Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Seperti Apakah Kondisi Kesehatan Otak dan Mental Kita Setelah Pandemi Covid-19?

Kembali ke kebiasaan kita sebelum Covid-19 memang tidak mungkin, namun tampaknya itu hal yang baik.

Seperti Apakah Kondisi Kesehatan Otak dan Mental Kita Setelah Pandemi Covid-19?

Thomas Yadegar, doctor of medicine, bekerja enam hingga tujuh hari dalam satu minggu. Tetapi, ketika pulang untuk makan malam bersama keluarganya, ia membutuhkan beberapa menit untuk menenangkan diri sebelum masuk ke dalam rumah. Terkadang ia pun menangis. Tak hanya dirinya, hal serupa juga dialami oleh 20 dokter yang dipimpinnya di ICU di Providence Cedars-Sinai Tarzana Medical Center di Los Angeles dan West Hills Hospital & Medical Center. Mereka curhat kepadanya bahwa mereka juga "berhenti dalam perjalanan pulang dan hanya menangis," katanya. Mereka semua mengalami mimpi buruk.

"Saya tidak mengerti bagaimana bisa ada manusia yang telah melalui dan menyaksikan apa yang kita lalui dan dirinya tidak berubah secara dramatis hingga ke intinya," katanya. Ia tidak sempat memiliki waktu sedetik pun untuk mempersiapkan diri sebelum melalui lebih dari 14 bulan terakhir ini yang dipenuhi oleh meninggalnya pasien Covid-19 dan bagaimana hal tersebut akan memengaruhinya di masa depan.
 
Sebagian besar dari kita tentu pernah mengalami trauma, sembari bertanya-tanya kapan kita dapat kembali ke diri kita yang semula, baik secara emosional, psikologis, maupun sosial. Bahkan jika otak kita bisa kembali berpikir seperti sedia kala. Organ di antara telinga kita terus berubah, sebuah kualitas yang disebut dengan neuroplasticity. Sebanyak 200 triliun koneksi antara 86 miliar neuron di otak kita akan terus berubah untuk mengakomodasi situasi dan lingkungan baru.

“Sirkuit otak datang untuk mencerminkan apa yang dapat Anda lakukan, apa yang Anda habiskan untuk mengubah otak Anda, ”kata ahli saraf Universitas Stanford, David Eagleman, PhD yang juga merupakan penulis Livewired. “Anda lebih dari apa yang Anda makan, Anda menjadi informasi yang Anda cerna." Pandemi, politik, dan Zoom adalah bagian dari diri kita saat ini. “Kita tidak akan pernah bisa kembali menjadi diri kita sebelumnya,” kata David, karena kita tidak pernah bisa menghilangkan apa yang telah kita alami.
 

Saya tidak mengerti bagaimana bisa ada manusia yang telah melalui dan menyaksikan apa yang kita lalui dan dirinya tidak berubah secara dramatis hingga ke intinya


Bagi kita yang berada di rumah, tentunya kita kebanyakan berada dalam "mode daya rendah", kata Tara Swart, MD, PhD, ahli saraf, dan penulis The Source: The Secrets of the Universe, the Science of the Brain. “Otak tidak memiliki sumber daya seperti biasanya; tidak ada rangsangan mental, tidak banyak variasi. (Kondisi) ini seperti Groundhog Day, di mana hal tersebut dapat menurunkan motivasi Anda. Ketika kita kembali bersosialisasi, akan ada banyak ketakutan dalam jangka pendek," katanya, termasuk keragu-raguan untuk menyentuh orang lain.
 
Terdapat juga komponen kesehatan mental yang serius. Sementara beberapa pihak telah mengalami respons stres yang kemungkinan besar akan pulih (tidur yang buruk dan kekhawatiran berlebih), yang lain akan membutuhkan lebih banyak perhatian, kata Kathleen Pike, PhD, direktur Columbia-WHO Center for Global Mental Health dan penasihat ilmiah untuk Maybelline Brave Together yang merupakan sebuah inisiatif kesehatan mental.
 
Mengingat tantangan pandemi yang terus berlangsung, banyak yang menjadi ‘mangsa’ dari ragam masalah, seperti kecemasan, depresi, dan OCD, baik untuk pertama kalinya maupun dibarengi dengan gejala yang memburuk. Khusus untuk pekerja garda depan, "(Kondisi) ini adalah krisis akut," kata Kathleen. 
 
Studi mengenai pandemi dan epidemi di masa lalu menunjukkan bahwa beberapa pihak mungkin menunjukkan tekanan psikologis, seperti kelelahan, insomnia, kecemasan, dan depresi hingga dua tahun kemudian. Thomas mengatakan bahwa ia tidak akan terkejut jika "tingkat bunuh diri petugas kesehatan meningkat secara dramatis selama enam bulan hingga satu tahun atau bahkan bertahun-tahun ke depan."
 
Mereka yang mengalami pergolakan keuangan yang dramatis juga bersifat rentan. "Stres ekonomi yang parah dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko penggunaan narkoba, gangguan mood, dan bunuh diri," kata Kathleen. Ia juga menekankan bagaimana pandemi ini lebih menyerang dan berdampak pada wanita daripada pria, khususnya terkait kesehatan mental.
 
Meskipun Anda dapat pulih kembali, mungkin diperlukan cukup waktu untuk merasa benar-benar terhubung kembali, terutama jika Anda pernah tinggal sendiri. “Aspek kesepian telah menjadi masalah yang serius,” kata Tara. “Ada alasan mengapa kurungan isolasi adalah hukuman terburuk yang dapat dialami oleh siapapun.” Kita pun mengalami kesedihan dan dukacita individu maupun kolektif atas jiwa-jiwa yang telah berlalu dan hilangnya nyawa, mata pencaharian, dan diri kita sebelumnya. “Dan selama Anda sampai ke tahap ini sekarang, Anda akan membutuhkan (waktu yang sama) untuk kembali ke keadaan yang Anda inginkan,” tambah Tara.
 
Bisakah kita memperbaiki atau mengatasinya? Caroline Leaf, PhD, ahli patologi komunikasi dan ahli saraf kognitif di Dallas, serta salah satu orang pertama yang mempelajari neuroplasticity pada 1980-an, melihat adanya kemampuan beradaptasi pikiran sebagai kekuatan penyembuhan. “Kami tidak terjebak dengan ‘otak Covid-19’,” katanya. "Kita dapat mengarahkan neuroplasticity ke arah yang kita inginkan melalui manajemen pikiran."

Ia menyarankan agar kita fokus pada tiga pikiran yang penuh harapan untuk setiap pikiran negatif agar dapat “menciptakan aliran energi yang sehat di otak, meningkatkan gelombang tetap. Hal itu seperti dorongan penyembuhan, mengubah kimiawi otak dan juga mengirimkan pesan ke tubuh Anda. Kadar kortisol turun dan jantung mulai berfungsi lebih baik. Dengan begitu, kita akan mendapat satu dorongan harapan kecil dengan sangat baik.” 
 
Ia telah mengembangkan proses lima langkah untuk "mengelola pikiran Anda" yang telah ia buktikan dalam uji klinis "untuk meningkatkan kendali Anda terhadap depresi dan kecemasan sebesar 81 persen, tanpa penggunaan obat," yang diuraikan dalam buku terbarunya, Cleaning Up Your Mental Mess, dan pada aplikasinya yang bernama Switch dan NeuroCycle. “Jika kita tidak mengelola dan mengarahkan bagaimana pikiran dan otak kita berubah, kita akan terombang-ambing,” katanya.
 

Cleaning Up Your Mental Mess - Caroline Leaf

Cleaning Up Your Mental Mess - Caroline Leaf

 
Tara Swart menyarankan penjurnalan, baik itu berupa tulisan, suara, ataupun video, untuk membantu melepaskan pikiran yang mengganggu dan memperkuat pikiran positif. Dengan begitu, neuron pembawa unsur negatif tidak saling terhubung. Bagi Anda yang tinggal sendiri, menurutnya, mandi air hangat dapat memicu oxytocin, yang barangkali selama ini Anda lewatkan. Selain itu, untuk membantu otak membalikkan pikiran negatif, pastikan Anda minum air, olahraga, meditasi, mengonsumsi makanan sehat, dan tidur yang cukup.
 
Kathleen menjelaskan satu cara agar otak kita dapat benar-benar berubah menjadi lebih baik, yaitu pertumbuhan pasca-trauma. “Ini adalah perjalanan ‘pahlawan’, ketika kita hidup melalui masa-masa yang sangat menantang dan sulit, menjadikan kita lebih kuat dari sebelumnya,” katanya. Kami mengembangkan perasaan bahwa peluang baru muncul dari perjuangan, hubungan yang diperbarui, kehidupan spiritual yang diperdalam, dan penghargaan yang lebih besar untuk kehidupan secara umum.
 
Silver lining lainnya adalah kesederhanaan baru. Kita barangkali mempertanyakan apa yang benar-benar sepadan dengan waktu yang habis ini, kata David Eagleman. “Perspektif kita pasti akan berubah selamanya.” Dari bibir ke otak kita.
 
(Penulis: Martha McCully; Artikel ini disadur dari Bazaar UK; Alih Bahasa: Fatimah Mardiyah; Foto: Courtesy of Bazaar UK)