Peer pressure membuat saya menyadari kalau memang saya adalah seorang pengecut. Tidak berani melanggar peraturan.
Setidaknya itu yang saya petik dari pengalaman pahit beberapa kali mencoba melanggar atas desakan teman-teman karena ingin dianggap berani seperti mereka. Bold and rebellious. Kakek yang membesarkan saya melarang kami, saya dan adik, untuk belajar mengendarai sepeda motor. Hal ini menantang karena semasa SMA di Jawa Tengah semua teman kami mengendarai sepeda motor ke sekolah, tentu kami pun ingin menjadi sama dengan mereka. We want to fit in. Berkali-kali teman-teman saya menawarkan untuk mengajari saya cara mengendarai sepeda motor menggunakan motor milik mereka. “Kenapa takut sih? Nda usah bilang sama kakekmu, aturan kan dibuat memang untuk dilanggar,” kata teman saya. Sore itu sepulang sekolah, di atas motor seorang teman di jalan raya depan rumahnya saya bukan lagi anak pengecut. Selama 10 menit berkeliling berbekal pemahaman cara mengendalikan motor seadanya, keberanian saya memuncak diiringi sorak bangga teman-teman saya. Mengendarai motor mudah ternyata, semudah keputusan untuk melanggar aturan kakek. Tangan kanan mencengkeram setang gas, motor melaju lebih kencang. Jantung berdegup lebih cepat menikmati keberanian hidup mendobrak aturan.
Kebebasan menikmati keberanian itu tidak berlangsung lama. Teman yang duduk di bangku belakang motor yang saya bawa menjerit kencang sambil mencengkeram pundak saya. Kemampuan refleks untuk menghindari bahaya belum terbangun. Di pertigaan jalan, mobil dari belakang melaju lebih kencang dari motor saya sehingga menyita tengah jalanan dan memaksa motor saya untuk bergeser. Sepeda motor lain menyusul kencang dari belakang menyisir bahu jalanan. Menghindari mobil di kanan lalu motor di kiri, berbekal kemampuan operasional sepeda motor seadanya, it was just too much to handle in just a split of a second. Bukan rem yang dicengkeram, dalam kepanikan justru gas yang digenggam.
Gravitasi menang - kami jatuh ke kanan, terseret laju motor yang saya tunggangi. Motor pinjaman ringsek, saya dan teman yang duduk dibelakang terluka parah di sisi kanan pundak dan sepanjang kaki tergerus aspal. Saya kembali menjadi pengecut.
Ketika lingkungan menganggap saya pengecut karena hidup dibatasi aturan, saya pun menerima anggapan itu dengan lapang dada.
Ibu saya meninggal di tempat karena kecelakaan sepeda motor. Trauma itu yang akhirnya membuat kakek saya melarang kita untuk sama sekali tidak mengendarai sepeda motor. I broke his ultimate rule and pay a great consequence. I broke his trust. Kakek juga yang mengajarkan kami untuk selalu disiplin menaati aturan. Aturan di rumah dan di sekolah. Belajar hidup teratur. Menaati aturan akhirnya menjadi karakter disiplin diri. Ketika lingkungan menganggap saya pengecut karena hidup dibatasi aturan, saya pun menerima anggapan itu dengan lapang dada. Setiap kali aturan dilanggar ada konsekuensi yang ditanggung. Besar atau kecil. Rules are meant to be broken. Be bold. Take a risk. Tak lagi berhasil menantang saya.
Seorang ilmuwan, Rutherford, memperkenalkan electron theory yang kemudian dikenal sebagai the Laws or Rules pada tahun 1911. Teorinya kemudian ditantang oleh ilmuwan lainnya, Bohr. He changed the rule by challenging it, Bohr believed in breaking the rules. Artikel yang ditulis oleh Jatin Bhargav di Medium mengusut asal mula ungkapan yang kini banyak diadaptasi dengan sembrono tentang – breaking the rules. Jadi benar adanya bahwa ungkapan “Rules are meant to be broken” adalah untuk menantang kita untuk berpikir out of the box dan merangsang perubahan. Bahkan behavioral scientist menemukan hubungan erat antara kreativitas dan ketidakjujuran, orang kreatif akan lebih berani melanggar aturan. Breaking the rules is like cheating ujar situs situs fearlessculture.design. Untuk tujuan menempa kemampuan dan perkembangan diri, silakan rangsang keberanian untuk melanggar peraturan sebanyak-banyaknya. Jangan membabi buta dan menerapkannya dalam semua lini kehidupan.
Hidup dalam pelukan pandemi, saya bangga dengan diri saya yang pengecut dan taat aturan ini. Taat aturan vaksin, prokes, dan membatasi aktivitas. Tidur sedikit lebih nyenyak saat menyadari dan menaati aturan yang ada, saya punya andil dalam menyelesaikan pandemi ini.
Breaking the rules has consequences. Think for a moment, about the outcome. Does it reflect your values? Collective good or personal gain?
Berani mempertanyakan keampuhan vaksin dan menolak vaksin, apakah konsekuensinya hanya bagi diri Anda tanpa pengaruh pada kehidupan orang lain di sekitar? Melanggar aturan untuk lapor RT dan Puskesmas saat positif Covid-19 dan tetap beraktivitas ke sana kemari hanya karena merasa tanpa gejala berarti, yang menanggung keberanian Anda melanggar aturan bukan cuma diri sendiri kan? Mungkin bila sekarang kita sama-sama mau menjadi pribadi penakut dan pengecut, jangan melanggar aturan yang ada, minimal selama pandemi ini. Konsekuensi kolektif yang saat ini ditanggung bersama akan lebih ringan.
If you want to survive this pandemic, get it in your head. Rules are not meant to be broken.
Ingin hidup berani dan melanggar aturan? Pastikan Anda hidup sendirian tanpa orang lain satu pun di dunia Anda. Impossible, right? Pandemi ini menyadarkan bahwa apa pun yang kita lakukan saling memengaruhi.
Foto: Courtesy of artemsam©123rf.com; Layout: Mohammad Somad