Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Film Terbaik Tahun pada 2021, Sejauh Ini

Mulai dari film horor hingga romantis, berikut adalah film-film rilisan terbaru yang wajib Anda nonton

Film Terbaik Tahun pada 2021, Sejauh Ini

Tiga bulan pertama dari tahun 2021 telah membuktikan bahwa Hollywood tidak menunjukkan keterbelakangannya. Entri dari seluruh dunia, mulai dari Taiwan, Amerika Serikat, hingga Quebec, tampaknya menjanjikan berbagai hal baru mulai dari horor yang membuat Anda berpikir, drama rumahan, romansa yang menyentuh hati, hingga dokumenter eksklusif.
 
Berikut adalah beberapa film terbesar yang dirilis pada tahun 2021 ini, yang membuat Hollywood tetap berjaya seperti sekarang ini. 
 
10. Malcolm & Marie
 


 
Barangkali, film ini adalah cara dari sang penulis-sutradara, Sam Levinson, dalam memancing banyak pasangan yang tinggal bersama dalam pandemi, yang tampaknya mulai lelah dengan keberadaan dan gangguan satu sama lain. Kemungkinan lainnya, sinematografi hitam-putihnya yang indah itu membantu menyingkap hubungan tituler yang mulai goyah (dihidupkan oleh co-producer dan aktris Zendaya dan John David Washington).

Atau, bisa juga dengan cara film tersebut yang sedikit terlalu banyak mencakup berbagai topik, mulai dari dinamika kekuatan yang tidak setara antara pembuat film tua yang egomania dan pacarnya hingga cara kritikus film berkulit putih yang menolak untuk melihat melampaui sisi ras ketika menganalisis sebuah karya seni. Dari dialog pembukaan hingga akhir yang membuat frustrasi, Malcolm & Marie adalah tayangan yang jelas tidak nyaman, namun sekaligus menawan.
 
9. Last Call
 


 
Film karya Michael Gavin Booth ini mengemas begitu banyak rasa kasih sayang dan tension yang tulus sehingga sulit dipercaya bahwa durasinya hanya kurang dari satu jam. Isolasi antara seorang pelajar yang juga seorang petugas kebersihan (Beth - Sarah Booth) yang menyapu lantai sekolahnya dan seorang ayah yang berduka (Scott - Daved Wilkins) yang secara emosional terkurung di empat dinding apartemennya, menarik dua orang yang tidak terduga ini bersama-sama dalam narasi yang luar biasa.

Ketika Scott menelepon saluran bantuan bunuh diri karena ia merasa butuh bantuan, yang mengejutkannya saat mengetahui mengenai sosok Beth, seorang ibu yang berjuang untuk menghidupi putranya dengan pekerjaan pada malam hari di sekolahnya. Terasa seperti konsep yang keliru untuk memasangkan dua orang dengan masalah mereka masing-masing. Sebenarnya, Last Call menunjukkan kekuatan dan perlunya empati di tempat yang paling tidak kita duga. Menjadi jelas bahwa baik Beth maupun Scott membutuhkan percakapan ini, pengingat bahwa orang lain, bahkan mereka yang tidak kita antisipasi, selalu ada untuk kita.
 
8. Nina Wu
 


 
Beberapa film Taiwan dengan berani menyelami bagaimana rasanya menjadi aktris yang melewati demoralisasi konstan pada ragam situasi yang didominasi oleh pria, baik di lokasi shooting maupun proses audisi. Sutradara Midi Z dengan bintang Ke-Xi Wu (yang juga ikut menulis film yang terinspirasi oleh pengalamannya sendiri) membantu menunjukkan tantangan dalam menjadi korban objektifikasi di negara-negara di mana perempuan memiliki sedikit atau tidak memiliki kekuasaan sama sekali. Setelah bertahun-tahun menganggur, Nina (Ke-Xi Wu) akhirnya mendapatkan audisi untuk film mengenai mata-mata yang dibuat pada tahun 1960-an.

Setelah berdebat dengan dirinya sendiri mengenai sifat seksual secara eksplisit dan ketelanjangan yang terdapat dalam beberapa adegannya, ia akhirnya memutuskan untuk mengambil peran tersebut. Audisinya saja sudah mengerikan, di mana ia harus bertingkah seperti anjing dan secara fisik berkelahi dengan wanita lain yang mengikuti audisi untuk kesenangan para pria yang menonton dan sempat ‘diserang’ secara seksual. Namun, Nina pun mendapatkan peran tersebut dan ia harus menanggung pelecehan secara emosional dan fisik dari sang sutradara. Walaupun begitu, Nina Wu tidak tinggal diam dalam situasi itu.

Cerita dari film ini mengikuti alur sifat yang dimiliki sang tokoh, di mana ia dihantui oleh trauma, penyesalan, dan rasa bersalah yang diperparah dengan kurangnya cinta dan kendali dalam kehidupan pribadinya. Narasinya terkadang tidak stabil, tetapi dampak dan hasil akhirnya sangat besar dan ‘mengena’ ke hati penonton.
 
7. The Queen of Black Magic
 


 
Walau di Indonesia film ini sudah tayang di tahun 2019. Tampaknya, ada sesuatu yang menarik dalam film horor Indonesia karya sutradara Kimo Stamboel. Sebagai sebuah remake dari film tahun 1981 dengan judul yang sama, The Queen of Black Horror berpusat di sebuah panti asuhan tua, di mana kekejaman sebelumnya muncul ke permukaan ketika keluarga berkumpul untuk sebuah pertemuan. Namun, hal berbahaya tiba-tiba hadir dan menyelimuti mereka untuk menuntut pembalasan, dengan mengganggu setiap karakter dan membuat mereka menjadi sangat ‘tidak seimbang’.

Dengan segera, mereka dipaksa untuk mengungkap kebenaran buruk yang membawa mereka ke sebuah momen yang menyeramkan. Meskipun tidak orisinal, The Queen of Black Horror memiliki jumlah adegan skittish yang tepat untuk membuat Anda tetap terlarut ke dalamnya.
 
6. To All The Boys: Always and Forever
 


 
Beberapa film dengan tema ‘kasih sayang’ dapat membawa Anda kembali ke masa lalu, tepatnya ke masa muda. Setelah menghabiskan waktu dalam perjalanan keluarga yang menyenangkan ke Korea Selatan, Lara Jean (Lana Candor) berada di ambang kedewasaan ketika ia dihadapkan akan sebuah keputusan terberat dalam hidupnya: tetap dekat dengan rumah serta pacarnya, Peter (Noah Centineo) dan kuliah di California atau ikuti kata hatinya untuk pergi ke New York. Skenario yang dibawa oleh Katie Lovejoy berperan sebagai pengingat bahwa keputusan yang tampaknya sederhana dapat terasa sangat sulit bagi seorang gadis remaja yang masih menentukan siapa dirinya dan ingin menjadi apa.

Lara Jean tidak ragu-ragu dalam hal cintanya pada Peter, jadi apakah ini saatnya untuk kehilangan keperawanannya? Apakah ia benar-benar siap untuk meninggalkan Oregon, dan apakah itu juga berarti meninggalkan hubungannya? Ada begitu banyak pertanyaan dan sangat sedikit waktu karena tahun terakhirnya, dan secara bersamaan masa kecilnya, akan segera berakhir. Always and Forever adalah cerminan cinta pertama, masa muda, dan identitas yang terasa menyenangkan, sungguh-sungguh, dan penuh nostalgia.
 
5. The Vigil
 


 
Tradisi Yahudi shemira, yaitu menjaga jenazah sampai dikuburkan, sangat cocok untuk dijadikan sebagai cerita horor yang luar biasa sehingga mengejutkan bahwa tidak ada film bergenre tentang ini setiap tahunnya. Penulis-sutradara Keith Thomas memanusiakan kebiasaan yang mengerikan dengan kisah Yakov (Dave Davis), seorang pemuda yang baru-baru ini berpisah dari komunitas Yahudi Ortodoksnya, yang dipaksa untuk menjaga semalaman seorang anggota yang meninggal untuk menghasilkan uang ekstra tambahan agar tetap mampu membayar uang sewa. Tentu saja, mulanya mencurigakan (merawat mayat di tengah malam sudah terdengar menakutkan), tetapi rasa tidak nyaman yang terus meningkat yang muncul dalam jam-jam gelap ini benar-benar menyeramkan untuk ditonton. Akankah Yakov selamat pada malam itu? Dan apa yang akan ia temukan mengenai dirinya atau keyakinannya saat fajar mendatang?
 
4. The Night
 

 
Menjadi hal yang mengerikan untuk melihat film horor yang tokoh protagonisnya yang hanya mementingkan urusan mereka sendiri. Dalam film besutan sutradara Kourosh Ahari, The Night, Neda (Niousha Noor) dan Babak (Shahab Hosseini), pasangan suami istri keturunan Iran-Amerika, hanya ingin mendapatkan malam yang menyenangkan di hotel sebelum pulang dan bertemu dengan bayi mereka di rumah. Mereka menghadiri sebuah acara kumpul-kumpul dan di sana Babak terlalu banyak mengonsumsi alkohol. Sang istri pun mengajaknya untuk berhenti minum dan keluar dari hotel tersebut. Bukannya menghindari potensi bahaya di jalan raya, mereka terbawa langsung ke situasi yang benar-benar berbahaya di hotel tempat mereka ‘dimangsa’ oleh semua orang, mulai dari petugas polisi yang mencurigakan hingga kemunculan sosok yang mirip dengan wajah mereka. Kejadian-kejadian aneh sudah cukup untuk mengungkap rahasia sang suami dan istri yang telah lama terkubur. Kourosh Ahari, bersama penulis skenario Milad Jarmooz, membuat film yang benar-benar menggelitik yang tidak dapat Anda lupakan dengan mudah.
 
3. Biggie: I Got a Story to Tell
 

 
Orang akan berpikir bahwa walaupun lirik karya Christopher Wallace (Notorious B.I.G.) sangat personal, tidak ada cerita yang dapat ditambahkan ke dalam kisahnya. Namun entah bagaimana caranya, sutradara Emmett Malloy dan penulis Sam Sweet menyajikan perspektif yang sepenuhnya baru mengenai kehidupan dan karier sang mendiang rapper di I Got a Story to Tell. Diperkuat oleh video ‘rumahan’, tayangan tersebut menyoroti kehidupan sehari-hari orang kepercayaannya. Memperlihatkan dirinya yang menyanyikan sajak di jalan, melakukan tur, dan bahkan momen refleksi dirinya yang langka. Film dokumenter ini memanusiakan seorang pria yang sering digambarkan sebagai 'larger than life'.

Tumbuh di Brooklyn dengan seorang ibu tunggal dari Jamaika (yang perspektif keibuannya terangkai di seluruh film), ia mengalami perjalanan yang bertentangan dalam menuju seorang superstar dan pada akhirnya berakhir pada pembunuhannya. Menampilkan wawancara dengan orang-orang yang paling mengenalnya, ibunya, Voletta; produser Sean Combs; kepala pelayan; dan banyak temannya dari Brooklyn, I Got a Story to Tell adalah alternatif yang cekatan dan teguh untuk membingkai sebuah profil selebriti. 
 
2. Twilight’s Kiss
 


 
Tampaknya, mustahil untuk tidak mengagumi potret yang diciptakan oleh penulis-sutradara Ray Yeung mengenai dua ayah yang menua (Tai-Bo dan Ben Yuen) di Hong Kong yang saling jatuh cinta dengan begitu lembut, diperlengkap dengan musiknya yang indah hingga penampilan utamanya. Pak (Tai-Bo), seorang sopir taksi, telah menemukan dirinya terjebak dalam pernikahan dengan seorang wanita yang mungkin telah ia puja bertahun-tahun lamanya, namun tidak lagi memiliki hubungan romantis dengannya.

Sementara itu, Hoi (Ben Yuen) adalah seorang pensiunan yang telah bercerai yang menghabiskan banyak waktunya untuk bercermin dan berhubungan dengan laki-laki gay dalam sebuah kelompok sosial yang berencana untuk meminta pemerintah untuk membuat perumahan senior khusus untuk laki-laki gay. Masalahnya, hanya sedikit yang merasa nyaman untuk menarik perhatian seperti itu ke diri mereka sendiri.

Dengan lembut, menjauhi bagian yang sepenuhnya bersandar pada politik, Ray Yeung mendasarkan ceritanya pada romansa antara Pak dan Hoi, dua pria di usia senja yang karena alasan berbeda berjuang untuk rasa saling memiliki. Saat mereka berduaan sendirian, terjerat dalam pelukan satu sama lain, mereka adalah rumah bagi satu sama lain. Namun, dapat bertahan untuk berapa lama?
 
1. Kuessipan


 
Film karya sutradara Myriam Verreault yang satu ini memperlihatkan cerita sepasang teman masa kecil (Sharon Ishpatao Fontaine dan Yamie Grégoire) yang persahabatannya diuji saat kehidupan mereka berkembang dengan cara yang sangat berbeda, yang memberikan makna baru pada gagasan bahwa apa yang spesifik bisa menjadi umum. Myriam Verreault dan rekan penulis skenarionya, Naomi Fontaine, menarik penonton ke dalam kisah mengenai dua gadis yang memiliki janji yang sama: berada di sisi satu sama lain selamanya.

Menggunakan komunitas First Nations mereka yang erat sebagai latar belakang untuk menyoroti prevalensi cinta dan perlindungan keluarga, serta penyebaran narkoba dan penyalahgunaan obat-obatan, para pembuat film fokus pada hubungan kompleks antara wanita muda yang kehidupan dan keinginannya mengantarkan mereka ke arah yang berlawanan ketika mereka tumbuh dewasa.

Shaniss (Yamie Grégoire) bersemangat menjadi seorang ibu di awal hidupnya dan sering bersandar pada Mikuan (Sharon Ishpatao Fontaine) dan keluarganya untuk mendapatkan dukungan. Sementara itu, Mikuan tertarik pada puisi dan jatuh cinta pada seorang anak laki-laki berkulit putih yang kehadirannya menunjukkan kepada Shaniss bahwa Mikuan meninggalkan akar Innu-nya. Semua hal itu mengarah pada pertanyaan mengenai kesetiaan dan kepemilikan ketika sebuah persahabatan diuji. Ini bukan soal siapa yang benar atau salah. Kuessipan lebih menantang cita-cita persahabatan serta kedewasaan perempuan dan apakah perjuangan dari rumah adalah satu-satunya hal yang dapat mengamankan ikatan mereka.
 
(Penulis: Candice Frederick; Artikel ini disadur dari Bazaar US; Alih Bahasa: Fatimah Mardiyah; Foto: Courtesy of Bazaar US)