari pemimpin redaksi, sampai fotografer. Jejaring ini  yang memudahkan karier Lizzie berkembang.

Kariernya berkembang, dan membuatnya menemukan hasrat baru, tentang dunia makeup. “Ketika memegang produk makeup, saya berhubungan erat dengan seni, seperti melukis. Sejak kecil saya suka menggambar dan mewarnai. Saya juga belajar membuat moodboard, sehingga saya memahami bahwa saya ingin menjadi bagian dari proses tersebut,” tutur Lizzie yang mulai semakin yakin dirinya berbakat di bidang makeup. 

Hasratnya itu membuatnya sering mengulas produk di Instagram dan blog. Sampai namanya mulai dikenal sebagai beauty influencer di masa awal-awal para influencer muncul dan diakui keberadaannya.

“Di masa itu menjadi influencer bisa dikatakan accidentally, bukan on purpose. Kalau sekarang ada pergeseran, influencer bisa menjadi cita-cita seseorang. Menurut saya, menjadi influencer adalah sebuah journey. Karena kalau dijadikan cita-cita ya sudah tidak genuine lagi pendapatnya, karena pasti ada timbal balik yang diinginkan,” papar Lizzie yang menekankan bahwa sebagai influencer, yang terpenting adalah pesan tentang produk sampai ke masyarakat. Namun kalau sekarang, para influencer disebutnya sangat money oriented. Tak peduli apakah pesannya sudah sampai/selesai, kalau perjanjian bisnis hanya satu story 15 detik, maka pesan itu terputus begitu saja di hitungan waktu tersebut.

Setelah 2,5 tahun bekerja, Lizzie memutuskan untuk serius menekuni karier barunya sebagai makeup artist (MUA). Keluar dari perusahaan tempatnya bekerja untuk pertama kalinya itu, diakui Lizzie sebagai keputusan sulit. Sempat ditahan dengan berbagai tawaran, tapi Lizzie mantap mengejar impiannya di tahun 2011. Bersamaan dengan karier barunya, Lizzie membangun branding dirinya dengan nama baru yang diambil dari nama aslinya, Lizzie Parra. “Orang dulunya kenal saya sebagai orang brand. Maka saya harus membangun brand baru yang tidak lagi attached dengan itu,” katanya. 

Lizzie memperbanyak portofolio. Namanya mulai muncul di halaman fashion spread, kemudian di artikel kecantikan di berbagai majalah. Blognya terus terisi, bahkan ia membuat tutorial makeup di YouTube. “Saat itulah brand mulai melihat beauty influencer bisa dijadikan bagian dari strategi PR sebuah produk, yaitu sebagai key opinion leader (KOL),” kata Lizzie yang saat itu menjadi influencer banyak produk. Lizzie juga sempat menjadi salah satu blogger, vlogger, dan influencer yang mewakili Indonesia ke Beijing, bertemu dengan para blogger dan influencer dari berbagai negara.

Lizzie terus mengasah kemampuannya sebagai makeup artist. Di masa itu, belum ada sekolah makeup artist di Indonesia. Lizzie sempat mendaftar ke Australia untuk sebuah sekolah khusus makeup artist selama dua tahun. Lizzie sempat melakukan tes, dan diterima. “Tapi akhirnya batal. Pertimbangannya, untuk menjadi makeup artist bukan hanya butuh skill tapi perlu juga koneksi. Jadi saya membatalkan ke Australia,” kata Lizzie yang saat itu namanya mulai terkenal di dunia wedding sebagai makeup artist. 

Hadi Cahyono for Harper's Bazaar Indonesia
Hadi Cahyono for Harper's Bazaar Indonesia

PRODUK LOKAL DIPERTANYAKAN

Satu hal yang diingatnya. “Sepanjang saya berkarier, saya pahami bahwa orang Indonesia tidak bangga dengan brand lokal. Sebagai MUA, kalau saya memakai brand-brand makeup luar negeri, aman. Tapi kalau brand lokal, mereka minta diganti. Atau bahkan saat booking jadwal MUA, saya ditanya mau pakai brand apa?” ucap Lizzie. 

“Orang akan langsung menilai MUA ini tier dua atau tier tiga, jika memakai local brand,” sambungnya. Lizzie menakar pendapat itu masuk akal, karena yang pertama, orang tidak punya kepercayaan pada kualitas produk lokal. Kedua, masalah branding produk lokal yang kurang berhasil. Padahal menurutnya, banyak produk lokal yang cukup bagus (Lizzie menyebut beberapa produk).

Lizzie melihat peluang. Ia pun mulai melakukan business plan dan research untuk membuat produk atas namanya sendiri, By Lizzie Parra, disingkat menjadi BLP (Beauty). Bersamaan dengan proses research dan pengembangan produk, Lizzie mulai membuka kantor kecil dengan interior memaksimalkan tempat. Di situlah kisah sukses BLP Beauty dimulai. 

Lizzie terlibat langsung dalam proses pengembangan produk. Dimulai dari 8 warna Lip Coat, BLP Beauty terus berkembang menjadi ratusan produk, bahkan akan mengeluarkan BLP Skin—skincare, yang amat ditunggu komunitasnya, yaitu #BLPfam.

Komunitas inilah yang selalu dijaga Lizzie. Sikap pun ditentukannya saat branding. Jangankan memakai brand ambassador dari Korea (ini disebutnya tidak relatable dengan pembeli dan komunitasnya), Lizzie bahkan sangat menjaga foto-foto promosi agar tidak terlalu menggunakan trik arsiran/filter. “Saya justru tetap menampilkan pori-pori. Saya juga berusaha jujur mengomunikasikan isi produk BLP. Itulah salah satu hal yang membuat BLP dekat dengan konsumen,” kata Lizzie. Konten yang relatable dan real, adalah kunci BLP dalam memenangkan hati konsumen.

“Saya yang biasa saja ini, kerap ditanya bagaimana caranya agar percaya diri. Padahal saya tidak kurus, tidak tinggi, ataupun putih. Jawabannya, makeup adalah satu tool yang membuat saya makin percaya diri. Banyak orang tidak percaya diri karena tidak tahu cara berdandan,” ucap Lizzie yang berdandan setiap hari untuk menaikkan mood. 

Sampai ke ujung tombak, di gerai BLP di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya, dipastikan timnya bisa membantu pembeli menemukan warna dan produk yang pas dengan berbagai warna kulit. Menyarankan produk yang sesuai dan dibutuhkan. Kunci berdandan ini adalah memilih warna makeup sesuai warna kulit. Sayangnya banyak orang tetap mencari makeup yang membuat kulitnya tampak lebih putih. Ini disebut Lizzie sebagai tugas semua brand, dan juga media untuk terus mengedukasi dan mengubah stereotip tersebut. 

“Hal lain yang perlu diubah untuk lebih percaya diri adalah tidak usah menekan diri sendiri untuk menjadi yang terbaik. Menjadi lebih baik, boleh, tetapi bukan untuk menjadi yang terbaik,” tutur Lizzie.

"Jangankan memakai brand ambassador dari Korea, Lizzie bahkan sangat menjaga foto-foto promosi agar tidak terlalu menggunakan trik arsiran/filter."

MENJAGA SIKAP MEMBUMI

Lizzie boleh tampak sederhana, namun tidak demikian dengan gerakannya dalam membesarkan perusahaan. Dimulai dari beberapa orang, kini Lizzie telah mampu mempekerjakan ratusan pegawai di sebuah bangunan kantor yang representatif. BLP juga telah memiliki laboratorium penelitian sendiri. Ia pun tidak ragu mencari tenaga-tenaga profesional dan berpengalaman di bidang-bidang tertentu, untuk menjadi pion-pion yang siap membuat BLP lebih maju. “Mereka membawa culture perusahaan yang berbeda-beda. Masuk ke BLP dengan berbagai ide segar. Tapi saya selalu mengingatkan para manajer tersebut untuk tenang dalam bertindak. Mengamati dan mempelajari perusahaan ini dan anggota tim adalah yang terpenting,” ungkap Lizzie yang memang bukan tipe orang yang terburu-buru. Ia menikmati setiap tahap pertumbuhan perusahaan. Lizzie kini juga dibantu adiknya dan juga suaminya di C level. Dirinya sendiri saat ini menjabat sebagai Founder dan CMO. Lizzie menilai dirinya harus fokus pada bidang marketing dan product development. 

Hidupnya seimbang antara kantor dan kehidupan di rumah bersama suaminya, Efrat Agung, dan dua anjing kesayangannya. Bahagia adalah ujung yang ia tuju, walau hidup tak bebas dari masalah, Lizzie ingin menjalaninya dengan bahagia. Kebetulan Lizzie mengaku bukan seseorang yang overthinking. 

Meski terbilang sukses, ia tetap hidup bersahaja. Datang ke kantor bergaya kasual dengan ransel. Sangat jarang menggunakan barang-barang bermerek, ataupun baju-baju eksklusif, apalagi sepatu berhak tinggi. “Pengeluaran saya yang cukup besar mungkin untuk perawatan dan makanan kedua anjing saya,” katanya sambil tersenyum. Sikapnya dijaga tetap membumi, dengan cara mengingat masih banyak orang yang lebih dari dirinya dalam berbagai hal.

Ketika ditanyakan kembali tentang sesuatu yang mewah yang terakhir dibelinya? Ia terdiam sejenak, dan menjawab, “Rumah impian! saya beli tunai karena saya beli di sebuah lelang, jadi harus cash,” katanya sambil tertawa lepas. Tampak jelas manifestasi percaya dirinya menjadi salah satu kunci sukses BLP, yang membuat banyak milenial dan generasi Z Indonesia percaya dan mencintai produk dalam negeri. Mimpinya masih dilangitkan bersama usaha dan doa, untuk pelan-pelan menjadikan BLP menjadi lima besar produk lokal di negeri sendiri. 

Portofolio ini:
Pengarah Gaya: Ardhana Utama
Makeup: Franky Wu
Retoucher: Raghamanyu Herlambang
Oversized shirt: Tanah Le Saé